Cerpen Santri: Demi Cinta, Aku Rela Tidak Pacaran

2
2830

KHASKEMPEK.COM – Hubunganku dengan Alisa sedang diujung tanduk. Ia minta putus. Aku bingung, karena merasa tidak ada masalah apa-apa.

“Aku ingin mengakhiri hubungan ini,” kalimatnya singkat, tapi mendatangkan luka yang tak berkesudahan.


Aku mengenal Alisa ketika acara haul pondok. Saat itu ia sedang bersama keluarganya, sementara aku sedang menjadi panitia prasmanan.

Alisa terlihat bolak-balik ke prasmanan dan nampak kerepotan. Reflek aku antarkan beberapa minuman dan buah-buahan ke tempat keluarga Alisa. Ia sangat senang. Disitulah kemudian aku kenal namanya, Alisa Larasati.

Pertemuan kedua justru terbalik. Alisa sedang menjadi petugas prasmanan diacara hataman putri, sementara aku ditugaskan menjadi penerima tamu. Aku bolak-balik mengantarkan semua yang datang untuk menikmati hidangan.

“Kang Randu, monggo makan dulu, mumpung tamu sedang sepi,” katanya dengan sopan.

Itulah awal ia berbicara kepadaku sejak kami kenal. Dan entah bagaimana, hari itu perasaanku terasa berbeda. Aku begitu bersemangat dan betah berlama-lama diputri.

Namun setelah itu, aku tidak pernah bertemu dia lagi. Karena dipesantren, santri putra dan putri dipisahkan oleh bangunan, tembok, juga aturan, pengurus dan keamanan.

Sampai akhirnya, pada waktu liburan pondok, ketika aku di rumah, tanpa sengaja kami bertemu ditempat yang sama. Waktu itu aku sedang pesan bakso langganan yang cukup terkenal di pasar kecamatan. Saat itulah Alisa datang.

Kami menikmati bakso bersama di meja yang sama. Kami ngbrol tidak lama. Aku baru tahu ternyata ia tetangga desaku.

Pertemuan diwarung bakso berlanjut diobrolan WA. Di WA ia sangat asyik dan lebih terbuka, terlebih ketika bercerita suka dukanya selama di pondok. Aku merasa nyaman dan betah berlama-lama chatan dengan Alisa. Dari situ aku bertambah yakin akan perasaanku kepada Alisa.

Hingga tanpa terasa, waktu libur pondok akan berakhir. Dua hari lagi kami harus berangkat ke pondok. Jika tidak, kami bisa kena ‘taziran’. Kami memutuskan ketemuan.

“Dik Alisa berangkatnya bareng siapa?” tanyaku hati-hati.

“Sama bapak dan ibu, Kang,” jawab Alisa dengan wajah yang selalu tertunduk. Ia seperti biasa tidak berani menatapku.

“Kang Randu sendiri sama siapa?”

“Aku berangkat rombongan dengan santri lain.”

Kami ngobrol tidak lama, karena Alisa nampak gelisah. Sebentar-sebentar lihat ke jalan.

“Ada apa, Dik?”

“Gak apa-apa, Kang. Gak enak aja kalau ada yang melihat kita.” Aku tersenyum maklum. Bagaimanapun gak baik ngobrol berdua dengan lawan jenis dan bukan muhrim, meski bukan dipesantren.

Alisa pulang lebih cepat dari yang kuharapkan. Padahal aku sudah berniat mengutarakan perasaanku. Semalaman aku melatih diri, mempersiapkan apa yang harus aku katakan. Nyatanya aku belum berani dan tidak punya cukup kesempatan. Tapi aku terpana pada kata-katanya sebelum pergi.

“Kang, nanti disana jangan lupa doakan Alisa ya. Biar Alisa semangat dan bisa seperti Kang Randu sampai kelas Alfiyah,” ucapnya pelan, tapi debarnya sangat terasa dijantung perasaan. Apakah ini pertanda kalau sebenarnya Alisa juga punya perasaan yang sama?


