Yang Fana Hanyalah Waktu

0
1922

KHASKEMPEK.COM – Sebuah cerpen santri karya Muhammad Bahrululum yang bernostalgia dengan suasana zaman dahulu di komplek Al-Qodiem Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon. Selamat membaca.

Bakda isya, Juli 2020.

*****

Asrama tua ini, dengan kayu-kayu penyangga lantai kedua yang sering berdecit saat ada langkah yang menginjaknya, kini sepi. Sebatang pohon rimbun di depannya, yang meneduhkan saat panas, kini daunnya berirama sendiri, tanpa diiringi suara riuh santri yang sedang bergurau maupun mengejar hafalannya. Hanya tersisa beberapa orang santri yang tengah mendorong-dorong gerobak berisi barang, mengambil sisa-sisa barang yang tertinggal di kompleks asrama ini.

Aku berdiri di pelataran lantai dua, menatap kosong ke arah pohon rindang itu. Betapa pohon itu telah menyaksikan berkembangnya para santri sejak tahun 60-an, awal kompleks ini didirikan. Namun sepertinya, pohon itu tidak akan dapat kulihat lagi. Mungkin tugasnya sudah selesai, mungkin sudah saatnya ia beristirahat.

“Za, tolongin gua dong!” aku memalingkan pandanganku, mencari sumber suara temanku yang ternyata tengah berdiri di depan salah satu pintu kamar. “Masih ada beberapa kardus noh di atas, gak tahu siapa yang punya.”

Aku mengiyakan. Kamar kami tidak terlalu berukuran besar tapi cukup untuk kami semua. Sebuah kamar sederhana dengan plafon menggunakan bilik bambu, loker-loker penuh coretan tempat kami menyimpan barang, sebuah tangga yang digantungkan secara horizontal (dengan diikat keempat sisinya) pada langit-langit; tempat kardus-kardus lama disimpan, dan lampu led yang sudah redup. Bagaimanapun, kamar ini adalah tempatku belajar, melepaskan lelah, bergurau, sejak aku berstatus santri di pondok ini, hingga kini, saat asrama ini akan dialih fungsikan sebagai asrama santriwati.

“Biar gua aja yang naik,” pintaku. Kardus-kardus yang disimpan di langit-langit itu berisi kitab-kitab lama yang entah punya siapa, sudah ada sejak dulu. Yang jelas sekarang aku harus menaiki loker untuk dapat mengambilnya.

“Eh, ini beneran gak ada yang punya ya? Banyak banget empat kerdus.” Tanyaku basa basi, sambil menaiki loker.

“lah tau, itu kan ada yang dari lama banget juga,” jawab temanku datar, ia bersiap menunggu operanku di bawah.

Saat salah satu kardus kutarik untuk memindahkannya, tiba-tiba saja satu tali penahan tangga tersebut lepas. Aku berteriak terkejut, temanku apalagi. Suara teriakan kami bersahutan dengan suara kardus-kardus buku yang terjatuh. Syukurnya nasib baik masih berpihak, aku masih seimbang di atas, dan temanku spontan langsung lompat mundur ke belakang. Kardus yang sudah kutarik pun ikut terjatuh, semuanya berantakan. Suaranya, aku tak tahu seberapa besar, tapi aku yakin sisa orang yang berada di kompleks pasti mendengar suara barusan. Mataku masih melotot terkejut, jantungku masih berdetak cepat, dan nyata saja. Sudah ada dua kepala yang muncul di pintu kamar.

“Kenapa kang?” tanya mereka yang kini melihat kitab-kitab berserakan seperti kapal pecah.

“bentar gua masih deg-degan,” sahutku seadanya sambil menyandarkan diri ke tembok. Entah mengapa tiba-tiba dahiku penuh keringat. Mungkin sekarang aku terlihat seperti orang yang tengah melihat hantu.

“Onoh, talinya copot, jatoh semua jadinya,” temanku mencoba menjelaskan apa yang terjadi ke dua orang tadi. Mereka masih berdiri di pintu.

“Lu berdua bantuin rapihin ini dulu gih, biar cepet. Gua masih kaget sialan, tiba-tiba copot.” Perintahku pada dua orang yang dari tadi Cuma berdiri di depan pintu, mereka mengiyakan dan bergegas merapikan kitab-kitab tersebut.

“Allah,” ucapku sambil menghembuskan nafas. Putusnya tali penahan tersebut tidak hanya berhasil menjatuhkan buku, tapi juga membuat plafon bilik bambu kamar kami bolong. Membuka ruang gelap yang terlihat di belakang bilik-bilik bambu yang terputus, eh sebentar. Apa itu? Mataku menatap tajam, sebuah lipatan kertas yang menguning? dibalik bilik bambu itu?. Sepertinya memang kertas! kuambil kertas tersebut, debu yang menutupinya sudah cukup menggambarkan betapa lama kertas ini tidak tersentuh. Perlahan jariku membuka kertas ini, satu baris kata muncul pada bagian atas kertas tersebut.

“Senin, 13 Ramadlan 1415 H.”

Mataku melotot. Tapi tidak seperti orang melihat hantu, jelas ini harta karun!

“Eh, Said. 1415 Hijriah kalau masehi tahun berapa dah?”

“Au ah, gua lagi males ngitung,” jawab temanku yang kini sedang membantu doa orang tadi membereskan buku.

“Eh gua nemu harta karun ini, lihat noh, surat di tulis tahun segitu.”

“Hah, mana liat?” Said langsung tidak sabar. Ia satu-satunya matematikawan ulung di asramaku, soal tambah kurang hanya kerikil baginya.

