Tradisi Santri dan Peringatan Hari Santri Nasional

0
871

AYO SANTRI!
AYO NGAJI DAN PATUH PADA KIAI

AYO SANTRI
AYO SANTRI
AYO SANTRI
AYO NGAJI DAN PATUH PADA KIAI
JAYALAH BANGSA
JAYA NEGARA
JAYALAH PESANTREN KITA

Itulah bagian reff petikan lagu “Hari Santri” yg diinisiasi oleh Kementerian Agama RI. Dari lagu ini penulis terinspirasi untuk menuliskan pengalaman yang sangat berharga dalam masa-masa masih mesantren.

Penulis bersama 24 teman lainnya mengaji kitab Alfiyah Ibnu Malik seribu dua bait pada Murobbi ruhina waqudwatina, Almaghfurlah Buya H. Ja’far Shodiq Aqiel Siroj, kakak tertua dari 5 bersaudara, yang sering disebut “Pandawa Lima”. Adalah putra dari Muassis MTM, Syaikhona KH. Aqiel Siroj dengan Ny. Hj. Afifah binti Mbah Harun Sholeh. Semoga guru-guru kami mendapatkan tempat terbaik di surga, aamien.

Buya Ja’far, begitu santri memanggilnya, adalah pendiri Yayasan KHAS sekaligus Pengasuh Majlis Tarbiyatul Mubtadiien (MTM) yang sekarang berubah menjadi Pesantren Khas. Buya mengajar kami kitab Alfiyah dengan disiplin ketat dan keras seakan “maaf” tiada ampun untuk melanggar apa yang didawuhkannya. Dari sini penulis menyimpulkan, mengaji bersama Buya, bukan hanya dapat ilmu agama tapi juga kedisiplinan dan ketaatan mutlak. Mengaji sekaligus patuh pada kiai, “sami’na wa atho’na”.

Jadi didalam pesantren paling tidak terdapat karakter dan ciri khas yang sangat kuat yakni ; “Ayo Ngaji” dalam arti tradisi keilmuan dan “patuh pada kiai” dalam makna ketaatan mutlak, seperti bunyi lagu diatas.

1. Tradisi Keilmuan yang Mengakar.

Penulis mengaji Kitab Alfiyah sekitar 18 Juni 2000 M. atau 15 Rob.Awal 1421 H. sampai tahun 2002, demikian catatan dalam kitab penulis.

Buya Ja’far ngaji Alfiyah Ibnu Malik menggunakan kitab Dahlan Alfiyah, namun setiap santri dianjurkan untuk memiliki kitab Hasyiyah Khudhory dan/atau Hasyiyah Ibnu Hamdun, semuanya dua jilid dalam satu cetakan kitab.

Ketika memasuki muqoddimah bait ke 3, dalam catatan pinggir kitab penulis, Buya menceritakan bahwa dalam Ibnu Hamdun ada riwayat tentang peristiwa penting pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik. Setelah ditelusuri riwayat itu ada dalam kitab Hasyiyah Ibnu Hamdun halaman 16 cetakan Maktabah Dar Ihya. Singkatnya berikut ini, dan cerita ini sangat populer;

وَأسْتَعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِـيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

“Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi ilmu nahwu”.

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

“Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat”.

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

“Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi”.

Sampai di sini Syaikh Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Syaikh Abu Zakaria Yahya ibn Mu’thî Az-Zawâwi alQobilatu al-Maghribi atau Ibnu Mu’thi. Beliau wafat tahun 628 H. pada usia 64 tahun dan disemayamkan didekat makam Imam Syafi’i di Mesir (hal.15).

Dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait (hal. 16) :

فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ …….

“Mengunggulinya (karya Ibnu Mu’thi) dengan seribu bait,…….”

Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap begitu saja, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.

“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”

“Betul,” sahut Ibnu Malik.

“Sampai di mana?”

“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”

“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”

“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.

“Kau ingin menuntaskannya?”

Jawab Ibnu Malik “Ya.”

Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ

yang terpotong dengan

وَاْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ

“Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati”.

Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang telah wafat. Sebuah tamparan keras melukai perasaan sang pengarang Alfiyah.

Segera Ibnu Malik mengkonfirmasi,

لعلك انت ابن معطى

“Apakah kau Ibnu Mu’thi?”

Orang dalam mimpi menjawab, “Betul.”

Ibnu Malik menyadari dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah”.

وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

“Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat”.

Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

آباؤكم خير من أبنائكم الى يوم القيامة

“Para pendahulu (pelopor) lebih baik dari generasi penerus hingga hari qiyamat”.