Hari itu Alisa berangkat ke pesantren. Ia berkirim pesan WA untuk yang terakhir kalinya, “Kang, Alisa berangkat. Sampai jumpa ditempat dimana bertemu menjadi mimpi yang tak bisa menjadi nyata.” Aku tersenyum. Aku menangkap ada rindu yang tersamarkan pada setiap kalimatnya.

“Alisa, aku akan menyambangimu setiap waktu, dalam setiap mimpi-mimpiku,” kataku dalam hati.

Namun kegembiraan hatiku hanya sebentar lewat. Kakakku sakit dan harus dirawat beberapa hari. Aku terpaksa izin ke lurah pondok tidak bisa berangkat sesuai jadwal. Selama beberapa malam aku tidur di rumah sakit, sampai kakakku sembuh.

Pagi sebelum berangkat ke pondok, rumahku kedatangan tamu yang ternyata ibunya Alisa. Aku kaget, tak pernah menyangka, orang tua dari gadis yang sedang aku eja wajahnya itu ternyata sangat dekat dengan ibuku.

“Randu, ini ibunya Alisa, mau nitip.”

Ibuku bercerita tentang kedekatan mereka sewaktu remaja. Jantungku berdesir. Apakah ini petanda kami akan berjodoh?


“Dik Alisa, ini dari ibumu.” Kuserahkan titipan kepada Alisa. Ia menerima dengan senyum. Maniiis sekali. Dan ini pertama kalinya Alisa tersenyum kepadaku. Hatiku seperti melayang-layang.

“Maturnuwun, Kang.” Itu kalimatnya. Hanya itu. Alisa langsung masuk ke asrama. Meninggalkanku sendirian yang masih terpaku menikmati senyum manis yang barusan ia tinggalkan. Pertemuan singkat, tapi sangat berkesan.

Tapi aku sadar, ini pesantren. Tempat dimana cinta harus dikubur dalam-dalam. Karena membiarkannya tumbuh dan berkembang dalam sebuah hubungan yang disebut pacaran akan berujung pada pengadilan keamanan yang berakhir pada pemboyongan.

Aku meninggalkan asrama putri dengan lunglai: haruskah aku hempaskan cinta ini, bahkan sebelum aku sempat mendeklarasikannya? Bagaimana aku akan berjuang untuknya, jika kata saja tak pernah terucap? Bagaimana dunia tahu, kalau orang yang kucintai saja buta karena tidak pernah aku mengatakannya?

Hari-hariku menjadi tak menentu. Ada kitab-kitab pesantren yang harus kupelajari dengan sungguh-sungguh. Namun ada cinta yang harus aku kejar tapi tak tahu aku harus berbuat apa.

Setiap malam, setiap waktu, wajah Alisa selalu hadir. Senyum itu masih nampak nyata di mata ini. Semakin kupejamkan semakin terlihat manisnya. Juga suara lembut itu, masih terngiang hingga kini, makin terasa di relung hati. Aku kedanan. Aku kasmaran.

Lama-lama aku tidak bisa konsentrasi. Hafalan nadzomku buntu. Semangat belajarku seperti tercabut bersama hatiku yang ambyar. Kuputuskan berkirim surat. Aku harus melakukannya dengan tekad dan nekad. Karena itu rumus cinta santri yang jatuh cinta. Tanpa tekad dan nekad, takkan pernah ada ikatan. Karena sekali lagi, cinta dipesantren adalah barang haram, terlarang dan harus dibuang!

–Ternyata aku yang lebih membutuhkan semangat dari Dik Alisa. Senyum manis Dik Alisa yang kemarin, meski hanya sepintas, mampu melumatkan seluruh jiwaku. Sepanjang waktu, aku selalu khawatir, jika senyum itu akan menjadi milik orang lain. Maka aku memaksa dengan cinta: agar hati Dik Alisa hanya untukku saja.– –Randu-

Sejak hari pertama kukirimkan surat secara rahasia melalui orang yang benar-benar kupercaya, aku selalu berdebar menunggu balasannya.

Hari pertama lewat, aku masih maklum. Mungkin dia butuh waktu untuk memutuskan. Hari kedua, ketiga sampai minggu pertama belum juga ada balasan, aku mulai gelisah. Berkali-kali ku tanyakan ke kurir rahasia ku, berkali-kali pula ia menjawab surat sudah dia terima.

