Urgensi Pertemuan Ulama Perempuan

0
294

KHASKEMPEK.COM – Alkisah, di zaman Bani Israil, hiduplah seorang bijak bestari yang dikenal ahli ibadah, fakih, cerdas, sekaligus pembaru. Di sisi lain, ulama tersebut sangat mencintai istrinya. Sampai-sampai datanglah waktu ketika sang kekasihnya itu meninggal dunia, ia pun lebih memilih mengurung diri, tak semangat berjumpa siapa pun.

Di sela-sela masa penuh kesedihan itu, datanglah seorang perempuan yang hendak meminta sebuah fatwa. Dengan begitu sabar, si perempuan tetap menunggu di depan pintu meskipun sudah diberi tahu sang tuan rumah masih tegas menolak siapa pun yang datang bertamu. Hingga akhirnya, seorang pembantu melaporkan kepada majikannya yang masih bersusah hati itu, “Ada seorang perempuan, ia berkukuh hendak bertamu. Dia tetap bertahan, di saat yang lain telah lama bubar.”

Akhirnya, sang ulama luluh hatinya. Ia menemui tamu tunggalnya itu dan menanyakan apa keperluannya. Sang tamu pun menjawab, “Saya datang ke sini hendak meminta petunjuk. Sekali waktu, saya meminjam perhiasan milik tetangga hingga beberapa lama. Kemudian, tetangga saya mengirimkan utusan untuk menagih perhiasan ini. Pertanyaannya, apa aku harus mengembalikannya?”

Sang ulama menghela napas. Sudah barang tentu, karena jawaban yang diminta sebenarnya sudah sangat gamblang. Sang bijak bestari pun menjawab, “Demi Allah, tentu, perhiasan itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Apalagi yang dipersoalkan?”

Mendengar jawaban itu, tamu perempuan tersebut berbalik tanya, “Semoga Allah merahmatimu. Lantas mengapa engkau bersedih atas apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu? Dulu Dia pinjamkan seorang istri kepadamu, lalu sekarang Dia pula mengambilnya lagi. Padahal Dia lebih berhak atasnya.”

Dakwah perempuan

Kisah tersebut cukup masyhur. Cerita itu ditulis Imam Malik dalam Muwatha’ pada pembahasan Al-Jana’iz, Bab Jamu‘ al-Hisbah fi al-Mushibah. Hikayat tersebut merupakan nasihat Muhammad bin Ka‘b Al-Qurazhi saat bertakziah kepada Al-Qasim bin Muhammad ketika ditinggal wafat sang istri. Namun, yang patut menjadi perhatian ialah bagaimana kemasan bahasa si perempuan itu begitu halus, tetapi mengena.

Pertanyaan berulang tamu perempuan itu sejalan dengan mental dakwah Islam yang dijelaskan dalam QS An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Penokohan perempuan dengan penyampaian dakwah yang lembut dalam kisah tersebut bukanlah sebuah kebetulan. Benar, jika perilaku, apalagi sekadar kemasan bahasa yang lembut dan santun tidak berkorelasi mutlak pada status gender seseorang, ia bisa dipertukarkan dan bersifat kasuistik. Namun, dominasi bahasa yang tak blak-blakan, menimbang perasaan, dan penuh santun tetap lebih banyak bermuara pada kebiasaan lisan dan tingkah perempuan.

Sekali lagi, meskipun bukan identitas yang tak bisa ditawar, lelaki dan perempuan secara keumuman menemui adat bahasanya sendiri. Profesor linguistik di Universitas California, Robin Lakkof, dalam Language in Context (1972) mengatakan penggunaan bahasa laki-laki dan perempuan bisa dilihat dari intonasi kalimat yang dituturkan.

Menurut dia, perempuan cenderung menggunakan kalimat yang lebih lembut dan sopan ketimbang laki-laki. Lakkof mencontohkan kalimat, “Adi ada di rumahmu, bukan?” dan “Apakah Adi ada di rumahmu?” Menurutnya, kalimat pertama lebih sering digunakan laki-laki, sedangkan kalimat kedua cenderung digunakan perempuan dengan intonasi yang lembut. Bangunan kalimat tersebut disesuaikan dengan konteks kultural seorang perempuan. Oleh karena itu, perempuan lebih dikenal sebagai makhluk yang lemah dan lembut.

Kesan lemah dan lembut itu lantas tidak bisa dimaknai sebagai sepenuhnya kelemahan dan kelembutan. Namun, secara berlawanan, hal itu justru bisa diartikan sebagai strategi dan senjata dalam melakukan penaklukan.

Dalam Kuasa Wanita Jawa (2004), Christina S Handayani dan Ardhian Novianto membagi dua strategi kekuasaan yang dilakukan perempuan Jawa sebagai bentuk kekuasaan yang dimiliki. Pertama, bermain di dalam ruang kekuasaan. Berangkat dari konsep bahwa perempuan Jawa bersifat lembut, sabar, kalem, dan tenang, mereka tidak melakukan perlawanan secara konfrontatif atau menuntut peran-peran publik. Perempuan Jawa lebih sering menekan lawannya melalui diplomasi, secara personal, dan proses tawar-menawar. Bahkan, hingga ke ruang paling pribadi.

