‘Santri Baru’ Dulu dan Kini

0
797

KHASKEMPEK.COM – Jika anda sedang atau pernah mesantren, saya punya beberapa pertanyaan. Dulu, saat pertama kali berangkat ke pesantren, naik apa? Dengan siapa saja? Apa saja yang dibawa? Kesan pertama kali melihat gerbang pesantren bagaimana? Dan perasaan apa saat orang yang mengantar kita pulang? Meninggalkan anaknya di tempat baru, belum kenal siapapun, asing sama sekali.

Bulan Syawal umumnya pesantren memulai ajaran baru. Bersiap-siap menerima ratusan, bahkan ribuan santri. Bagi para calon santri, juga harus siap-siap, menjalani hidup baru sebagai santri; tidak ada HP, TV, dan fasilitas mewah seperti saat di rumah.

Saya melihat, calon-calon santri yang siap dilepas dari rumahnya, dari kedua orang tua yang tiap hari memasakan nasi dan memanjakan dengan banyak hal.

Hampir bisa dipastikan, mereka bawa mobil sendiri dari rumah. Kalaupun tidak punya, ya biasanya nyewa. Alasannya, selain kenyamanan, juga membawa sanak-saudara untuk ‘mengiring’ keberangkatan. Semakin besar muatan mobil, semakin banyak pula muatan bawaan dan jumlah ‘pengiring’ yang ikut.

Jika sebelum pandemi, saya menyaksikan sendiri, banyak bus, atau bahkan mobil truk. Mobil bermuatan super itu untuk membawa pasukan ‘iring-iringan’ pengantar anak mesantren. Kadang cuma satu anak yang diiring. Iya, sengaja membawa keluarga besar, atau bahkan tetangga-tetangga. Sudah seperti mau berangkat haji saja.

Yang lebih nahas lagi, sudah diiring rombongan hampir ‘satu RT’, anaknya tidak betah. Baru satu minggu, nangis minta pulang, dan tidak kembali lagi ke pesantren. Masalahnya bukan apa-apa, sudah diiring satu RT loh, kok nggak betah. Kan malu sendiri, untung tidak jadi buah bibir warga, “Si anuk kok nggak betah ya, yang ngiring saja satu RT, sudah kayak mau haji ke Mekah saja.”

Ini potret ‘santri baru’ sekarang. Meski tidak semuanya. Masih banyak yang berangkat dengan sederhana, bahkan alakadarnya. Mereka yang berangkat bawa ‘pasukan perang’ pun (saking banyaknya pengiring), juga lebih banyak yang betah, daripada yang tidak. Santri tidak betah itu, dari dulu sampai sekarang, hanya minoritas, cuma sepersekian persen.

Dulu sekitar sepuluh tahunan silam, penulis juga merasakan menjadi santri baru. Bedanya, keberangkatan ke pesantren waktu itu masih sangat sederhana. Tidak nyewa mobil sendiri, ataupun iringan-iringan rombongan keluarga besar.

Dari rumah cuma diantar bapak. Naik angkutan umum, berdesakan dengan penumpang lain, dan, tidak lupa tawar menawar ongkos mobil dengan pak kernek: berharap dapat harga lebih murah, meski cuma selisi dua ribua.

Barang yang dibawa pun tidak terlalu banyak, hanya sebanyak muatan ransel dan kardus indomi. Kebayang, apa saja yang saya bawa. Cuma pakaian, beberapa alat tulis, dan masakan buatan ibu untuk di makan begitu sampai di pesantren. Biar tidak cari warung.

Kebetulan, angkutan yang kami tumpangi banya berhenti di jalan raya. Tidak sampai ke gerbang pesantren. Dari jalan raya itu, kami berdua menaiki becak. Sepanjang perjalanan becak menuju pesantren, dimanjakan dengan pandangan sejuk sawah sepanjang jalan (belakangan saya mengenal nama jalan itu, ‘Jalan Tunggal Pegagan). Sedikit menjadi penawar dag-dig-dug hati saya, “Duh, bentar lagi sampai, bentar lagi sampai.”

Ada sedikit kenangan pilu. Dulu, saat hendak bayar uang daftar sekolah formal di pesantren, uang yang bapak bawa tidak cukup, hanya bisa bayar setengah. Beruntung petugasnya baik hati, pembayaran minimal setengah harga diperbolehkan. Lega rasanya. Meski setelah itu bapak harus mencari uang untuk melunasi. Beberapa hari kemudian bapak datang, melunasi sisa pembayaran.

Entah, uang dari mana. Setahu saya, saat itu kondisi ekonomi sedang tidak membaik. Rasanya tak kuasa jika menuliskan lebih detail lagi.

Itu dulu saya. Cerita bapak saat mesantren, beda lagi. Kata bapak, dulu saat berangkat mesantren juga sama, hanya diantar kakek (bapaknya bapak saya) dan menggunakan kendaraan umum. Yang dibawa juga alakadarnya: beberapa pakaian, karung bermuatan lima kiloan beras, dan, mungkin, juga singkong mentah yang satu wadah dengan beras.

Sesuatu yang tidak mungkin terjadi lagi di masa sekarang.

Beruntung sekali kita yang merasakan ‘bangku pesantren’. Nikmat yang patut kita syukuri. Apalagi jika sampai tamat dan mengabdi di pesantren yang mendidik kita. Orang-orang pesantren adalah pilihan Tuhan. Dari sekian umat Muslim yang ada, hanya berapa yang mesantren. Dari sekian yang mesantren, hanya berapa yang betah. Dari semua yang betah, hanya berapa yang sampai tamat.

Rasulullah Saw. bersabda:


مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Artinya: “Siapa yang dikehandaki baik oleh Allah, maka Allah berikan pamahaman tentang agama baginya.”

Tidak diragukan lagi, pesantren adalah tempat paling efektif untuk mendalami ilmu agama.

Namun, kita yang belum berkesempatan mesantren, jangan berkecil hati. Santri bukan saja mereka yang secara legal-formal belajar di pesantren. Meminjam Gus Mus, santri itu bukan hanya yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah santri.

Oleh Muhamad Abror, Mahsantri Mahad Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta, alumni Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here