Kang Jafar, Alumni yang Merdeka

0
418

KHASKEMPEK.COM – Tak semua alumnus pondok pesantren mumpuni soal agama. Tidak pula pondok pesantren menuntut seluruh jebolannya berkiprah di satu bidang keilmuan semata.

Inilah salah satu kesimpulan bijak yang melulu dibagikan KH Jafar Musaddad. Pesannya selalu menggembirakan, memerdekakan.

Pertengahan 2009, ada rasa bebas bercampur limbung. Satu sisi begitu senang karena telah tuntas mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren KHAS. Namun, di sisi lain, belum juga muncul himmah untuk langsung berkuliah, apalagi niat menularkan hasil ngaji ke madrasah peninggalan almarhum bapak.

Gabut, kata anak sekarang.

Di tengah arah mata angin yang masih begitu samar, hadirlah Kang Jafar. Tokoh alumni Pesantren KHAS Kempek paling senior ini seakan bisa meramal dan menerka kegaduhan semacam apa yang ada dalam pikiran orang yang tengah duduk di hadapannya.

Saya sowan ke kediaman Kang Jafar di Balerante bukan tanpa sebab. Atas petunjuk seorang kakak, datanglah saya ke sana.

Perkaranya bermula ketika di tengah ketidak-jelasan itu, saya ditelepon Kiai Musthofa Aqil -semoga beliau selalu dalam keadaan sehat walafiat. Amin- untuk segera kembali ke pondok. Meskipun sudah dianggap lulus, bukan alasan untuk tidak lagi mengabdi dan belajar hidup tulus, di Kempek.

Kiai Musthofa berencana mengembangkan sebuah majelis keilmuan semi diskusi. Al Ghadier, namanya.

Di sana, dawuh Kiai Musthofa, butuh seorang pencatat. Hasil dari pertemuan rutin setiap Jumat pagi forum kiai se-Wilayah III Cirebon itu mesti dikemas ke dalam satu buletin untuk dicetak dan disebar.

Seorang santri, tentu mesti manut. Tapi, sedikit penasaran, siapa sumber pemberi saran? Ya, siapa gerangan pembisik Kiai Musthofa yang menjelaskan; tak ada kebisaan dan kegemaran yang mampu saya lakukan selain sekadar menulis?

Kang Jafar ketawa. Usai mendengar keluh kesah saya yang remeh itu, sosok bersuara berat ini mengaku penyampai informasi ke Kiai Musthofa ialah beliau sendiri.

Kang Jafar bilang, santri tak harus melulu maklum dengan kurikulum. Pelajaran terpenting yang diberikan kiai di pesantren adalah laku keseharian yang sangat menjadi teladan.

Selebihnya, kata Kang Jafar, peran pesantren adalah memerdekakan. Termasuk membiarkan masing-masing orang menentukan jalan mana yang ditempuh menuju masa depan.

“Kamu senang menulis, ya menulis saja. Jadilah wartawan, tak elok memaksakan diri jadi penceramah, misalnya,” kata Kang Jafar.

Kala itu, mantaplah hati, musnahlah kebimbangan. Sebelum akhirnya datang kecemasan baru, yang kembali dimerdekakan Kang Jafar.

Sebulan mengabdi di majelis Al Ghadier, rasa bosan kembali menerpa. Saya tergoda para sahabat yang sudah perkiprah di kampus dan menyandang status mahasiswa.

Persoalannya adalah, bagaimana saya matur ke Kiai Musthofa untuk undur diri, sementara di edisi buletin pertama Kiai Musthofa sudah merasa cocok terhadap hasilnya. Malahan beliau berharap tulisan tetap ajek dan terjaga di terbitan-terbitan berikutnya.

Kembali mengadulah saya ke Kang Jafar. Beliau pun, lagi-lagi tertawa. Persoalan gampang, katanya.

Tak dinyana, dengan singkat dan mudahnya Kang Jafar menyampaikan keinginan saya untuk pamit ke Kiai Musthofa. Usai mengabarkan bahwa Kiai Musthofa rida dan berkenan saya pulang, Kang Jafar bilang, “Berkiprahlah berbekal rasa suka dan merdeka.”

Kemarin, saya mendengar Kang Jafar wafat. Saya tertegun seharian. Ingin rasanya saya bilang, “Kang Jafar, matur nuwun sanget, sekarang saya sudah begitu senang menapaki profesi wartawan.”

Sayangnya, Kang Jafar kini telah benar-benar merdeka. Tak butuh pengakuan gembira dari siapa pun. Kang Jafar sudah terbahagiakan amal, dihujani kasih sayang; dari Allah Swt yang Maha Memerdekakan.

Selamat jalan, Kang Jafar. Al-fatihah…

Lampung, 17 Desember 2020

Sobih Adnan

Foto: KH Jafar Musaddad (tengah) kala menghadiri resepsi pernikahan Gus Shidqi Musthofa, 2018.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here