Cerpen Santri: Part 7, Tak Ada Api yang Dapat Dipadamkan dengan Api

0
360

KHASKEMPEK.COM – Sudah setengah jam berlalu, suara bising keramaian santri sudah kembali terdengar lebih ramai dari kejauhan. Dan orang yang bernama Faruq itu tak kunjung terlihat. Aku hanya terdiam menunggu bersama Hasanuddin yang masih setia di sisi kiriku, sedangkan Kang Naim dan beberapa keamanan tadi sedang sibuk berbincang sendiri. Jujur aku merasa jenuh, tidak tahu apa yang harus kulakukan, sekaligus berdebar membayangkan apa yang akan terjadi saat Faruq sampai di sini.

“Cepetan!” suara bentakan dari luar ruang keamanan tiba-tiba mengejutkanku. sekejap aku langsung memalingkan kepalaku, berusaha mencari sumber suara, namun aku tidak melihat apa pun.

“Iya kang, Sabar!” sahut seseorang di luar.

Ah, aku mengenal suaranya! rasa cemas kembali menguasai hatiku. Aku tak berani melihat apa pun, aku hanya menunduk. Sejenak aku kembali teringat kejadian menjelang sore tadi. Seorang anak kecil menghinaku, dan aku menendangnya. Lebih tepatnya hanya kudorong menggunakan kakiku sih, karena aku tidak menendangnya dengan keras. Hanya ayunan kaki yang bergerak pelan dengan kecepatan konstan. Andai saja aku bisa menahan diriku saat itu, masalah tidak akan serumit ini.

Derap langkah dua orang di luar tadi mulai mendekat dan masuk ke dalam. aku tak berani menatap siapa pun. Mataku masih tertunduk, hingga seseorang duduk tepat di sisi kiriku. Aku mencoba melihat wajahnya, hanya tatapan kosong ke depan yang kudapat dari sepasang matanya. Raut wajahnya terlihat penuh dendam. Tak kuasa aku menatapnya lebih lama, aku kembali menunduk.

Keamanan pondok yang tadi di depanku sudah kembali dalam posisi siap. Siap melanjutkan persidanganku.

“Jadi kalian punya masalah apa?” tanya Kang Naim, membuka persidangan ronde kedua malam ini.

“Hasan yang salah duluan kang!” Faruq berteriak marah, ucapannya membara. Pandangannya menembak tajam ke arah wajahku.

“Bisa gak sopan sedikit heh!” bentak salah satu keamanan, memperingatkan intonasi bicara Faruq.

“Saya sebenarnya gak ada urusan sama kalian kang! Urusan saya sama Si Juling ini!” Peringatan keamanan tadi tak membuat Faruq gentar. Ia malah menatap tajam balik sambil mengacungkan telunjuknya ke arah keamanan tadi.

“Kurang ajar! kamu siapa disini? mau jadi jagoan?” bentak balik keamanan yang ditunjuk Faruq. Ia spontan mendekat ke Faruq dan mengancam “Kamu mau langsung dipulangkan ke rumah heh? tindakanmu ini gak nunjukin tata kramamu sebagai santri!”

Bentakan Faruq berhasil membuat ruang keamanan ini menjadi gaduh, penuh sorakan tak terima. Fokus persidangan berubah. Tidak lagi membahas kasus kami, Faruq jadi diserbu pernyataan dan ancaman keamanan. “Santri tak tau diri”, “Dia siapa sih? anak baru kan?”, “Anak begini enaknya diapain nih?”. Faruq hanya menunduk. Jelas ia salah menyerangku di saat seperti ini. Tapi keberaniannya memang harus diakui.

“Sudah, sudah dulu!” belah Kang Naim mengambil alih perhatian seisi ruangan. “Kita urus masalah dua anak ini dulu, biar cepat selesai. Dan kamu Faruq, jadi urusan saya setelah ini!” tegas kang Naim.

“Terserah, saya tidak peduli!” Faruq hanya membuang pandangannya. Dendam dalam dirinya sudah seperti air yang meluap-luap, Membuat ruang keamanan kembali ramai dengan nada tak terima. bertambah umpatan kepada sikap Faruq yang terdengar saling bertumpuk. Ruangan persegi panjang ini makin tak kondusif. Beberapa keamanan sepertinya sudah menahan rasa ingin baku hantam.

Namun Kang Naim kembali memecahkan keributan. “Sudah, jangan hiraukan kata dari orang yang emosinya sedang tidak stabil, itu pasti bukan Faruq yang sebenarnya,” tegas Kang Naim.

Ruangan kembali sunyi sesaat. hingga ada satu orang yang masuk dari pintu. “Lah, Faruq. Kenapa kamu?” tanyanya. Dengan rasa penasaran, aku berusaha mencari sumber suara itu. Hah, Kang Adi mengenal Faruq?

Faruq sontak menengok kebelakang, wajahnya sudah seperti monster yang ingin menghancurkan seisi kota, penuh dendam.

