Nasihat Buya Said: Pengajar Al Qur’an Tinggi Maqamnya, Besar Mas’uliyahnya

0
1047

KHASKEMPEK.COM – Semalam dalam forum terbatas, Buya Said Aqiel Siroj bersama Masyayikh Khas Kempek memberikan nasihat dan pesan kepada Asatidz dan Ustadzaat Pondok Pesantren Khas Kempek Kab. Cirebon.

Buya mengawali perbincangannya dengan menyebutkan bahwa Kitab Al Qur’an ini dinamakan dengan nama Al Qur’an karena didalamnya disebut nama itu.

Kemudian Sayyidina Utsman bin Affan menamakannya dengan nama Mushaf, yang artinya lembaran-lembaran atau antara dua sampul.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, kalau menerima wahyu selalu memanggil tiga orang shahabatnya : Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit untuk menuliskan wahyu tersebut.

Setelah Rasulullah Saw wafat, ternyata Huffadzil Qur’an atau Quro banyak sekali yang gugur menjadi syuhada pada perang Yamamah.

Melihat keadaan tersebut, Sayyidina Abu Bakar Shidiq dan Sayyidina Umar bin Khatthab merasa prihatin, “Nanti jangan-jangan Al Qur’an ini akan hilang atau berubah bacaannya.”

Shahabat Umar cerdas, jenius sehingga mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar AlQur’an itu ditulis secara resmi dan dikumpulkan menjadi satu.

Sayyidina Abu Bakar merasa ragu-ragu,

هل فعلت شياء مايفعل رسول الله صلعم

“Apakah saya akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw?”

Sayyidina Umar menjawab : هوخير “Ini merupakan hal yang sangat positif dan bermanfaat.”

Akhirnya Khalifah Abu Bakar membentuk tim penulis Al Qur’an yang berjumlah 10 orang dengan Ketua Zaid bin Tsabit.

Waktu itu tim ditugasi langsung dibawah perintah Abu Bakar dengan duduk di depan pintu masjid, untuk menanyai setiap orang yang masuk masjid dari manapun asalnya. Mereka ditanya mengenai berapa ayat mempunyai hafalan Al Qur’an?,

Apakah memiliki tulisannya, bisa dibawa kesini. Dan yang memiliki perpustakaan Al Qur’an silahkan dibawa ke tempat ini juga.

Tentunya perpustakaan pada saat itu bukan berupa barang cetakan, tetapi pelapah kurma, kulit unta, atau tulang-tulang, menggunakan media tersebut para shahabat menuliskan wahyu.

Tugas tim menanyai setiap orang yang masuk masjid tentang Al Qur’an.

Nah pada awalnya termasuk sang Ketua Tim, Zaid bin Tsabit sama seperti Abu Bakar sempat ragu, akan melakukan sesuatu yang Nabi Muhammad Saw sendiri tidak pernah melakukannya. Lalu dia istikaharah, akhirnya mantap menerima dan melakukan tugas mulia ini.

Singkatnya bismillah…, membuahkan hasil, terkumpullah mushaf menjadi satu yang dipegang langsung oleh Sayyidina Abu Bakar, beliau wafat dipindah ke tangan Umar bin Khatthab. Dan Sayyidina Umar wafat dipegang putrinya, Sayyidah Hafshah binti Umar, zauzati Rasulullah Saw.

Setelah Islam berkembang sampai ke Persia, Syria dan Mesir, maka mulai timbul bacaan Qur’an yang berbeda-beda, terjadilah “Ikhtilafil Qiro’ah.”

Maka Sayyidina Utsman tidak tinggal diam segera menetapkan satu bacaan saja, mushaf yang disimpan oleh Sayyidah Hafshah diminta untuk digandakan dan dibagikan ke kota kota besar saat itu, dan selain mushaf yang satu ini, dibakar dan dihanguskan.

Alhamdulillah Al Qur’an sampai sekarang masih tetap terjaga.
Beliau mengutip ayat AlQur’an Al-Hijr-9:

“Inna nahnu nazzalna aldzikra wainna lahu lahafidhuun.”

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Buya mengatakan bahwa tidak ada kitab suci yang dihafal seperti Al Qur’an.

Coba kita bisa bertanya pada Romo, Pendeta atau Pastur mungkin kitab suci agama ini hanya beberapa yang dihafal, tidak seperti Al Qur’an dari awal sampai akhir. Ya memang tidak ada budaya untuk menghafal kitab suci mereka.

Atau coba tanyakan pada para penganut Yahudi, juga tidak seperti penghafal Al Qur’an, hanya Al Qur’an yang banyak dihafal oleh para penghafalnya.

Oleh karena itu, guru-guru di Pesantren Khas Kempek ini sebenarnya menempati maqam tertinggi, posisi yang sangat mulia, meneruskan perjuangan Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, melestarikan Huffadzul Qur’an Hamalatul Qur’an.

Jadi maqamnya tinggi banget Ustadz Al Qur’an itu, derajatnya tinggi banget.

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan : (dalam Ta’limul Muta’allim) “Ana ‘abdu man ‘allamani, walaw harfan wahidan.”

Maknanya “Aku adalah hamba atau budak bagi siapa pun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau sehuruf saja.” Demikian Buya Said memberikan nasihatnya.

Buya melanjutkan bahwa “Saya berterimakasih, bersyukur dan menghormati setiap orang yang mengajarkan Al Qur’an.”

