5 Pesan KH. Ni’amillah Aqil dalam Khutbah Gerhana Matahari Cincin

0
523

KHASKEMPEK.COM – Allah menciptakan segala sesuatu tak lain sebagai ayat atau tanda akan keberadaan-Nya. Dalam khazanah Islam lazim kita dengar istilah ayat qauliyyah dan ayat kauniyyah. Yang pertama merujuk pada ayat-ayat berupa firman Allah (Al-Qur’an), sedangkan yang kedua mengacu pada ayat berupa ciptaan secara umum, mulai dari semesta benda-benda langit sampai diri manusia sendiri.

Demikian disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek KH. Ni’amillah Aqil Siroj saat menjadi imam sekaligus khatib shalat gerhana matahari cincin yang dilaksanakan di Masjid Al-Jadied, Kamis siang (26/12/2019). Dalam khutbahnya, beliau berpesan 5 hal. Yakni bersyukur, bertasbih, beristighfar, bersujud dan bertaubat.

1. Bersyukur

Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri….” (QS Fushshilat [41]:53 )

Tanda (ayat) tetap akan selalu berposisi sebagaimana tanda. Ia medium atau perantara untuk mencapai sesuatu. Kita bisa tahu udara sedang bertiup ke arah utara ketika kita menyaksikan daun pepohonan sedang bergerak ke arah utara. Kita bisa tahu dari kejauhan sedang terjadi kebakaran saat menyaksikan kepulan asap membumbung ke udara. Dalam konteks ini, fenomena daun bergerak dan membumbungnya asap hanyalah perantara bagi yang melihatnya tentang apa yang berada di baliknya, yakni udara dan api.

Dalam skala yang lebih besar dan lebih hakiki, fenomena pergerakan benda-benda langit yang demikian tertib, agung, dan menakjubkan adalah tanda akan hadirnya Dzat dengan kekuasaan yang tak mungkin tertandingi oleh apa pun dan siapa pun. Dialah Allah subhânahu wata’âlâ.

Dengan demikian, fenomena gerhana matahari cincin yang kita saksikan saat ini pun seyogianya kita posisikan tak lebih dari ayat. Kita patut bersyukur mendapat kesempatan melewati momen-momen indah tersebut. Selain menikmati keindahan dan mengagumi gerhana
matahari cincin yang terjadi hanya 1 kali dalam beberapa ratus tahun, cara bersyukur paling sejati adalah meresapi kehadiran Allah di balik peristiwa alam ini.

2. Bertasbih

Jika kita sering mendengar anjuran untuk mengucapkan tasbih “subhânallâh” (Mahasuci Allah) kala berdecak kagum, maka sesungguhnya itu manifestasi dari ajaran bahwa segala sesuatu—bahkan yang menakjubkan sekalipun—harus dikembalikan pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kita dianjurkan untuk seketika mengingat Allah dan menyucikannya dari godaan keindahan lain selain Dia. Bahkan, Allah sendiri mengungkapkan bahwa tiap sesuatu di langit dan di bumi telah bertasbih tanpa henti sebagai bentuk ketundukan kepada-Nya.

Dalam Suarat al-Hadi ayat 1 disebutkan:

Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sementara dalam Surat al-Isra ayat 44 dinyatakan:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

3. Beristighfar

Apa konsekuensi lanjutan saat kita mengimani, menyucikan, serta mengagungkan Allah? Tidak lain adalah berintrospeksi betapa lemah dan rendah diri ini di hadapan Allah. Artinya, meningkatnya pengagungan kepada Allah berbanding lurus dengan menurunnya sikap takabur, angkuh atas kelebihan-kelebihan diri, termasuk bila itu prestasi ibadah. Yang diingat adalah ketakberdayaan diri, sehingga memunculkan sikap merasa bersalah dan bergairah untuk memperbanyak istighfar.

Semakin kita meyakini, melihat dan merasakan kebesaran Allah yang Allah tunjukkan kepadaa kita, semakin yakin bahwa jiwa dan raga serta seluruh alam jagat raya ini adalah milik-Nya dan berada dalam genggaman-Nya. Betapa kita hanya noktah kecil dalam jagat raya ini yang tak pantas berbangga diri. Mudah bagi Allah untuk mengambil siang menjadi malam, mengembalikan malam menjadi siang sebagai tanda kebesaran Allah dalam ayat-ayat kauniah.

Meyakini dan merasakan kebesaran tersebut adalah merupakan tanda ketakwaan kita kepada Allah. Rasa takut atau khosyah terhadap Allah merupakan penjabaran dari keimanan dengan meyakini, jika Allah murka terhadap kita atas perbuatan dan prilaku dholim kita, maksiat yang dengan bangga kita lakukan, kemaksiatan dan kebiadaban yang kita tunjukkan dihadapan orang lain tanpa sedikitpun ada rasa malu dalam diri kita bisa jadi akan mengundang murka Allah. Mudah bagi Allah untuk menutup siang dan mnjadikan seluruhnya malam. Mudah bagi Allah untuk menggeserkan matahari terhadap bulan, dalam waktu yang sama Allah juga geserkan seluruh isi alam jagat raya ini.

4. Bersujud


Dalam momen gerhana matahari ini pula kita dianjurkan untuk menyujudkan seluruh kebanggaan dan keagungan di luar Allah, sebab pada hakikatnya semuanya hanyalah tanda.


“Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,” (QS Fushilat [41]: 37).

Dalam tataran praktis, ada yang memaknai perintah sujud pada ayat tersebut sebagai perintah untuk melaksanakan shalat gerhana sebagaimana yang kita lakukan pada siang hari ini.

5. Bertaubat

Momen gerhana matahari juga menjadi wahana tempat untuk memperbanyak permohonan ampun, tobat, kembali kepada Allah sebagai muasal dan muara segala keberadaan.

Semoga fenomena gerhana matahari cincin kali ini meningkatkan kedekatan kita kepada Allah subhânahu wata‘âlâ, manjauhkn kita dari berbuat maksiat baik tersembunyi maupun terang-terangan, menghindari dari prilaku dzalim kepada orang lain baik disengaja maupun tidak disengaja, membesarkan hati kita untuk ikhlas menolong sesama, serta menjaga kita untuk selalu ramah terhadap alam sekitar kita. Wallahu a’lam. (KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here