Menggali Harta Karun Pesantren Jelang Pemilihan Presiden

0
173

KHASKEMPEK.COM – Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki banyak kekhasan dan kekayaan. Namun, di balik kekhususan itu, tersimpan amanat untuk menjaga dan mengelolanya dengan baik agar bisa selalu menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.

Beberapa hari lalu, tepatnya pada Jumat, 23 Desember 2023, Buya Profesor Dr. KH Said Aqil Siroj menjelaskan secara detail tentang harta karun yang tersimpan di lingkungan pesantren, yang wajib untuk terus dirawat dan diberdayakan. Saat memberikan tausiyah dalam acara Haflah Khotmil Qur’an dan Majelis Haul Ke-85 Al Maghfurlah KH Muhammad Munawwir, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta tersebut, Buya Said mengatakan, setidaknya ada dua kekayaan pesantren yang tidak dimiliki banyak lembaga pendidikan lainnya.

Kekayaan pertama adalah at-tsarwah al-jtim’iyah dengan sebutan tren sebagai social capital atau kekayaan sosial. Masyarakat pesantren dengan tradisi yang menempatkan kiai/nyai sebagai sentral kepemimpinan membuat para santri memiliki prinsip “sam’an wa tha’atan,” tunduk, dan bergerak penuh kerelaan.

Hanya di pesantren, kata Buya Said, ribuan jama’ah mau berbondong-bondong hadir dalam acara haul, khataman, atau berbagai macam kegiatan lainnya secara sukarela. Mereka tergerak dengan tanpa paksaan karena benar-benar hanya terdorong oleh rasa cinta terhadap almamater yang pernah disandangnya.

Bahkan, pesantren tidak hanya mengikat batin para santri di dalamnya. Tetapi juga seluruh orang tua, keluarga, dan kekuatan jejaring lainnya. Buya Said mencontohkan, jika di suatu pesantren memiliki santri sejumlah 1.000 orang, maka sejatinya adalah ada lebih dari 5.000 hingga 6.000 orang yang turut terikat kebatinannya.

Inilah yang perlu dikelola dengan baik. Modal sosial melalui jaringan pesantren yang kuat itu harus dimanfaatkan demi bisa berbalik menghasilkan kemanfaatan bagi orang banyak. Jika peluang ini bisa dimanfaatkan, maka bisa dipastikan itu adalah salah satu wujud dari peran dan kemenangan umat Islam dalam mendorong sebuah kemaslahatan.

Akibat kekayaan yang tersimpan inilah, kemudian pesantren selalu dianggap sebagai institusi paling seksi, terutama dalam kepentingan-kepentingan politik praktis. Sayangnya, hal itu hanya muncul lima tahunan sekali, akibat belum adanya kecakapan dalam mengelola potensi agar mampu menghadirkan daya tawar dengan kekuatan yang lebih abadi.

Kekayaan kedua adalah at-tsarwah al tsaqafiyah wa al-hadariyah atau kekayaan kultur dan tradisi. Bentuk paling konkret dalam hal ini adalah sejarah panjang pesantren yang mengadopsi khazanah kitab kuning sebagai rujukan utama dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, Buya Said berpesan agar keluarga pesantren jangan sekali-kali merendahkan dan menganggap remeh keberadaan kitab kuning. Sebab, dari literatur klasik itulah sebenarnya muncul ajaran-ajaran dan hikmah yang selalu relevan dari masa ke masa.

Buya Said mencontohkan satu kitab fiqih yang paling banyak dibaca di pesantren, yakni Fathul Mu’in, karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Dengan mengambil “bab jihad” yang dianggap tidak lagi dibutuhkan di zaman sekarang, ternyata pembahasannya masih cukup penting untuk dicerna dengan menyesuaikan konteks yang berlaku di tengah masyarakat, bangsa, dan negara.

Syekh Zainuddin membagi jihad ke dalam empat kategori. Salah satunya adalah “Wadaf’u dharari ma’sumin” yang bisa diurai dan dimaknai sebagai kebijakan memberi perlindungan kepada warga negara dengan menjamin kecukupan pangan, rumah, pakaian, obat-obatan, biaya kesehatan.

Bahkan, dalam kewajiban jihad yang melekat pada pemerintah itu tertulis prasyarat bebas, yakni “Musliman kana ghairu muslim.” Pemerintah wajib menjamin kebutuhan dasar warga negaranya baik bagi mereka yang beragama Islam ataupun tidak. Dan tentu, prinsip-prinsip ini tetap layak untuk terus dipelajari hingga hari ini, demi menjaga prinsip kemanfaatan Islam bagi orang banyak. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau menyerahkan dirinya sendiri untuk berjihad dalam menjamin kebutuhan publik.

Buya Said juga mencontohkan ulasan dari sebuah kitab yang tidak akan bisa dipahami oleh orang lain secara serampangan. Yakni sebuah permisalan yang diambil dari kitab berjudul Ja’a Zaidun dalam bait:

زيد الطويل الأبيض بن مالك *** في بيته بالأمس متكي في يده سيف لواه فالتوى *** هذه عشر مقولات سوا

Menurut Buya Said, sekilas nadzam tersebut hanya menceritakan tentang seseorang bernama Zaid yang sedang memainkan pedangnya. Padahal, di balik makna bait tersebut tersimpan sebuah metode yang masih layak dan harus diterapkan hingga saat ini.

Menurut Buya Said, lafadz “Zaidun” menunjukkan esensi, at-thawilu sebagai kuantiti, al-abyadu; kualiti, ibnu malik; relasi, fi baytihi; place, fil amsi; time, kana muttaki; posisi, fi yadihi syayf; to have, lawahu; aksi, dan faltawa; reaksi.

Buya Said menjelaskan bahwa hal itu adalah apa yang disebut maqulat al-‘asyarah, yakni sepuluh kiat membangun pandangan seseorang agar tetap objektif. Seseorang wajib menilai sesuatu berdasarkan pengamatan yang mendalam dan komprehensif, bukan hanya berdasarkan rasa suka dan tak suka.

Dan menariknya, penjelasan Buya Said itu, semakin terasa relevan dan dibutuhkan bagi seseorang dalam mempertimbangkan, menilai, sebelum kemudian menjatuhkan pilihan pada salah satu dari para calon pemimpin yang berkontestasi di Pemilu 2024, seperti saat ini.

Wallahu a’lam bis shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here