Cerpen Santri: Santri Laduni

0
1563

KHASKEMPEK.COM – “Aku merasa sebagai santri terbodoh di pesantren ini.” Habibi sering mengatakan demikan kepada teman-temannya.

Mungkin sikapnya itu bisa dinilai sebagai bentuk kerendahan hatinya. Tapi jika dilihat dari bagaimana ia belajar di kelas, pengakuan Habibi ini memang menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

Habibi lebih sering berdiri di depan kelas setiap disuruh maju oleh ustadznya. Ia kesulitan menguasai makna dan murod. Dua hal yang harus dipahami dengan benar oleh setiap santri dalam mengkaji kitab kuning, yang merupakan bahan ajar utama pesantren salaf.

Meski demikian semua santri tahu kalau habibi telah berusaha sangat keras. Mulai dari ‘cocogan’ di asrama, mendatangi rois di kamarnya, dan tentu saja mengikuti musyawarah kitab bersama teman sekelasnya. Belum lagi ia selalu belajar sendiri di kamar khodam sampai larut malam. Hanya entah mengapa, setiap ditunjuk maju ke depan selalu saja ada kesalahan. Hingga harus berdiri selama pengajian sebagai hukuman.

Yang membuat kagum, meski sering di hukum, Habibi tak pernah putus asa. Ia selalu aktif. Tidak pernah alfa kecuali sakit. Juga tidak goyah, meski mulai banyak yang memanggil dirinya Mahalul Qiyam.

Ia tetap semangat mengikuti semua agenda pesantren yang begitu padat. Padahal dia juga sangat sibuk karena menjadi khodam. Kadang Habibi berjaga semalaman di sawah kiai. Belanja ke pasar, mengantrakan anaknya kiai ke sekolah, atau ‘ngeladeni’ tamu-tamu kiai yang hampir tak pernah berhenti.

Pernah suatu hari, Habibi disuruh ngeliwet oleh ibu nyai, karena khodam perempuan yang biasa di dapur sedang pulang kampung. Setelah beras dicuci dan siap dimasak, ternyata airnya kebanyakan. Ia lalu ke belakang dan menumpahkan sebagian air ke lubang kecil di dekat pohon mangga yang telah berusia ratusan tahun.

Ternyata di dalam lubang itu ada anak raja jin yang sedang bermain. Anak raja jin kesakitan, berdarah-darah. Raja jin sangat murka mengetahui anaknya disiram oleh santri. Kemurkaan sang raja membuat Habibi pingsan seketika.

Habibi baru sadar setelah diberi air doa oleh Kiai Ghofur. Disinilah kemudian terjadi keanehan. Ia terus berbicara dan entah kepada siapa ia bicara. Sesekali menggunakan bahasa Jawa, kadang Indonesia, lalu beralih ke bahasa China, tiba-tiba sudah beralih ke bahasa Korea. Bahkan ada bahasa yang semua santri tidak bisa menduga itu bahasa dari negara mana.

Semua heran. Dari mana Habibi bisa bahasa asing? Dipesantren ini tidak ada pelajaran bahasa asing. Dan kepada siapa ia berbicara? Semua tidak ada yang tahu.

Karena keganjilan itu, ia dibawa ke kantor pondok untuk ditangani secara khusus. Namun baru beberapa langkah, tubuh kurus khodam pengasuh pondok itu tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Pengurus panik. Sebelum akhirnya lurah pondok datang dan memberikan sisa air doa dari Kiai Ghofur. Ampuh, setelah air dibasuhkan ke wajah, Habibi berangsur pulih. Kali ini mulai tenang. Tapi tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hanya matanya yang nampak kebingungan dan terlihat kelelahan.


“Aku baru selesai mesantren selama 10 tahun di pondok milik raja jin muslim.” Itu kalimat pertamanya setelah benar-benar sadar.

“Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi aku benar-benar telah menjalaninya. Aku mesantren di alam jin sebagai hukuman karena tidak sengaja menyiram putra sang raja.”

Pengurus pondok memandang Habibi dengan sedih. Ada rasa kasihan. Mereka yakin, apa yang dikatakan barusan tentang hukuman, mondok 10 tahun, juga raja jin, pasti hanya omongan ngelantur saja, efek pingsan yang lumayan lama.

Tapi Habibi terus saja bercerita. Katanya, ia dibawa ke Mahkamah Kerajaan. Disana ia disidang karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu menumpahkan air nasi secara sembarangan sehingga menimbulkan korban. Kebetulan korbanya adalah anak dari baginda raja.

