Tradisi Lokal Pesantren (1): Unggah-ungguh Santri di Depan Guru

0
874

KHASKEMPEK.COM – Pesantren merupakan salah satu peninggalan Wali Songo yang masih eksis sampai sekarang. Tak dapat dipungkiri keeksistensian pesantren sebagai lembaga pendidikan agama di Indonesia merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. Mengingat zaman sekarang yang dipenuhi persaingan ketat digitalisasi peradaban.

Saya jadi teringat ucapan Kyai saya, Kyai Musthofa Aqiel ketika di Kempek dulu: “Kalau dipikir-pikir santri itu adalah manusia yang aneh! Di luar membicarakan politik, ekonomi dan masalah keduniawian lainnya, lah santri masih sempat-sempatnya berkutat dengan kitab kuning. Ini kan aneh!”. Begitu kiranya seingat saya dengan nada bercanda ucapan Kyai Musthofa Aqiel  ketika mengisi pengajian di depan kami, santrinya.

“Kalau dipikir-pikir santri itu adalah manusia yang aneh! Di luar membicarakan politik, ekonomi dan masalah keduniawian lainnya, lah santri masih sempat-sempatnya berkutat dengan kitab kuning. Ini kan aneh!”. 

Kuncinya saya kira adalah kurikulum pesantren yang tetap mengedepankan pendidikan dari pada hanya sekedar pengajaran. Mendidik tidaklah sama dengan mengajar yang hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan. Pendidikan meliputi segala bidang disiplin pengetahuan lahiriah dan bathiniyah yang mencakup di dalamnya pendidikan karakter dan etika serta adab.

Bukankah salah satu yang “tersulit” di era sekarang adalah mengajarkan dan menanamkan attitude baik pada anak? Pesantren adalah jawabannya, saya kira. Karena selain mendapatkan pengajaran lewat “teori” dengan kitab kuningnya, santri juga mendapatkan “praktik” langsung dengan melihat perilaku keseharian Kyai, gurunya. Hal ini adalah nilai “plus” pesantren dibanding lembaga pendidikan lainnya.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayat Al-Hidayah berkata demikian:

ولسان الحال أفصح من لسان المقال وطباع الناس إلي المساعدة فى الاعمال أميل منها من المتابعة فى الاقوال

“Lisan al-Hal (pergerakan/tindakan langsung) lebih fasih (mengena) dari pada lisan al-Maqal (ucapan/perkataan). Watak manusia untuk saling membantu dalam suatu pekerjaan lebih mudah dilakukan dari pada bersusah payah dengan ucapan-ucapan”.

Sebenarnya ucapan Al-Ghazali di atas merupakan sindiran untuk para guru yang hanya berteori belaka namun pada praktiknya adalah nol, bahkan tidak melakukan. Mudahnya perkataan Al-Ghazali tersebut dapat diartikan: “menjadi suri tauladan dengan bergerak melakukan kebaikan secara langsung lebih mudah diserap (oleh murid) dari pada hanya sekedar berteori (berbicara) belaka”.

Hal tersebut jelas tidak mungkin bahkan bisa dikatakan mustahil terjadi pada santri yang notabene melihat langsung “praktik” keilmuan dari kehidupan Kyainya di pesantren.

Unggah-ungguh Penuntut Ilmu Dalam Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim

Selain diajarkan teori-teori serta hukum syariat, akidah serta gramatika bahasa Arab sebagai kajian utama. Santri juga pada umumnya dibekali kajian tentang akhlak dan norma terhadap lingkungannya. Terutama (salah satunya) bagaimana seharusnya sikap seorang penuntut ilmu terhadap gurunya.

Salah satu kitab yang sering dijadikan acuan dalam hal ini adalah kitab “Adab al-Alim wa al-Muta’allim” milik Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dalam kitab tersebut setidaknya disebutkan 12 tata krama yang seharusnya dimiliki oleh seorang santri terhadap gurunya. Berikut saya merangkumnya demikian.

Pertama dan Kedua,  dalam kitabnya Kyai Hasyim mengingatkan bahwa seorang santri hendaknya mendahulukan untuk melihat kepada siapa ia akan selami keilmuannya. Mencari guru yang baik dalam segala hal baik pemahaman, akhlak maupun pengajaran terhadap ilmu agama. Dengan ketekunannya dulu sebagai penuntut ilmu juga di pesantren.

Hal ini tidaklah  dapat dipungkiri. Apalagi di zaman sekarang, tidak bisa sembarang orang dapat dijadikan guru. Mereka ustadz-ustadz dadakan yang hanya belajar lewat platform internet dan modal cangkem saja (modal bisa berbicara di depan umum) adalah contoh buruk bagi seseorang yang dapat diselami keilmuannya.

Ketiga dan Keempat, seorang santri hendaknya patuh terhadap gurunya serta melihat gurunya dengan pandangan “al-Ijlal wa at-Ta’dzim”,  mengagungkan dan menghormati.

Patuh terhadap gurunya, seakan ia adalah orang yang sedang sakit yang menuruti semua perintah dokternya. Serta mengagungkan gurunya karena lebih mendekatkan terhadap kemanfaatan ilmunya.

Kelima, mengetahui hak seorang guru, tidak melupakan keutamaannya, mendoakannya dan menjaga keturunan, kerabat-kerabatnya.

Keenam, seorang santri hendaknya bersabar bila mana ada sesuatu keanehan muncul dari gurunya. Tetap berpikir positif dan tetap meyakini keutamaan gurunya dengan menakwili keanehan tersebut dengan penakwilan yang baik.

Ketujuh, tidak menemui gurunya pada selain majlis ilmu umum kecuali sebelumnya telah meminta izin terlebih dahulu kepada gurunya.

Kedelapan, ketika seorang santri duduk di depan gurunya hendaknya ia duduk dengan etika yang baik. Kyai Hasyim menggambarkannya dengan duduk seperti duduk tasyahud tanpa meletakkan kedua tangan di pahanya atau sesila dengan tawadhu’, andap-asor dan tenang. Mendengarkan dengan sepenuh hati setiap perkataan guru tanpa berpaling sedikitpun darinya.

Kesembilan dan kesepuluh, berbicara dengan tutur kata yang baik di depan guru serta menundukkan diri dan mendengarkan dengan seksama ketika guru sedang menerangkan meski apa yang ia dengar itu telah ia hafal di luar kepala.

Kesebelas dan kedua belas, tidak mendahului guru dalam menjelaskan suatu permasalahan atau menjawab persoalan. Serta yang terakhir ketika guru meminta bantuan maka hendaknya agar segera melaksanakan perintahnya dengan baik dan cepat serta beretika.

Kedua belas rangkuman attitude yang baik santri terhadap guru yang saya sebutkan di atas mungkin tidak akan bisa mewakili sepenuhnya apa yang disebutkan Kyai Hasyim Asy’ari dalam kitabnya tersebut. Namun, dalam hal ini kita dapat mengetahui pentingnya “etika” dalam menuntut ilmu sebagai salah satu “faktor x”, barokah yang menjadi sumber ketenangan hidup bagi santri.

Wallahu a’lam.

Ref, Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqy Al-Ubudiyah Syarah Bidayat Al-Hidayah li Al-Ghazali, Mesir: Matba’ah Al-Maahid

Syekh Hasyim Asy’ari, Adab Al-Alim Wa Al-Mutaallim, Jombang: Maktabah At-Turast Al-Islami

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here