Dua Putra Titisan Syaikhona KH. Aqiel Siroj (2/1)

0
788

KHASKEMPEK.COM – Dibagian kedua ini penulis mencoba menelusuri mengenai kekhususan adik kandung Prof. DR. KH. Said Aqiel Siroj ini. Beliau mengakui bahwa adiknya lebih menyukai Tafsir dalam kegiatan dakwahnya, berbeda dengan beliau yang kecenderungannya lebih tertarik dengan syair – syair (puisi) Arab.

Namun demikian bukan berarti beliau berdua tidak menguasai atau bahkan mengabaikan fan-fan ilmu yang lain. Sebagaimana kiai Cirebon pada umumnya, almukarrom Kiai Musthofa Aqiel juga populer dengan panggilan Kang Muh.

Penulis tetap dengan metode yang sama, semiterstruktur. Bermodal bincang dan diskusi kecil bersama AlMukarrom dan Dzurriyahnya, ditambah data yang relevan, kemudian dikemas seperti ini. Ya karena memang penulis bisane mung mengkenen bae he he…

Menerima kritik dan saran, tulisan mengenai beliau, penulis bagi menjadi dua postingan diruang ini.

*
KH. Muhammad Musthofa Aqiel Siroj

-Kang Muh dan Latar Belakangnya

Penulis berusaha ngorek di Mbah Google, sepertinya belum banyak literasi yang mengkaji secara lebih khusus tentang aktifitas Kang Muh dalam berdakwah, berorganisasi dan peran sosial lainnya.

Apalagi yang fokus meneliti kemudian dijadikan karya ilmiah, skripsi, tesis atau disertasi mengenai kecondongan beliau menggunakan Tafsir Al-Qur’an dalam setiap ceramah untuk mengisi pengajian atau dalam forum-forum yang lebih resmi lainnya.

Yang banyak dan hampir tak terhitung jumlahnya adalah rekaman-rekaman beliau berceramah menjelaskan sebuah topik sesuai acaranya dan menjawab persoalan-persoalan umat, jejak ini bisa ditemui dalam bentuk rekaman suara, pita kaset, VCD, MP3, MP4 atau yang beredar di YouTube akhir-akhir ini.

Yang pertama adalah beliau putra ke-tiga dari lima bersaudara pasangan ulama darah Pesantren Gedongan, Syaikhona Kiai Aqiel Siroj dengan putri pendiri Pesantren Kempek, Nyai Hj. Afifah binti KH. Harun Abdul Jalil.

Seperti halnya putra yang lain, beliau juga mendapatkan terpaan dari ayahandanya untuk tetap “mempeng” (Istiqomah) mengaji dan terus mengaji.

Sebagaimana diceritakan oleh cucu pertama Mbah Aqiel, Ny. Hj. Tho’ah Ja’far, bahwa almaghfurlah Buya Ja’far Aqiel Siroj waktu kecil sempat sekolah PGA, zaman itu wadah bukunya masih menggunakan kantong anyaman yang terbuat dari bahan yang sama untuk gogo mencari ikan di sungai. Buya keluar untuk sekolah sampai ngumpet-ngumpet agar tidak ketahuan ayahandanya.

Sebagaimana kiai-kiai pada zamannya, bagi Mbah Kung (Kiai Aqiel) mengaji masih lebih penting daripada belajar lainnya.

Begitu juga pamannya, lanjut Bunda Tho’ah, Ami Muh waktu kecil sempat belajar ilmu pencak (bela diri) tanpa sepengetahuan Mbah Aqiel. Namun setelah ayahandanya mengetahui, beliau dilarang belajar ilmu semacam itu, pokoknya harus mengaji dan tiap hari jangan pernah ada absennya.

Sebab menurut Mbah Aqiel, kelak orang tidak akan beradu fisik, tetapi potensi ilmu lah yang akan digunakan.

Selesai dididik oleh ayahandanya, Kang Muh melanjutkan ke Pesantren Lirboyo Kediri, kurang lebih 5 tahun disana, disambung ke Sarang sekitar tahun 1976-1981.