Hukumannya sangat berat yaitu penjara seumur hudup. Tapi setelah diketahui bahwa ia adalah santri yang sedang belajar mengaji dan dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan, maka hukumannya menjadi ringan. Terlebih selama sidang ia berprilaku sangat sopan, jujur dan menghormati semua jin yang menjadi pimpinan sidang. Ia juga berkali-kali meminta maaf dan menyesali perbuatannya.

Ia hanya diberi hukuman harus mesantren selama 10 tahun di pondok milik raja. Selama waktu itu, ia dilarang keras kembali ke alam manusia.

“Tujuan dari hukuman ini adalah agar saudara sebagai manusia bisa menghargai alam dan mahluk selain dari golongan saudara. Ketahuilah, Islam adalah agama rahmat bagi semua mahluk, dan mahluk ciptaan Allah tidak hanya manusia. Ada kami bangsa jin, yang sebagian menjadi ummat Nabi Muhammad SAW,” kata Ketua Hakim pimpinan sidang.

“Selama 10 tahun, saudara harus belajar dengan tekun. Pelajari semua ilmu yang ada di pesantren kami. Supaya saudara menjadi bijak, beragama yang mendamaikan, dan berilmu yang menentramkan.” Hakim pimpinan sidang telah menetapkan keputusannya. Tidak ada pilihan buat Habibi kecuali menerima hukuman dari Mahkamah Kerajaan.

“Jadi jin itu ada dan benar-benar nyata,” Habibi masih melanjutkan ceritanya, “kalian pasti ingat firman Allah SWT: ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku’. Hanya orang yang tidak beriman yang tidak mempercayai adanya jin.” Habibi berusaha menyakinkan.

Menurut ceritanya, di pesantren yang diasuh oleh raja jin, diajarkan berbagai kitab kuning seperti halnya pondok-pondok pesantren di Negara Indonesia. Santrinya dari berbagai penjuru alam jin. Jumlahnya ratusan ribu.

Asrama santrinya sangat megah. Bertingkat-tingkat. Kamarnya sangat mewah, melebihi hotel bintang lima dunia. Terdapat puluhan gedung perpustakaan yang sangat besar dan luas. Juga penginapan khusus untuk wali santri jin. Banyak taman dan danau disekelilingnya. Begitu bersih, asri dan udara yang selalu sejuk di sepanjang hari.

Pengajarnya ulama dan ilmuan dari berbagai lulusan terbaik lembaga pendidikan bangsa jin yang dipilih langsung oleh raja.

“Karena kesaktian sang raja, santri-santrinya bisa menguasai semua bahasa dunia. Kami berbicara dengan Bahasa Arab, Ibrani, Tamil, kadang Persia, Russia, atau India, juga bahasa dari Afrika dan Amerika” Habibi kembali menyinggung soal bahasa.

Pengurus pondok saling pandang. Cerita Habibi memang begitu menyakinkan. Tapi tetap sulit diterima akal sehat, mengingat ia mengatakan itu semua setelah sadar dari pingsan. Lalu muncul ide mendatangkan Ustadz Ahmad untuk menguji pengakuan Habibi, yang selama ini dikenal memiliki keterbatasan kemampuan dalam memahami pelajaran kitab di pengajian.

Tak berapa lama kemudian Ustad Ahmad datang. Ustad paling senior ini langsung menyapa Habibi dengan bahasa Arab. Ajaib! Habibi bisa menjawab semua pertanyaan Ustadz Ahmad dengan menggunakan bahasa Arab dan sangat fasih sekali.

Lalu didatangkan santri yang menguasai bahasa Inggris. Ternyata Habibi juga begitu tangkas ‘cas cis cus’ berbicara dengan bahasa dari negerinya Ratu Elizabeth.

Karena penasaran, didatangkan seorang wali murid yang kebetulan pernah lama kerja di Jepang, dan lagi-lagi Habibi bikin pengurus pondok takjub, ia begitu pintar menggunakan bahasa dari negeri sakura.

Pengurus walau dalam kebingungan akhirnya percaya juga, bahwa dengan sebab pingsan Habibi bisa menguasai berbagai bahasa dunia.


Rapat dewan asatidz belum memutuskan layak tidaknya Habibi diangkat sebagai guru baru. Terjadi perdebatan.