Minggu-minggu berikutnya aku benar-benar tersiksa. Tak ada jawaban. Aku seperti digantung. Aku butuh jawaban: diterima atau ditolak. Bahagia atau merana. Atau mungkin ini cara Alisa menolak cintaku?

Aku hampir putus asa, sampai suatu ketika ada tamu wali santri yang masih terhitung saudaranya Alisa, datang ke asramaku. Ia sedang membesteli ponakannya di asrama putra, yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku.

“Kang, ini ada ada titipan dari Ibumu,” ia memberikan kardus ukuran sedang, yang kuduga itu makanan sambel goreng kesukaanku. Aku sangat senang sekali. Hal terindah bagi santri adalah dapat kiriman makanan.

“Dan ini,” ia memberikan buku yang terbungkus rapi. Aku kaget.

“Ini dari Alisa, dia bilang maaf baru sempat mengembalikannya,” katanya. Aku hanya mengangguk pelan. Aku tak pernah meminjamkan buku ke Alisa.

Setelah tamu pulang, langsung kubuka buku dari Alisa. Kutemukan surat. Surat balasan untukku.

–Hatiku tersenyum membaca harapan Kang Randu, yang juga menjadi harapanku. Mulai saat ini, jangan pernah merasa sendiri: karena ada aku yang mencintai.– –Alisa Larasati-

Aku girang bukan main. Nyaris teriak, sebelum menyadari kalau sedang berada dikamar pondok. Aku langsung ke pojok lemariku. Kubaca berkali-kali surat Alisa, sampai hafal setiap kalimat, baris, titik dan komanya.

Sejak itu, lembaran kisahku dengan Alisa berjalan dipenjara suci. Kami sepakat menyembunyikan hubungan ini. Kami menikmati kesunyiannya. Ada kesyahduan, meski ketakutan kepada pengurus keamanan selalu membayangi.

Sampai pada suatu hari, orang kepercayaanku mendapatkan pesannya. Alisa minta putus. Ia bilang tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku jelas gak mau. Aku sayang dan bermimpi bisa bersama selamanya.

“Apa Alisa menyebutkan alasannya?” tanyaku sungguh ingin tahu.

“Ia mengatakan: tak ada yang pantas diperjuangkan oleh santri kecuali ilmu. Dan tak ada yang lebih layak diharapkan dengan sungguh-sungguh kecuali barokah dan ridho dari guru.” Aku termangu. Benar memang katanya.

“Ada lagi?”

“Ia minta putus atau dia yang memutuskan.”

Aku kaget, juga bingung. Aku berusaha mencari-cari kesalahan apa yang telah aku lakukan, dan aku tak menemukannya. Aku setia. Aku bahagia memiliki hatinya dan aku akan selalu membahagiakannya. Tapi kenapa ia minta putus?


–Sepi, sering menciptakan penjara didalam jiwa insan, menghamparkan paparan kabut yang seperti tak terhingga. Dua hal yang bertentangan tetapi kerap terjelma bersama.–

–Disaat jiwa berkelindan terlilit bosan, sepi adalah sahabat jiwa yang mengerti tentang permenungan, adalah kekasih dari sepotong hati yang merindukan selimut kehangatan—

–Tapi bila kalbu sepi tak terisi oleh jiwa yang memancarkan cahaya kehidupan, kehidupanpun laksana dunia yang terlempar keluar dari bimasakti, jauh dari mentari…–

–Sementara sepi pulalah yang memenjarakan jiwa dilorong-lorong sembab, memicu kerinduan akan hangatnya mentari…–

–Dimanakah mentari kini berada? Sementara sepertinya hari masih berpelukan dengan malam, dan jiwaku masih terlalu asyik memandang purnama tersenyum ditengah kedinginan dan kesendirianku–

–Kurindukan pagi kan segera menjemput, namun kutakut bila panas mentari membekukan keberdayaanku, aku akan merindukan kembali kesejukan rembulan–

–Jadi, manakah??? Sementara aku tak punya sayap tuk menggapai purnama, dan ku tak punya cukup kekuatan tuk berdampingan dengan mentari..—

–Ah…biarlah saja mentari dan rembuan silih berganti, agar jiwaku tak beku ataupun meleleh..–

Mataku berkaca-kaca membaca tulisan Kang Randu. Aku menangis bahagia. Ternyata cinta Kang Randu teramat besar. Tapi ini pesantren, apapun alasanya, aku tak mau pacaran. Terlebih kamarin Mbak Ifah, seniorku di asrama putri sudah mendatangiku.

