Tragedi Sandal Kiai Hilang di Muktamar

0
619

KHASKEMPEK.COM – Di lingkungan pesantren (dan Nahdliyin pada umumnya), kiai adalah sosok adiluhung yang sangat dihormati. Anda bisa saksikan sendiri, begitu ada kiai lewat, para santri bisa otomatis berdiri mematung sambil menundukkan kepala penuh takzim. Pandangan mata juga tertunduk ke bawah, sampai tidak tahu kalau kiai sudah melintas sekian jauh.

Ada banyak sekali tradisi penghormatan kapada sosok kiai di pesantren yang sampai sekarang masih lakat di kehidupan para santri. Sebagai salah institusi intelektual Muslim, tentu pesantren bukan tanpa alasan merawatnya.


Dalam tradisi keilmuan, seorang santri (pencari ilmu) wajib menghormati ilmu itu sendiri, demi mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan. Termasuk bentuk penghormatan itu adalah dengan mengagungkan orang-orang yang memiliki ilmu, di antaranya adalah sosok kiai. Bahkan kiai di mata santri tidak sebatas orang ‘alim yang harus dimuliakan, melainkan juga orang yang sangat diharapkan limpahan berkahnya. Tradisi rebutan berkah pun menjadi icon pesantren yang sangat kuat.

Dalam praktiknya seperti rebutan mencium tangan kiai, menjadi pengawal setianya, bahkan air sisa minumnya dijadikan bulan-bulanan: itu bukan air biasa, tapi air “keramat” yang sudah tersentuh oleh bibir yang saban malam hari, atau bahkan setiap detik, sibuk merapalkan macam-macam dzikir dan hizib.

Termasuk bentuk tabarukan (ngalap berkah) itu adalah merapikan sandal kiai. Biasanya, ketika ada kiai memasuki ruangan (dan lepas sandal), santri akan sigap membalikkan sandal sang kiai.
Lalu seperti ada perasaan lega tersendiri setelah berhasil mendapat kesempatan ini.

Mungkin catatan Habib Ali Hasan Baharun ini cukup menjadi rujukan:

التبرُّكُ بالنَّعلين من الوليِّ أفضلُ منه بغيرهما لأنهما يَحمِلانِ الجُثَّةَ كلَّها.

“Ngalap berkah melalui sandal seorang wali labih utama dari pada dengan selainnya. Karena sandal digunakan untuk membawa jasad seutuhnya.” (al-Fawaidul Mukhtarah, hal. 570)


Salah satu kejadian lucu di Muktamar ke-34 NU kemarin adalah hilangnya sandal kiai sebakda shalat subuh (bahsa halusnya tertukar). Seorang infroman mengumumkan peristiwa “remeh” itu di tengah deg-degannya penghitungan suara hasil pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

“Izin para kiai, yang tadi shalatnya sebelah kiri, sandalnya mungkin tertukar sebelah,” begitu bunyi pengumumannya.

Suasana yang menegangkan, ditambah semalaman tidak tidur mengikuti proses pemungutan dan penghitungan suara, tentu sudah membikin pikiran tidak lagi fokus: ngantuk dan capek sudah risiko. Wajar saja jika sandal sampai tertukar.

Pikir saya, merek sandal itu mungkin tidak jauh-jauh dari “Lily”. Merek yang sudah melegenda di kalangan kiai. Sampai-sampai kalau menemui sandal merek demikian, hampir dipastikan ada kiai di situ. Lihat sandalnya saja sudah terasa aura keramatnya.

“Di mana ada Lily, di situ ada kiai”

Harganya pun masih terbilang murah dan tersedia di toko-toko kelontong. Tapi merk itu menjadi eksklusif karena selalu diidentikan dengan kiai.


Bagi orang yang tidak paham kultur pesantren, kahilangan sandal mungkin hal remeh. Tidak perlu dihebohkan. Apalagi sampai diumumkan melalui pengeras suara, didengar seluruh peserta Muktamar, dan akhirnya viral di media sosial.

Toh tinggal beli lagi, apa lagi banyak stand bazar Muktamar yang menjual aneka macam, termasuk sandal. Tapi bagi kalangan santri, hilangnya sandal kiai adalah tragedi.

*Abror
Jakarta, 26 Desember 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here