Selepas mesantren, beliau mencoba menyusul kakaknya melakukan pengembaraan intelektual di Makkah Saudi Arabia untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Alawy al-Maliki dan pulang pada tahun 1984.

Ilmu dan sanad keilmuannya sangat memadai, diperkuat beliau menyunting putri gurunya, Syaikhona Mbah Maimoen Zubair, dengan menikahi Nyai Hj. Shobichah Maimoen.

Selain sebagai Pengasuh Ponpes. Khas Kempek Cirebon, beliau sosok yang lengkap untuk menjadi seorang da’i, bahkan menjadi seorang ulama kharismatik yang diamanahi memimpin banyak organisasi sebagaimana yang kita lihat seperti sekarang ini.

**
-Kang Muh dan Ceramahnya

Kiai Aqil memiliki pribadi yang kuat dalam memegang prinsip. Ia menggunakan sebagian besar waktunya untuk melayani umat. Mulai dari kaum santri, petani, pedagang hingga para pejabat, datang untuk mengharapkan barokahnya (KHASKempek.com).

Ternyata hal ini tidak berhenti disini, kebiasaan ini menurun pada ke-lima putra Kiai Aqiel.

Sudah menjadi pemandangan santri tiap hari, dulu putra tertuanya, Al-Maghfurlah Buya Ja’far Aqiel meski bukan seorang muballigh, tapi banyak tamu yang datang untuk silaturrahim dan menjadi tempat bertanya dalam menghadapi persoalan keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Putra yang ke-empat, Al-Maghfurlah Kiai Ahsin Aqiel, maaf beliau memiliki kekurangan fisik dan lebih banyak di rumah saja untuk Istiqomah mengurusi santri dan majlis ilmu, tetapi pada masa hidupnya banyak wali santri atau alumni yang lebih memilih sowan ke beliau.

Berbeda lagi dengan Kiai Ni’amillah, putra bungsu Kiai Aqiel, tak sedikit masyarakat sekitar, wali santri dan juga alumni untuk berkonsultasi mengenai langkah-langkah sebagai santri kedepannya.

Kiai Ni’am termasuk open dan ngayomi para alumni, beliau banyak memberikan pesan dan motivasi pada alumni yang sowan padanya, sehingga tak heran kini beliau didaulat sebagai Ketua Ikhwan Khas, sebuah organisasi wadah para alumni Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon.

Tentunya Kiai Said, dengan kapasitas beliau bukan hanya ulama biasa, tetapi pimpinan organisasi Islam terbesar di dunia, jelas Kang Said hampir sampai larut malam silih berganti tamu menemuinya dari berbagai latarbelakang dan kepentingan.


Dan putra ketiga adalah Kiai Musthofa Aqiel, beliau tamunya lintas profesi, dari orang kecil sampai orang besar, pejabat tinggi atau hanya seorang mukhlis pengurus tajug/langgar (musholla) yang ingin meminta waktu pada beliau. Beliau telaten menemui satu persatu tamunya.

Bahkan untuk urusan jadwal tablighnya, Bapak Muh (terkadang santri memanggil dengan panggilan ini) mencatat sendiri pada kalender khusus yang dicoret-coret menggunakan tulisan Arab dan berbahasa Arab, misal ; nahar di Brebes, geser ke Tegal dan terakhir lail di Pekalongan.

Bagi beliau sudah tidak merasa repot meski tanpa ada sekretaris pribadi dan ajudan khusus dengan buku diari khusus untuk mencatatnya.

Setiap orang yang biasa meminta jadwal ceramah kepada beliau atau santri yang biasa ngladeni, tahu betul tentang hal ini.

Sekitar tahun 1955, Mbah Aqiel diminta untuk muter-muter mensosialisasikan Partai NU di wilayah Ciayumajakuning. Karena beliau sangat dikenal piawai sebagai seorang pendakwah yang ceramahnya mudah dimasukkan dalam hati.