“Lu jawab dulu, baru entar baca bareng-bareng!” balasku tak mau kalah.

Mata Said bergerak ke atas, “kalau sekarang tahun segini, berarti… 95-an. Iya harusnya sekitar tahun 94 sampai 95-an.”

“Serius lu? Bentar-bentar gua turun dulu,” aku sudah tidak sabar membacanya. Dua orang yang tadi ke kamarku pun ikut merapat.

“Sial, itu tulisannya ampe udah begitu Za, emang udah lama banget ya,” Said berkomentar, matanya kagum sekaligus mencoba menjelajahi seisi kertas ini.

“Senin, 13 Ramadlan 1415 H.

Hari sudah malam, hujan turun dengan deras sejak selepas teraweh, tapi tidak mengurungkan niat santri-santri berangkat mengaji. Entah ini ramadlan ke berapa yang kusaksikan di sini, mungkin delapan atau sembilan, tapi aromanya tetap sama, rasanya tetap sama. Suasana yang selanjutnya pasti akan teramat ku rindukan. Karena ini adalah ramadlan terakhirku di sini sebagai santri. Bulan Rojab lalu, aku sudah melamar salah satu gadis kembang desa di kampungku, acaranya sederhana namun hikmat. Dan kini, aku kembali ke pondok ini untuk sowan dan nyuwun pangestu dari kiyaiku. Akad nikah kami akan berlangsung syawal ini, dan awal ramadlan kemarin, bergegas aku membawa baju secukupnya, mencari bus, dan tiba di sini.

Sudah banyak sekali perkembangan yang terjadi di sini saat bilik-bilik baru dibangun di sebelah selatan, santri-santri semangat roan bareng untuk membangunnya. Semangat ‘khidmah’ yang kental dimiliki santri. Banyak teman-temanku yang pindah ke sana, tapi aku tetap memilih disini, di asrama rintisan pendiri, menatap pohon mangga, musolah, kolah santri, dan kantor pusat di depan sana, pemandangan yang selalu membuatku betah. Terlebih saat musim hujan, seperti malam ini, bau tanah yang disiram hujan selalu membuatku tenang. Aromanya menemani salah satu malam terakhirku di sini. Pas dengan siraman cahaya bohlam yang memperlihatkan kesyahduan malam ini.

Ah, pasti aku akan merindukan bilik ini, juga tangganya; tempatku menyelesaikan hafalan had al-Ajurumiyyah Kempek, lorongnya, dan setiap sudut asrama ini. Dengan berbagai ceritanya. Apakah nanti cerita hantu di sini akan masih tetap ada ya? Hahaha.

Mungkin menulis surat adalah hal lucu

Jarang sekali ada temanku yang menulis. Namun puisi-puisi Pak Sapardi cukup memberiku alasan untuk melakukan ini, untuk menjadikan kenanganku abadi, menembus kefanaan waktu. Dan mungkin, suatu saat kertas ini akan ditemukan oleh seseorang di masa yang berbeda. Aku sengaja menulisnya tanpa meninggalkan nama. Aku tak butuh di kenang. Aku hanya ingin tahu, apakah pohon mangga depan musolah masih rimbun saat tulisan ini dibaca? Apakah tawa canda santri yang duduk-duduk di depan musolah masih terdengar? Apakah lorong-lorong bilik masih penuh dengan suara cocogan? Kalau iya, sampaikan doaku kepada semuanya. Ku harap pohon yang menemaniku sejak baru ini akan tetap rindang, teduh, dan mengayomi, semuga lorong ini tetap ramai dengan suara cocogan, subuh tetap ramai oleh suara lantunan Juz Amma kempekan, dan semoga semuanya tak terkoyak zaman.

Tapi apabila tidak, aku yakin itu bukan pertanda buruk. Aku yakin pasti ada rencana Allah yang lebih indah, yang telah disiapkan untuk tempat penuh kebaikan ini. Tidak mungkin ada hal buruk yang menimpa tempat ini. Ya Allah, tidak akan mungkin. Apapun yang terjadi dengan tempat ini, ia akan abadi, yang fana hanyalah waktu.”

Semua orang terdiam, aku terpana. Gila, siapa penulis surat ini?

“Ini beneran gak ada nama penulisnya ya?” tanyaku ragu sambil membolak-balikkan kertas itu. Kujelajahi semua sudut-sudutnya, dan tetap saja tidak ada.

“Ini sih keren banget ya!” sahut said. “Lu tau Pak Sapardi gak Za?”

Dahiku berkerut, “Yang dinyanyiin sama Jason Ranti bukan sih?”

“Bukaaan. Eh, iya ding. Pokoknya beliau itu penulis puisi terkenal. Kalau gak salah, beliau pernah bilang gini ‘Yang fana adalah waktu, kita abadi’ pokoknya begitu lah. Kayaknya si penulis terinspirasi dari bahasa itu. Tapi tulisannya tadi pakai kata hanyalah ya, bukan adalah? Harusnya sih adalah, kalau mau sesuai sama Pak Sapardi.”

“Hahaha, sial lu sudah kaya dosen penguji saja mbenerin diksi,” balasku pada Said. Ia memang gemar membaca, tapi memang agak lurusan anaknya. “Eh lu berdua tahu gak Pak Sapardi?” tanyaku pada kedua orang tadi.

Keduanya menggeleng, “Tahunya One Piece kang,” sahut salah satu dari mereka sambil tertawa.

“Hahahaha, dasar wibu lu! nderes sono, baca komik mulu,” candaku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here