KH Ahsin Syifa Aqil: Santri Kalau Bangun Malam Tidak Usah Tahajud, Belajar Saja!

0
1567

KHASKEMPEK.COM – Jam menunjukkan angka 07.45. Meskipun pengajian baru akan dimulai pukul 08.00, tapi para santri sudah memasuki kelasnya masing-masing. Waktu 15 menit biasanya digunakan untuk nadzaman sambil menunggu ustadz atau kiai masuk.

Waktu itu penulis masih kelas Imrithi di Ponpes KHAS Kempek Cirebon. Kelas tingkat ke-4 waktu itu. Bersama teman-teman satu kelas, kami kompak melantunkan nadzham Imrithi yang sudah kami hafal sambil menunggu Kiai Ahsin masuk. Kebetulan hari ini adalah pelajaran kitab Fath al-Qarib dan beliau langsung yang mengajar.

Begitu Kiai Ahsin masuk. Kami semua langsung diam serempak. Bak pasukan brimob yang dikomandoi dalam apel pagi. Bedanya kami tanpa komando dan dalam posisi duduk takzim menundukkan kepala. Meski pas nadzaman tadi ada yang cengengesan bahkan ada yang tertidur pulas sebelum akhirnya dikeplak teman sampingnya pas kiai datang.

Alasan kami duduk seperti itu ada dua kemungkinan; antara takzim kepada kiai dan takut ditunjuk suruh baca. Bagi beberapa santri beranggapan bahwa, ditunjuk kiai suruh baca di depan adalah musibah besar. Apalagi jika kurang mempersiapkan diri untuk baca. Keringat bisa bercucuran dan nada bicara gagap tidak karuan setelah digertak kiai karena salah baca. Horor dan menegangkan.

Dalam penyampaian materi, Kiai Ahsin begitu sederhana. Tidak melebar kemana-mana. Singkat dan padat. Beliau juga teliti dalam memberikan afsahan (maknai perkalimat). Konon beliaulah satu dari kelima putra KH Aqil Siroj (pendiri Ponpes KHAS Kempek Cirebon) yang cara mengajarnya identik dengan ayahnya. Demikian menurut pengakuan KH M. Musthofa Aqil (Pengasuh KHAS Kempek sekrang sekaligus kakak beliau).

Ini adalah bukti kemumpunan intelektual dan spiritual Kiai Ahsin, juga kiai-kiai pesantren pada umumnya. Tidak seperti kebanyakan mubalig yang viral di medsos sekarang. Jangankan spiritual, ilmupun hanya dari terjemahan. Hanya modal retorika dan penampilan yang aduhai. Bukan malah mencerahkan, malah membingungkan. Sungguh keterlaluan.

Seperti biasa. Di sela-sela pengajian Kiai Ahsin selalu memberi nasihat. Entah sepatah atau dua patah kata. Yang jelas penulis pasti catat di buku kecil khusus kumpulan dawuh-dawuh kiai -sampai sekarang masih tersimpan dengan isi penuh dawuh kiai-kiai selama mengaji- atau kalau tidak dicatat samping korasan kitab yang kosong.

Waktu itu Kiai Ahsin dawuh begini, “Santri lamon melek bengi beli usah sholat tahajud maning, wis kanggo muthol’ah bae.” Santri kalau bangun malam tidak usah tahajud lagi, cukup untuk belajar saja. Tutur beliau.

Dalam perjalanan pulang ngaji menuju asrama penulis mencoba mencerna dawuh beliau tadi. Orang sholat tahajud kok enggak boleh, suruh belajar saja. Sebegitu utamakah muthola’ah? Sampai mengalahkan sholat tahajud.

Sampai di asrama penulis samar-samar ingat hadis keutamaan menuntut ilmu di kitab Lubabul Hadis yang kebetulan pernah dikaji Kiai Ahsin bulan puasa lalu. Setelah penulis buka pada bab Keutamaan Ilmu dan Ulama (Fadlu al-‘Imli wa al-‘Ulama) yang berbunyi,

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻪِ ﺍَﻭْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﻤَﻞْ ﺑِﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﺍَﻓْﻀَﻞَ ﻣِﻦْ ﺍَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻰَ ﺍَﻟْﻒَ ﺭَﻛْﻌَﺔٍ ﺗَﻄَﻮُّﻋًﺎ

Artinya:

“Nabi Muhammad Saw bersabda, ‘Barang siapa mempelajari satu bab ilmu ( saja ), baik diamalkan maupun tidak ,maka itu saja sudah lebih baik daripada shalat sunah 1000 raka’at.”

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ juga menjelaskan,

انهم متفقون على ان الاشتغال بالعلم أفضل من الاشتغال بنوافل الصوم والصلاة والتسبيح ونحو ذلك من نوافل عبادات البدن، ومن دلائله سوى ما سبق أن نفع العلم يعم صاحبه والمسلمين، والنوافل المذكورة مختصة به

Artinya:

“Ulama salaf sepakat bahwa menuntut ilmu lebih utama ketimbang ibadah sunnah, semisal puasa, shalat, tasbih, dan ibadah sunnah lainnya. Di antara dalilnya adalah, selain yang disebutkan di atas, ilmu bermanfaat bagi banyak orang, baik pemiliknya maupun orang lain, sementara ibadah sunnah yang disebutkan (manfaatnya) khusus bagi orang yang mengerjakan saja.” (Lihat kitab al-Majmu’, juz 1, hal. 21).

Ini jelas bahwa belajar lebih utama daripada shalat sunah, termasuk shalat tahajud. Bahkan hadis di atas menjelaskan jika belajar satu bab ilmu saja, diamalkan atau tidak, lebih baik dari shalat 1000 rakaat.