Dan sepertinya hal ini menitis (baca mberkahi) pada kedua pamannya, lihat sekarang Ami Said memimpin PBNU dan Ami Muh menjadi Juru Dakwah yang disegani, terang kiai muda Kang Muhammad BJ, cucu Mbah Aqiel putra kedua Buya Ja’far Aqiel.

Kiai Musthofa sejak kecil sudah dilatih oleh Mbah Aqiel untuk mendampingi ayahnya berceramah ke kampung-kampung. Bahkan beliau sering diberi bagian untuk mengaji qiro sebelum Kiai Aqiel mengisi mauidzoh hasanahnya.

Dan menurut yang penulis dengar, Bapak Muh sudah naik mimbar mengisi pengajian sejak usia 22 tahun. Usia yang cukup muda untuk seorang muballigh.

Maka sering kita lihat hampir setiap hendak memulai ceramahnya, Kang Muh selalu menegur panitia ketika speakermic nya tidak enak.

Beliau diatas panggung sering mengakui dengan berkata : “Isun dolanan mik awit cilik !!”.

Bagi beliau keselarasan trible, bass, ekho dan volume soundsystem adalah perangkat utama untuk berbicara pada khalayak ramai. Sehingga pesan yang berupa suara akan sampai kepada telinga audiens dengan tanpa ragu.

Sahabat saya, KH. Muhammad Musthofa Aqil Siroj adalah adik kandung Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA., Ketua Umum PBNU.

Namanya lumayan dikenal bukan saja sebagai Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, tetapi juga sebagai muballigh kondang yang ceramah-ceramahnya mudah dicerna dan dihadiri ribuan pendengar, demikian tulisan KH. Ahmad Ishomudin Rais Syuriyah PBNU dalam akun facebooknya baru-baru ini setelah bertemu Kiai Musthofa di Lampung dalam lawatannya mengisi pengajian disana.

Beliau merupakan muballigh yang ketika naik panggung seakan menjadi sosok yang sangat disegani dan susah untuk disentuh.

Bahkan netizen ada yang komen dengan menulis Kiai Musthofa Aqiel….Saya mengenal beliau sejak th 2002 an. Beliau adalah ulama yg sangat kharismatik, meski usianya sudah tidak muda tetapi ketika di mimbar beliau terlihat sangat ganteng, disamping itu intonasi dan kalimat yg di suguhkan sangat tepat sehingga sangat mudah di cerna, status komen pada akun efbi KH. Ahmad Ishomuddin.

Ketika berceramah, seakan beliau menghipnotis mustami’innya, materi yang disampaikan begitu sistematis, ilmiah dan mudah dicerna bagi mereka yang isgho dan fokus pada ceramahnya.

Kalau tidak konsentrasi, maka kita akan tertinggal dengan runtutan dalil dan riwayat yang disampaikannya, tiba-tiba kita sudah diajak untuk menatijah pembicaraan dari awal hingga akhir, disini audien merasa terlena seakan waktu begitu singkat padahal durasinya sekitar 1 jam.

Sehingga begitu ditutup, akhirnya kita merasa kurang dan tentunya materi dan ceritanya tidak bisa kembali lagi. Untuk ketemu beliau kembali diforum yang sama, perlu meminta waktu lagi he he.

Dan itu tidak gampang, karena kalender setahun sudah penuh dengan jadwal mengisi ceramah diberbagai tempat di Indonesia, bahkan diluar negeri. Dan daftar tunggunya ada yang sampai setahun.

Bagi santri, mendengarkan ceramah beliau nampak lebih mudah karena menggunakan bahasa yang lugas dan “ngyaeni,” tetapi sebenarnya bagi kaum awam, mencerna materi yang disertai tafsir Al-Qur’an, kemudian disajikan Hadits yang munasabah dengan pokok pembicaraan, apalagi ditambahi penjelasan dari kitab klasik, mereka terlihat “abot” untuk bisa menangkap isi dan jalan ceramahnya.

Makanya beliau sering mengulang pembicaraan dengan mengatakan “Faham bli? Ki mengkenen ya..!! Diulang lagi dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai tingkat kecerdasan mustami’ pada saat itu.