“Ini pondok pesantren, pelajaran utama kita adalah kitab kuning, bukan bahasa. Karena itu jika memang Habibi mau kita angkat sebagai pengajar, maka harus di tes terlebih dahulu. Baru kita lihat apakah ia mampu atau tidak mengajar di madrasah pondok,” usul Ustadz Ahmad.

Semua sepakat. Maka Habibi dites. Ujian pertamanya tentang nahwu shorof. Ia diberi pertanyaan dan soal tertulis. Diluar dugaan, Habibi mampu menjawab dengan sangat tepat. Tidak nampak kesulitan sama sekali.

Saat dites nadzom amrity dan alfiyah ibnu malik, khodam bertubuh jangkung ini mampu menunjukan hafalannya kepada penguji dengan sangat lancar sekali. Kecepatan dan ketepatan baitnya sungguh luar biasa. Menandakan hafalannya sudah benar-benar diluar kepala.

Habibi kemudian diminta penguji membaca beberapa bab dari kitab fathul muin, tafsir jalalain, dan ihya ulumuddin. Sungguh diluar nalar, Habibi bukan hanya mampu membaca dengan baik dan benar, tapi bisa menjelaskan dengan sempurna dari setiap bab yang ia bacanya.

Hari itu juga ia ditetapkan sebaga ustadz baru. Habibi lulus tes dengan nilai mumtaz.

Beberapa minggu kemudian, Habibi diangkat jadi pengurus pondok. Ditugas barunya ini, ia mampu menjalankan tugas dengan sangat baik. Otaknya yang sekarang encer mampu membuat inovasi dan berbagai gebrakan. Atas kesuksesannya, ia diangkat Kiai Ghofur sebagai lurah pondok.

Dimalam puncak akhirusanah, saat dikukuhkan sebagai lurah pondok, Habibi diharuskan berpidato dihadapan kiai, nyai, tamu undangan dan santri.

Dengan penuh percaya diri, sosok yang sekarang menjadi bahan pembicaraan semua anak-anak santri ini naik ke panggung utama. Disampaikannya program-program selama satu tahun ke depan. Pengalaman luar biasa 10 tahun di negeri jin benar-benar berpengaruh kuat dalam isi pidatonya.

Penampilanya mampu menghipnotis semua orang. Dengan kemampuan bahasa dan olah kata yang mumpuni, kecerdasaanya begitu nampak. Pengetahuannya menembus batas cakrawala, laksana intelektual kelas dunia. Santri dibuat kagum dan bertambah yakin dengan kemampuan Habibi yang oleh sebagian santri pernah mereka remehkan.

“Maaf Kiai, banyak santri bilang kalau Habibi memiliki ilmu laduni. Apakah itu mungkin, Kiai?” tanya Ustadz Ahmad yang malam itu mendampingi Kiai Ghofur.

“Ilmu itu milik Allah. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin.” Kata-kata Kiai Ghofur seperti membenarkan dugaan santri terhadap Habibi.

“Apa itu artinya pengakuan Habibi sepuluh tahun belajar pada raja jin muslim benar-benar nyata, Kiai?” tanyanya dengan sopan.

“Iya benar itu nyata. Ketahuilah, raja jin yang menjadi penguasa kerajaan alam gaib adalah muridku. Namanya Bena Dihyan Labda Nismara. Dulu pernah lama mesantren disini. Aku sendiri yang meminta raja agar Habibi tidak dihukum, tapi diberi ilmu,” ujar Kiai Ghofur.

Ustadz Ahmad tersentak. Apa yang dikatakan gurunya benar-benar sangat mengejutkan. Dipandanginya Habibi yang masih berpidato. Anak itu begitu mempesona. Penuh kharisma dan berwibawa. Sosok Mahalul Qiyam yang biasanya malu-malu dengan wajah selalu tertunduk itu, kini berdiri tegak dengan gagahnya. Habibi sekarang adalah orator hebat, yang setiap kata-katanya mampu membakar kemalasan dan ketidakpercayaan diri menjadi kegairahan dan keyakinan. Ucapanya adalah mantra sakti yang mampu merubah setiap santri tergetar dan tergerak, mencari dan melangkah, maju dan terarah ke masa depan yang cerah.

Ustadz Ahmad sekarang mengerti, ada ilmu yang tak biasa, yang tidak semua santri bisa mendapatkannya. Hanya santri pilihan yang benar-benar istimewa yang bisa memilikinya, dan Habibi salah satunya.

Penulis: MANSUR JAMHURI, Pengurus Pondok Pesantren Kempek – Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here