Itulah gambaran orang alim dengan orang alim lainnya, etika dan tradisi keilmuan yang nyambung satu dg lainnya.

Itulah ilustrasi seseorang kalau mau jadi kiai atau ulama. Dalam tradisi pesantren biasa mengkaji berbagai kitab dan kajian lintas madzhab. Khatam Alfiyah saja kalau di NU tidak menjamin bisa jadi ulama. Berbeda dengan kelompok lain akhir² ini, tashrifan masih “kafaro yukaffiru kufron,” ditambah kemampuan menghujat kiai atau kelompok lain yg tidak seirama dan sehari-hari memakai jubah dengan jidat hitam, mereka sudah mengaku ulama.

Dalam tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama, yg memiliki kemampuan lebih saja tidak mudah untuk mengakui kiai, apalagi julukan ulama. Bahkan yg sudah jelas-jelas kiai diundang ulama saja terkadang masih tidak mau.

Inilah model keilmuan yang menjadi nafas santri sebagai tradisi pengetahuan yang mengakar kuat di pesantren.

2. Tradisi Ketaatan Mutlak

Cerita terbentuknya organisasi terbesar di Indonesia ” NU ” berikut ini, paling tidak mewakili sebagai interpretasi ketaatan seorang santri yg ta’dhim dan “apa jare” pada gurunya. (disarikan dari ceramah KH.M. Musthofa Aqiel).

Pada suatu hari, Syaikhul Masyaayikh “Mbah Kholil Bangkalan Madura” memanggil salah satu santri seniornya yang bernama As’ad Syamsul ‘Arifin dari Situbondo (dikemudian menjadi Rois ‘Aam PBNU) untuk memberikan sebuah kotak kepada seseorang yang bernama Hasyim Asy’ari, muda (Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari). Dia menempuh perjalanan dari Madura ke Jombang di Jawa.

Tak bisa dibayangkan, zaman belum ada Google Map, belum kenal yang namanya SMS, bahkan Kiai As’ad sama sekali tidak mengenal Kiai Hasyim.

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Koai As’ad tanpa pikir panjang dan langsung mau menuruti perintah gurunya?
Itu semata² karena sangat taatnya beliau, karena keyakinan beliau dan ta’dzimnya beliau yang sangat Ikhlas lillahi ta’ala kepada sang guru, Syaikhul Masyaayikh Mbah Kholil Bangkalan, agar mendapat berkah dan karomah dari Mbah Kholil.

Setelah sampai di Pulau Jawa, Kiai As’ad tak tahu harus kemana, beliau pasrah dan akhirnya beliau ziarah ke Makam Sunan Ampel. Beliau tawassul kepada Sunan Ampel, dan berdo’a kepada Allah agar dimudahkan bertemu dengan Kiai Hasyim Asya’ari.

Berkat ziarah dan doa, ternyata tidak disangka , dalam waktu sejenak, beliau bertemu dengan seseorang, yang kebetulan orang itu adalah tetangga Kiai Hasyim.

Lalu diantarlah Kiai As’ad ke kediaman Mbah Hasyim Asy’ari. Setelah bertemu, Kiai As’ad menceritakan kedatangannya dan memberikan sebuah kotak kepada Kiai Hasyim. Setelah dibuka, Kiai Hasyim terkejut, karena isi dari kotak itu adalah sebuah Tongkat dan Tasbeh.

Kiai Hasyim berhenti sejenak dan memikirkan apa maksud dari Tongkat dan Tasbeh itu. Dan mungkin karena ada dorongan batin yang kuat, Kiai Hasyim seolah diberitahu secara langsung oleh Mbah Kholil Bangkalan, “Hasyim, gaweya wadah kanggo ngurusi negara lan agama” (Hasyim, buatlah suatu wadah untuk mengurusi negara dan agama).

Dari sinilah beliau paham, apa maksud Tongkat dan Tasbeh itu ; tongkat maksudnya adalah negara, sedangkan tasbeh maksudnya adalah agama.

Inilah ruh pesantren dengan santrinya yang harus tawadhu’, ta’dhim dan taat kepada kiai atau yang lebih sepuh dan lebih dulu pengabdian ilmunya agar membawa keberkahan, kemanfaatan dan kemashlahatan umat. Semoga…

JAYALAH BANGSA NEGARA
JAYALAH INDONESIA
JAYALAH INDONESIA

Selamat Hari Santri Nasional 2019
“Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”

Cirebon, 22 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here