Beliau juga sangat fasih untuk melafalkan ayat Al-Qur’an, apalagi ala Kempekan. Memiliki suara enak nan unik dan lagu nan khas yang tidak dimiliki oleh muballigh yang lain, kecuali kakaknya Kiai Said, juga Kiai Ni’am tetapi dalam konteks berbeda, paling tidak sampai saat ini.

Konon suara itu titisan dari Syaikhona Kiai Aqiel. Saya pernah konfimasi langsung kepada beliau, beliau hanya tersenyum tanpa kata yang keluar darinya.

Namun beberapa tahun yang lalu, dalam suasana makan bersama penulis,

-Bapak Muh sering mengajak daharan pada santri senior atau tamu yang datang menemui beliau, dan kebiasaan ini pun dilakukan oleh semua Masyayikh Kempek-.

Beliau pernah ngendika : “Lahh…Anake isun kayae suarane mengo kabeh Lik…!” (maksud ; suaranya tidak enak se-merdu beliau).

Kemudian sambil jalan, beliau menyapa Mas Shobah, (sekarang dia lagi study di Al-Azhar Mesir) ; Coba si Bah moni !? “Fu..Fuu…Fuuuuu…..” beliau sedang menunjukkan langsung cara melatih vokal untuk bisa “Ngereng” dalam melafalkan Al-Qur’an diatas mimbar.

Konon beliau sejak kecil secara mandiri dan outodidak melatih teknik vokalnya. Karena beliau seakan telah mempersiapkan diri, bahwa sarat menjadi seorang juru dakwah adalah selain menguasai ilmu dengan literatur yang lengkap, juga suara yang balagh, bisa sampai ke mustami’ dengan baik.

Dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Kiai Said menulis bahwa metode dakwah bil-lisan yaitu dakwah yang mengedepankan ; “Qaulan Karima” (perkataan yang mulia),

“Qaulan Ma’rufa” (perkataan yang baik),

“Qaulan Maitsuro” (perkataan yang pantas),

“Qaulan Layyinan”. (perkataan yang lembut),

“Qaulan Baligha” (perkataan yang berbekas pada jiwa) dan

“Qaulan Tsaqila” (perkataan yang berkualitas) sebagaimana pesan QS.Fusshilat : 33.

Semoga kelak anak cucu Masyayikh Kempek ada yang mengikuti jejak beliau-beliau.

Kang Muh juga pandai meramu sebuah riwayat dengan dialog bahasa Arab yang fushah, yang secara spontan diterjemahkan dalam bahasa sapaan sesuai audien didepannya. Seakan-akan menjadi pelaku dalam riwayat tersebut.

Dan kata beliau pernah ada muhibbin ngomong “kaya-kaya Kang Muh ngalami dewek peristiwane.”

Dan anehnya kita sebagai pendengar dibawa untuk ikut larut dalam ceretera riwayat itu.

Beliau sering menyapa audien didepannya, dengan menyebut : Wa Kaji…!, Pa Kuwu…!, Ya Mbok…! Ya Mane…! Terkadang menyebut nama seseorang.

Kiai yang satu ini juga piawai menyesuaikan dialek bahasa verbalnya sesuai dengan lokasi acaranya. Sehingga apabila ceramah di Losari, beliau seperti orang Losari, ngaji di Brebes, Kang Muh persis kaya wong Brebes, begitu pindah ke Indramayu, ya beliau nampak seperti wong Dermayu.

Beliau begitu lepas berbicara tanpa teks yang dipegangnya. Sehingga ketika beliau diminta untuk berbicara dengan teks dan waktu yang dibatasi, hampir kehilangan gaya khas tablighnya yang bisa memukau bagi setiap orang yang menyimaknya.

Penulis pernah mengkonfirmasi langsung kepada beliau, sebenarnya (kata Pengelola Website KHASKempek.com) model kemasan berbicara diatas mimbarnya seperti pola “jawab syarat”. Beliau hanya jawab, “ya mbuh Lik..!, Sa ketemune bae…”

Jadi sebuah topik dilontarkan, narasi resmi dibuat, kemudian diungkapkan dalilnya, serta contoh-contoh riwayatnya. Kemudian baru konteksnya dibuat se-real mungkin sesuai situasi kondisinya.