“Saya gak terima adik saya ditendang! dan hanya saya yang dita’zir sore tadi! padahal Juling ini biang keroknya! lihat dia! cuma bisa diam. Juling banci!” matanya melotot ke arahku, teriakannya sudah seperti guntur badai tengah malam, kuat sekali. Seluruh tubuhku gemetar disambar bentakannya. Kepalaku terasa pusing, aku hanya tertunduk dengan mengerutkan muka. Kata-katanya, perih sekali rasanya.

Tak ada suara keamanan yang menyambar balik, hanya terdengar desusan kasar nafas Faruq. Mungkin mereka bingung bagaimana menghadapi anak seperti ini. Hingga mendadak satu tendangan mengarah kembali ke lenganku. BRUK!

“Tahan anak itu, pegangin, jangan diapa apain!” teriak Kang Naim, bersamaan dengan Kang Adi yang sudah lebih dulu memeluknya dengan erat. Beberapa keamanan menyusul memegangi Faruq.

“BANCIIII!” Faruq berteriak dengan penuh kebencian. Emosinya meletup-letup.

Tubuhku roboh seketika, aku tak siap akan pukulan tak terduga itu. Entah sekeras apa kekuatannya, aku tidak tahu. Tubuhku sudah seperti mati rasa. Ruangan ini sangat sesak. Pandanganku buram. Telingaku berdengung, serapahan Faruq terdengar seperti menggema di telingaku. Ya Allah, aku tidak kuat lagi! Kenapa harus aku yang mengalaminya?

Aku tenggelam dalam kekosongan yang menguasaiku. Dalam kehampaan yang sulit dideskripsikan. Aku seperti jatuh ke dalam jurang gelap tanpa ujung, lalu menghilang dalam ketiadaan. Tidak ada apa pun, bahkan ketiadaan itu sendiri.

Dalam sepersekian detik, secercah cahaya datang menerangi. Segala ingatan tentang ayah memenuhi hati kecilku. Aku merasakan kehangatan senyumnya. Senyum dari orang yang berhati sangat tulus. Orang yang tidak pernah menyimpan dendam dalam hatinya.

Semakin besar cahaya yang datang. Aku kembali merasa hidup. Kembali dapat merasakan detak jantungku, memompa semangat dalam darahku. Membawa ketenangan mengaliri seluruh penjuru tubuhku.

“Kau boleh pukuli aku sepuasmu, memaki aku sesukamu, asal itu bisa menuntaskan kebencianmu. Asal tidak ada lagi dendam, yang disebabkan tindakanku!” Ucapku spontan sebagai balasan atas pukulannya.

“Kalau pukulan dan makianmu bisa membuatmu memaafkanku, lakukan sepuasnya.” ucapku sambil menatap matanya. Faruq pun tengah menatapku dengan tajam. Kuat sekali tatapannya, seperti ingin menyayat keberanianku. Tapi aku lebih kuat. Tatapanku menerobos lebih dalam di bola matanya, masuk ke dalam kobaran api yang membakarnya.

Faruq yang tengah memberontak karena geraknya ditahan oleh beberapa orang keamanan perlahan mulai padam. Dalam matanya, aku merasakan kobaran api yang berubah menjadi sebuah kehangatan. Bukan dari sisa-sisa dendam, tapi seperti kehadiran memori yang berharga baginya, yang hilang dari dirinya. Kobaran dendam dalam dirinya mulai padam karena disiram mendung pekat dari masa lalunya.

Faruq menggelengkan kepalanya, melepas pandangan kosong yang mengantarkannya pada masa lalu. Aku pun ikut melepas pandanganku dari dirinya, sambil memperbaiki posisi duduk. Aku baru bisa merasakan suasana sekitar: malam yang mulai dingin, Faruq yang masih dijaga oleh beberapa orang, dan beberapa keamanan yang tidak berkata apa pun. Entah sedang menunggu waktu yang tepat atau bagaimana, tapi yang jelas suasana seperti ini bukan waktu yang tepat untuk memberi nasihat.

Argh, aku mulai merasakan nyeri di lenganku, sisa dari pukulan Faruq tadi. Tapi kalau iya aku yang salah baginya, tak apa aku yang meminta maaf. Faruq hanya duduk tertunduk. Kang Naim seperti tengah bingung untuk memutuskan sesuatu. Tapi aku semakin salut dengan sosoknya, sabar sekali ia menghadapi anak baru seperti kami.

“Malam ini, kalian istirahat dulu saja di kamar pengurus,” perintah Kang Naim memecah kesunyian. Beberapa keamanan lain hanya ikut mengangguk menyetujui.

“Bagaimana Hasan?” Kang Naim bertanya padaku, menegaskan.

Aku hanya mengangguk setuju. Aku tak tahu harus melakukan apa, hanya bisa mengikuti instruksi dan menanti masalah ini selesai.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here