Sampai beberapa tahun kemudian penulis mendengar salah seorang kiai -entah lupa siapa, karena kebetulan waktu itu penulis mendengar dari salah seorang guru yang menyamarkan nama kiai itu- yang mengkritik hadis-hadis di kitab Lubab al-Hadis karena kebanyakan hadis do’if (lemah). Guru saya menanggapi tidak apa-apa, itukan hadis-hadis fadha’ilu al-a’mal (hadis motivator untuk berbuat kabaikan).

Memang dalam ranah fadha’il al-a’mal hadis-hadis masih ditolelir engan ketentuan sebagai berikut:

  1. Dalam ranah pembahasan Fadla’ilul a’mal (keutamaan amal ibadah) seperti At-Targhib wa at-Tarhib (motivasi melakukan kebaikan dan meniggalkan keburukan).
  2. Jika masuk ranah hukum halal dan haram atau akidah maka tidak boleh. Kemudian jika masuk ranah hukum syariat makruh, maka dalam rangka kehati-hatian (ihtiyath) lebih baik dihindari saja.

Imam Nawawi berkata,

[ فصل ] : قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم : يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يُعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياطٍ في شيء من ذلك كما إذا وردَ حديثٌ ضعيفٌ بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة فإن المستحبَّ أن يتنزّه عنه ولكن لا يجب. الأذكار للنووي – (ص8 )

Artinya:

“(Pasal): Para Ulama dari kalangan ahli hadits dan pakar fiqh dan lainnya menyatakan: ‘Boleh dan Sunnah hukumnya melakukan keutamaan sebuah pekerjaan (fadlail), motivasi melakukan kebaikan dan ancaman melakukan pelanggaran berdasarkan hadits lemah (dlaif) selama statusnya bukan palsu. Apabila terkait dengan hukum seperti halal haram, transaksi jual beli, nikah, cerai dan lainnya maka hanya bisa dijadikan pijakan hanyalah hadits shohih dan haslan, kecuali dalam rangka hati-hati. Misalnya, ada sebuah hadits lemah yang menyatakan makruhnya sebagian bentuk jual beli dan pernikahan, maka sebaiknya dihindari namun tidak wajib. (Lihat kitab al-Adzkar, hal. 8)

Dalam kesempatan lain Imam Nawawi berkata,

“ويجوز عند أهل الحديث وغيرهم التساهل في الأسانيد، ورواية ما سوى الموضوع من الضعيف، والعمل به من غير بيان ضعفه في غير صفات اللـه تعالى، والأحكام كالحلال والحرام، ومما لا تعلق له بالعقائد والأحكام “. اهـ. التقريب ج1ص502

Artinya:

“Bagi para pakar hadis, boleh mentolelir sanad-sanad, meriwayatkan hadis yang dla’if (asalkan bukan mau’dlu’) dan mengamalkannya dengan tanpa menyebutkan status kedla’ifannya. Selagi tidak membahas sifat-sifat Allah Swt, hukum-hukum seperti halal dan haram dan tidak membahas terkait akudah atau hukum-hukum. (Lihat kitab at-Taqrib, juz 1, hal. 502).

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga berkata,

قد ثبت عن الإمام أحمد وغيره من الأئمة أنهم قالوا: إذا روينا في الحلال والحرام شددنا، وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا” انتهى من (القول المسدد في الذب عن مسند أحمد ج1/ص11).

Telah tetap dari Imam Ahmad dan imam-imam lain bahwa, mereka berkata: “Ketika kami meriwayatkan hadis tentang hukum haram dan halal maka kami sangat protektif. Tapi jika meriwayatkan hadis terkait fadhailu al-a’mal dan yang lainnya, maka kam masih mentolelir (untuk diamalkani). (Lihat kitab al-Qoulu al-Musaddad fi al-Dzabbi ‘ala Musnadi Ahmad, juz 1, hal. 11)

Kemudian Imam Suyuti juga berkata,

(وممن نُقل عنه ذلك: ابن حنبل، وابن مهدي، وابن المبارك، قالوا: إذا روينا في الحلال والحرام شدَّدنا، وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا” التدريب ج1ص503.

Artinya:

“Termasuk ulama yang mengutip pendapat tersebut adalah Ibnu Hambal, Ibnu Mahdi dan Ibnu al-Mubarok, mereka berkata: ‘Ketika kami meriwayatkan hadis terlait pembahasam hukum halal dan haram, makan kami sangat protektif. Tapi jika kami meriwayatkan hadis terkait fala’il al-a’mal dan semisalnya, maka kami masih mentolelir. Lihat kitab al-Tadrib, juz 1, hal. 503.

Masih banyak lagi pendapat-pendapat ualma serupa. Seperti Ibnu Qudamah al-Muqdisi al-Hambali dalam kitab al-Mughni (1/437-438), Ibnu Abd al-Bar dalam kitan at-Tamhid (6/39), Ibn al-Khatib dalam kitab al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ (2/316-320), al-Hafidz Ibn Rajab dalam kitab Syarhu ‘Ilal at-Tirmidzi, al-Hafidz Syamsu ad-Din as-Sakhawi dalam kitab Fath al-Mugits (1/288), Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fath al-Mubin fi Syarh al-Arba’in (32) dan lain-lain.

‘Ala kulli hal, hadis yang ada dalam kitab Lubab al-Hadis dan kitab-kitab yang lain, seperti Tanbih al-Ghafilin, Irsyad al-‘Ibad dan lain sebagainya, boleh dikaji dan diamalkan. Wallahu a’lam. (KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here