Dan yang nampak jauh berbeda dari muballigh lain adalah beliau mampu menceritakan dengan model dialog sebuah riwayat dengan bahasa Arab, sesuai dengan hadits atau bunyi referensi kitab yang diambilnya, atau menggunakan bahasa sesuai pemahamannya.

Ini yang kadang kita santri dibuat tercengang, dan angel nirune he he.

Layaknya Kiai NU, beliau juga menyisipkan guyon, dan jok-joknya. Bahkan terkadang tema yang sama disajikan dengan berbeda karena beda waktu dan tempat pengajiannya. Tetapi tetap segar dan mengasyikkan karena bumbu-bumbu penyedapnya.

Penulis pernah menanyakan, kadang ada cerita guyon yang membuat hadhirin dibuat tertawa, beliau jawab semua itu spontan, karena sudah terbiasa menguasai pembicaraan didepan umum.

Namun Kiai kharismatik ini, sering membatasi tertawa yang berlebihan yang dibuat karena kontennya lucu. Terkadang sambil tersenyum beliau bilang, “eeh wis wis mengko kaya bodor bae…”

Beliau masih menjaga muru’ahnya diatas mimbar karena seorang pendakwah adalah sebagai seorang penuntun kebenaran, bukan yang lainnya. Humor hanya sebagai bumbu penyedap saja dalam menyampaikan pesan-pesannya.

Dalam sejarah, pada awalnya da’i menjadi cultural broker atau makelar budaya (Clifford Greertz).

Hiroko Horikoshi memberi penegasan peran kiai sekaligus da’i tidak sekedar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat.

Beliau juga menyadari, apabila
berlebihan dalam penggunaan bahasa daerah setempat dengan ekspresi dan intonasi yang mendramatisir, beliau khawatir
masuk dalam praktek unsur kebohongan dan berpotensi terjadi kesalahpahaman dalam mencerna isi cerita yang sebenarnya, dan ini tidak diperbolehkan oleh Kitab Ihya Ulumuddin Juz 2 (Lihat Buku Dua Kang Santri h.354).


Bukan hanya bernas dalam mengemas pembicaraan diatas mimbar, beliau juga orang yang asyik untuk diajak komunikasi, santun, lembut dengan bahasa yang lugas dan tak jarang dilengkapi guyon yang membuat kita tidak takut untuk ikut berkomentar dalam forum tersebut.

Beberapa hari yang lalu, dalam forum rapdak (rapat dadakan) Yayasan, beliau menyelipkan cerita untuk mengenang senior dan sekaligus gurunya di Pesantren Lirboyo.

KH. Muzajjad Faqihuddin Allahu yarham, yang biasa dipanggil Mbah Jad, Pengasuh PP. Pengkol, Warujayeng, Nganjuk. Beliau merupakan alumni sepuh Pondok Pesantren Lirboyo.

Al-Mukarrom Mbah Jad wafat pada hari Ahad, 1 Dzulhijjah 1442 H./11 Juli 2021 M kemarin.

Lik…? Ente pernah krungu cerita kien durung ? Awal beliau menyapa penulis dalam forum itu. Saya jawab ; Ngapunten kadose dereng?

Kemudian beliau menceritakan bahwa, suatu waktu santri-santri Lirboyo berziyarah Wali Songo, termasuk Kang Muh dan Mbah Jad. Sesampai di makam wali, keadaan sudah larut malam, dan Kang Muh selalu dibelakang Mbah Jad.

Nah begitu Mbah Jad lenggahan depan makam, Kang Muh ikut duduk dibelakangnya. Kang Muh sejak kecil agak jail dan karena merasa takut barangkali ada syetan, Kang Muh mengikatkan sarungnya dengan sarung Mbah Jad.

Dan Mbah Jad sesekali bilang “Opo iki…!!?” Sambil pegang sarungnya beliau ngendika lagi ; Opo iki si Muh…?!!