“Aku cuma mengingatkan, serapat apapun santri menyembunyikan hubungannya dengan santri putra, pasti akan terbongkar juga. Contohnya sudah banyak. Dan kamu tahu hukuman apa untuk santri yang terbukti pacaran, kan? Aku gak mau kamu dibirat.” Mbak Ifah mengingatkanku, tapi terdengar seperti ancaman.

“Pikirkanlah. Kamu tahun depan akan diangkat jadi ustadz sekaligus pengurus madrasah. Itu berarti kamu diberi kepercayaan oleh ibu nyai. Jangan kecewakan semua orang yang menyayangimu. Jangan sia-siakan amanah,” kata Mbak Ifah sambil meninggalkanku.

Kata-katanya sungguh membutku takut. Tapi Mbak Ifah benar, apa artinya menjalin kasih jika akhirnya kami berdua harus dipulangkan? Betapa kecewa dan malunya orang tua dan keluarga kami di rumah seandainya kami benar-benar diboyong. Kupejamkan mata ini, membayangkan wajah bapak-ibuku di rumah yang telah bekerja keras banting tulang demi membiayaiku dipesantren.

Maka semakin bulat kuputusanku, meski cinta Kang Randu teramat besar untukku, meski aku juga sangat sayang kepadanya, tapi ini pesantren, aku tidak mau pacaran.

“Inilah jalan yang benar ketika santri jatuh cinta,” kataku mantap.


Aku sedang menderas kitab kuning ketika sang kurir rahasia masuk ke kamarku.

“Kata Alisa ini adalah surat terakhir dan tidak boleh dibalas. Alisa tak mau lagi menerima surat dari Kang Randu. Apapun alasannya!”

Aku menerima surat Alisa dengan kecewa. Kutaruh surat itu diatas kitab. Aku malas membacanya. Jika surat saja ia tak sudi menerima, apalagi perasaanku? Aku berangkat mengaji dengan hati terluka. Alisa, mengapa kau setega itu?

Namun, ketika malam datang, saat santri lain tertidur lelap, aku penasaran. Bagaimanapun aku harus menghadapi kenyataan dengan berani. Kuambil surat dan keluar asrama, menuju pojok pesantren yang sepi.

–Kang Randu,–

–Biarkan cintaku berkembang dalam diam dan sunyi, karena cinta yang murni takkan mati dalam sepi.–

–Cukuplah doa yang menyatukan kita disini, karena dalam doa, kita tak melanggar aturan penjara suci.–

–Tak usah khawatir. Hatiku terjaga, selagi hati Kang Randu tidak kemana-mana.–

–Aku akan menunggu saat 1002 bait Alfiyah Ibnu Malik diikrarkan dalam ruang sakral,–

–Disana…didepan orang tuaku, didepan penghulu.–

–Bukan disini, dan bukan saat ini.–

Gusti..!! Ternyata Alisa tidak memutuskanku, tapi menjaga hubungan ini. Ia memutus untuk mengikat. Membebaskanku pergi untuk kembali dalam ikatan suci.

Aku senang, juga tenang. Kurela tidak berpacaran dengan Alisa, karena ada kepastian. Kepastian akan cinta dan masa depannya hanya untukku saja.

Dengan semangat kubuka nadzom alfiyah-ku, ku baca keras-keras:

“Qoola muhammadun huwabnu maliki, Ahmadu robbillaha khoiro maaliki”
“Musholliyan ‘alaa an-nabiyyil mushtofa, wa aalihil mustakmiliina syarofa”

Alisa, tunggulah… dua tahun lagi, aku akan datang melamarmu dengan alfiyah-ku.

Penulis: Mansur Jamhuri, Pengurus Ponpes KHAS Kempek – Cirebon

2 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here