Kedua, penaklukan diri ke dalam. Strategi ini berlandaskan prinsip bahwa ada proses penyerapan energi kaum laki-laki oleh perempuan melalui strategi ‘memangku’ yang diekspresikan dalam sikap melayani dan mengabdi secara total kepada suami. Dalam proses ini terkandung sebuah kesediaan perempuan untuk menjadi tempat bersandar bagi laki-laki, yang sesungguhnya pada akhirnya membuat suami amat tergantung kepada sang istri.

Strategi tersebut amat sangat dibutuhkan untuk diterapkan di zaman serbasensitif seperti sekarang ini. Faktanya, pola dakwah penuh analogi dengan bahasa-bahasa santun kini lebih banyak digemari. Perempuan dengan kecenderungannya yang lembut dan santun, ditambah kefakihannya sebagai individu berkapasitas ulama, kian menjadi pendorong spirit dakwah Islam rahmatan lil alamin.

Dalam sebuah hadis, sahabat perempuan bernama Asma binti Yazid pernah mengutarakan aspirasi kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan analogi yang pas dan perkataan yang lembut. Padahal, secara substansi ia sedang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam meraih peluang ibadah dan pahala dalam Islam. Berkat kemasan bahasanya yang apik, halus, tetapi mengena, Rasulullah menjawabnya dengan lebih dahulu bertanya para sahabatnya yang lain, “Apakah kalian pernah mendengar ungkapan seorang perempuan (siapa pun) yang lebih baik pertanyaannya tentang agama dari pada perempuan ini?” Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah menyangka bahwasanya seorang perempuan mempunyai pemikiran semacam ini.”

Mengorganisasi dakwah

Dalam hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi itu, setidaknya ada dua hal penting yang diisyaratkan Asma. Pertama, di zaman Nabi SAW, para perempuan Islam begitu terorganisasi. Bahkan, dari kalangan mereka memiliki seorang juru bicara yang dipilih berdasarkan kemampuan bahasa yang cakap, serta pemaparan yang tegas. Kedua, pemikiran kesetaraan gender sudah eksis di benak para perempuan Islam zaman Nabi dan mendapatkan respons bijak dari Rasulullah SAW.

Inilah potret dakwah perempuan Islam pada 15 abad lalu. Metode ini penting untuk dihidupkan kembali sebagai cara untuk memajukan kembali peradaban Islam, sekaligus mengembangkan warisan-warisan keilmuan yang sudah barang pasti menjadi tanggung jawab ulama sebagai pewaris Nabi. Maka, sudah sangat pas betul jika banyak tokoh baik perempuan maupun laki-laki yang berpikiran progresif berbasis kerahmatan Islam kembali mendorong digelarnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pertemuan akbar tersebut menjadi jalan utama demi mewujudkan peradaban yang berkeadilan.

KUPI II yang rencananya akan diselenggarakan di Jawa Tengah pada 23-26 November 2022 ini bisa menjadi wadah mengorganisasi kemampuan dan keluhuran dakwah perempuan Indonesia. Menurut Ketua Pelaksana KUPI II, Nyai Masruchah, setidaknya ada tiga tujuan besar dalam perhelatan intelektual ulama perempuan Indonesia tersebut.

Pertama, merumuskan paradigma pengetahuan dan gerakan transformatif, termasuk metodologi perumusan pandangan dan sikap keagamaan para ulama perempuan mengenai isu-isu aktual yang didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dan akhlakul karimah, konstitusi Republik Indonesia dan perundang-undangan yang berlaku, serta pengetahuan dan pengalaman perempuan.

Kedua, merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia mengenai isu-isu aktual tertentu terkait dengan hak-hak perempuan dengan menggunakan paradigma dan metodologi yang diadopsi KUPI. Isu-isu yang dimaksud ialah tentang pengelolaan sampah bagi keberlanjutan lingkungan, kepemimpinan perempuan dalam melindungi bangsa dari ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan, pemaksaan perkawinan terutama bagi perempuan dan anak-anak, dan pemotongan genitalia perempuan.

Sementara itu, tujuan ketiga, menyediakan ruang refleksi bagi semua aktor dalam gerakan dan jaringan internasional dalam melihat perkembangan positif kesetaraan gender di masyarakat muslim serta peran keulamaan perempuan, praktik-praktik, dan tantangan komunitas inter dan intra faiths (agama dan keyakinan) dalam mempromosikan hak-hak perempuan di berbagai belahan dunia.

Momentum ini sangat dibutuhkan sebagai upaya dalam memecahkan seabrek masalah aktual dengan prinsip penuh kesantunan dan spirit Islam rahmatan lil alamin. Isu-isu besar dan berat terkait nasib perempuan, misalnya, tidak mungkin bisa diselesaikan dengan bahasa sembarang, sekaligus liar tanpa pengorganisasian yang matang.

Pertemuan ulama perempuan melalui KUPI ini menjadi keharusan. Terutama dalam menyelesaikan lima isu yang lebih luas dan penting, yakni pengelolaan sampah bagi keberlanjutan lingkungan, kepemimpinan perempuan dalam melindungi bangsa dari ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan, pemaksaan perkawinan terutama bagi perempuan dan anak-anak, pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.

Akhir kalam, selamat berkongres, para nyai se-Indonesia. Melalui KUPI, semoga mampu mewujudkan rancang bangun gerakan yang inklusif dan koheren dengan mengadopsi tata kelola gerakan yang terbuka dan akuntabel serta mengembangkan narasi-narasi dakwah yang ramah, santun, dan mengayomi.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/532732/urgensi-pertemuan-ulama-perempuan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here