Sontak kami yang mendengar cerita itu tertawa…he he…

Kemudian beliau melanjutkan, bahwa Mbah Jad adalah Munawwib (guru) beliau saat di Lirboyo. Beliau sangat dekat dengan Mbah Jad karena disamping ngaji dikelasnya, beliau juga mendatangi kamar Mbah Jad untuk mengaji kitab lain.

Bahkan kata beliau, setiap Mbah Jad dapat undangan keluar, berkatnya banyak diberikan ke Kang Muh. Semoga Mbah Jad mendapatkan tempat dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Aamien.

Begitulah gaya berbicara Kiai Musthofa ketika dibawah mimbar, sehingga ada muhibbin yang mengatakan bahwa “pernah ngobrol dengan Pak Kyai seperti tidak ngobrol dengan Kyai.

Ditanya darimana dsb. Iya sudah tahu kalau itu Pak Kyai. Tapi koq saya santai banget ngobrolnya. Berarti karena kerendahan hati beliau sampai gak sadar sayanya.

Namun yang lebih penting bagi pendakwah agama adalah atsar positif yang diharapkan sehingga mampu merubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik.

Jalaluddin Rakhmat (buku Retorika Modern, Sebuah Kerangka Teori dan Praktek berpidato, 1982) menyatakan bahwa efek kognitif terjadi apabila ada perubahan apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak.

Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap serta nilai.

Sedangkan efek behafioral adalah merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

Sehingga Kiai Said menyarankan bahwa seorang da’i harus memiliki pilar utama yaitu :
-As-Shidqu wal Amanah
-As-Syuro
-Al-Musawamah (Egalitarian)
-Yatafaqqahu fiddien dan Liyundiru Qaumahum (dikutip dari buku Islam Kebangsaan).

Namun pada prinsipnya, aktifitas muballigh bukan hanya memahami Islam tetapi juga harus mampu mengaktualisasikan pemahaman keislamannya dalam kehidupan sehari sehari, tambahnya.


Sebagai manusia biasa, Kang Muh juga mengalami peristiwa-peristiwa yang ganjil dan unik. Mengingat beliau hampir tiap malam keluar untuk memenuhi undangan pengajian di kampung-kampung yang jauh dari keramaian kota.

Sering beliau berangkat dari Kempek menggunakan mobil, tetapi karena desa yang dituju tidak ada jalan yang muat untuk dilewati kendaraan roda dua, atau karena rusak, hanya berupa gang kecil, jembatan rusak atau bahkan memang tidak ada jalan menuju ke kampung itu, ya beliau terpaksa harus bonceng motor dan pernah juga ditandu kaya tokoh zaman dulu menelusuri jalan setapak sampai ke lokasi hajat.

Beliau juga pernah menceritakan mengalami diundang oleh seseorang yang mengaku panitia, tetapi sampai disana tidak ada acara apapun, baliho selamat datang tidak nampak dijalan, bertanya kepada orang yang ada di desa itupun jawabnya nggak dengar ada acara pengajian.

Yang agak berbau mistik, beliau pernah perjalanan tengah malam, tetapi dijalan mobilnya terjatuhi pohon besar di pinggir jalan. Ya jelas kaca depan pecah dan mobilpun tergores besar.

Pengalaman yang mendebarkan juga sering beliau alami, ceritanya Kang Muh habis mengisi pengajian di daerah Tegal. Sekitar jam 2an dini hari lewat di sebuah desa di selatan Jatibarang Brebes.

Beliau hanya bersama supir mampir di sebuah Masjid untuk buang hajat sejenak. Selesai dari toilet masjid, beliau melihat diseberang ada sosok manusia dengan wajah “kroak separo”, wuuiiih serem he he.

Akhirnya beliau segera bergegas meminta supir agar menancap gasnya meninggalkan Masjid.

Setelah itu baru beliau cerita ke supirnya mengenai hal itu. Beliau melakukan ini agar supir tidak merasa takut, kalo supir bergetar, waah perjalanan bisa lubar he he.

Kayaknya tak lengkap apabila tidak dibumbui dengan cerita menggelitik.

Banyak alumni Kempek yang tersebar di desa-desa di Jawa, atau muhibbin yang ingin diampiri untuk tabarrukan dan ta’dhiman pada Kiai. Maka tak jarang Kiai Musthofa menyempatkan diri sejenak untuk mampir ke rumah alumni atau muhibbin tersebut.

Suatu ketika beliau mampir pada seseorang, disediakan ikan pepes besar, kemudian dimonggokan, eh begitu dicicipi untuk disantap, ternyata ikan itu sudah bau he he…

Mungkin tuan rumah sudah sejak pagi menyiapkannya karena senang akan diampiri Kiai. Karena sudah malam, jadi ikan tak bisa mempertahankan rasa aslinya.

Dalam kesempatan lain, beliau diminta kerso pinarak sakedap oleh orang desa yang hidup sederhana. Sampai di rumah beliau minta ingin ke kolah untuk “seni”. Karena ingin menghormati gurunya, tuan rumah bergegas ke belakang dan menyalakan kran air bak kolah tersebut.

Namun tak lama Kang Muh segera menuju toilet tersebut, begitu hajat dibuang beliau akan bebersih dengan mengambil air, ternyata airnya kotor penuh “ndekndek.”

Rupanya tadi airnya sedikit, disentor kran jadi kotoran bawah bak “mbual ” sehingga membuat butek airnya he he…. Mungkin bak terlalu lama atau jarang dibersihkan.

Beliau juga sering ngendiko diatas mimbar, ada juga orang yang kalau ada Kiai lewat justru takut diampiri. Kata beliau dengan gaya bicaranya yang membuat ingin tertawa : Adah…adaaah menee.!
Ya’…mampiiir! Wkwkwk.

Itulah sedepnya menyimak setiap beliau dawuh.

Yang perlu diketahui lagi adalah bahwa beliau sering mengisi pengajian dalam keadaan tidak enak badan. Tetapi begitu naik mimbar dan berceramah, rasa sakitnya mendadak hilang, namun begitu masuk mobil untuk pulang, badan kembali mriyang. Dan itu sering beliau alami.

Karena komitmen dakwah kepada masyarakat beliau pertahankan, maka tak jarang beliau merasa tidak enak untuk tidak hadir, bisa karena yang mengundang adalah almuni atau orang dekatnya, atau teman mukholit sudah lama.

Beliau sering membayangkan betapa kecewanya panitia mengundang Kiai tetapi pada saat bersamaan, beliau tidak bisa memenuhi jadwalnya itu karena sakit dan berbagai kesibukan lainnya, mengingat beliau bukan hanya milik keluarga, atau pesantren Khas Kempek tetapi sudah milik publik, umat.

Namun seiring waktu berjalan, setelah kakak tertuanya lebih dulu wafat, ditambah adiknya yang konsentrasi mengurus pesantren juga lebih dulu sedo, maka beliau harus bisa membagi waktu agar bisa tetap istiqomah menjaga tinggalan para sesepuh yakni Pondok Pesantren Khas Kempek Kabupaten Cirebon.

Demikian sekelumit mengenai aktifitas beliau dalam berdakwah mengisi ceramah pengajian ditengah-tengah masyarakat.

Dulu ada tokoh yang dikenal sebagai “Singa Podium”, ada da’i yang populer dengan julukan “Sejuta Umat”, maka mungkin tak berlebihan apabila Kiai Musthofa kita sebut sebagai “Kiai Sejuta Mimbar”.

Semoga Kiai Musthofa tetap diberi kesehatan dan istiqomah untuk umat.

Dan mudah-mudahan kelak Dzurriyah Khas Kempek ada yang meneruskan dakwahnya, bagi kita santri, muhibbin dan siapapun yang cinta pada ulama NU, moga bisa mengambil hikmahnya.

Nyambung ke pengajian tafsirnya.
Moga bermanfaat.

NKT.14.07.2021.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here