Bukan “alif lam mim” disebut satu huruf. Akan tetapi “hamzah” terhitung satu huruf, “lam” satu huruf dan “mim” satu huruf tersendiri.

Setiap satu huruf seorang guru Al Qur’an mendapatkan “ajrun adhim minAllah.”

Ini luar biasa, ya bukan berarti guru yang lain tidak mendapatkan balasan, hanya saja guru Al Qur’an mendapatkan tempat nomor satu.

Buya Said menyampaikan bahwa beliau sering menceritakan tentang tokoh-tokoh yang berjasa dalam Al Qur’an.

Sebut saja pertama kali yang menyempurnakan tulisan Al Qur’an adalah Abul Aswad Adduali, muridnya Sayyidina Ali, yang membuat titik tahun 59 H., wafat 62 H.

Yang menciptakan syakl (harakat) adalah Imam Ahmad Kholil AlFarohidi yang wafat pada 175 H. Dialah guru Imam Sibaweh.

Kemudian ada yang menggagas Ilmu Tajwidu Fitilawatil Qur’an, qiro’ah ya tilawah. Asal kata Qiro’atul Qur’an adalah fahmul ma’ani. Tetapi seandainya hanya membaca dengan lagu yang enak dan dengan disertai suara merdu, maka dinamakan tilawah.

Ilmu tajwid diperuntukkan untuk tilawah Al Qur’an, bagi yang membacanya, mengerti artinya ataupun tidak. Jadi ilmu tajwid untuk memperbaiki bacaan, belum sampai mendalami maknanya.

Dan yang menggagas ilmu tajwid ini adalah Abu Ubaid Qosim bin Salam yang wafat pada 224 H.

Maka, sekali lagi asatidz Al Qur’an, mu’allim Al Qur’an atau mudarris Al Qur’an, terutama di Pesantren Khas Kempek ini mempunyai maqam yang luar biasa.

Kalau maqamnya luar biasa, maka mas’uliyyahnya pun luar biasa, responsibility, tanggungjawabnya pun besar karena menyandang pangkat besar.

Jadi seandainya orang semakin pangkatnya tinggi, maka tanggungjawabnya pun besar. Sehingga kalau menjadi orang di tingkat pusat, beliau menyebut adiknya KH. M. Musthofa Aqiel Siroj yang menjadi Ketua Dewan Syariah PPP, maka tanggungjawabnya pun besar pula.

Tentu akan berbeda kalau hanya Ketu PC atau MWC, maka tanggungjwabnya hanya se- kabupaten atau se- kecamatan, maka kalau pusat maka akan lebih luas lagi.

Kalau mu’allim Al Qur’an atau mudarris Al Qur’an memiliki “darajatul aliyah”, maka ia juga mempunyai “mas’uliyah adzimah.”

Tanggungjawab besar, jangan sampai santri Khas Kempek memiliki bacaan Al Qur’an yang salah, agar tidak memalukan.

Buya Said mencontohkan mengenai bacaan “Mad Thobi’i”, contoh:


وَالضُّحٰى
وَالَّيۡلِ اِذَا سَجٰىۙ

Pengucapannya jangan terlalu panjang, cukup satu harakat. Sebab apabila terlalu panjang, justru salah dan menimbulkan dosa.

Atau ketika membaca akhir surat Al Fatihah :


غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ

Pada lafadz “wa lad-dlaaalliin”, jangan berhenti, seakan menahan sesuatu, itu justru salah, langsung alamiah saja.

Beliau juga mengevaluasi mengenai berhenti dan terus, antara “washal waqaf” di tengah ayat dalam Al Qur’an langgam Kempekan.

Buya menyamakan bacaan saat beliau berada di Timur Tengah. Buya mengatakan bahwa beliau 13 tahun di Timteng : ke Mesir berkali-kali, ke AlJazair dua kali, ke Maroko dua kali, ke Tunis sekali, ke Syria sekali, Libanon sekali, dan ke Sudan dua kali.

Salah satu keindahan Al Qur’an adalah ada pada akhir ayat, sajaknya yang menimbulkan kesamaan bunyi, maka perlu berhati-hati.

Beliau menekankan kembali untuk tidak memperpanjang bacaan “Mad Thabi’i” sesuai dengan yang ada saja, itu salah besar, juga jangan berhenti menahan bacaan “waladdhoollin.”

Buya Said juga mengingatkan lagi melafalkan huruf “Qof.” Diucapkan nyeklok jangan berlebihan, yang wajar saja.

Pengucapan huruf “Qolqolah” juga perlu berhati-hati, jangan sampai berbunyi membalik berlebihan.

Mengucapkan huruf “Ro” juga jangan ditebalkan secara berlebihan, langgam Arab tidak ada “Oo” sehingga harus wajar.

Jadi jangan berlebihan dalam melafalkan huruf dan membaca Al Qur’an, dan kekeliruan yang telah berlalu semoga Allah mengampuninya.

Walhasil, Alhamdulillah masih ada kesempatan untuk bisa memperbaiki dan alhamdulillah masih ada pesantren yang mempertahankan pengajaran Al Qur’an.

Demikian nasihat dan pesan Pembina Pondok Pesantren Khas Kempek sebagai bahan evaluasi pengajaran Al Qur’an langgam Kempekan dalam upaya melestarikan legasi Poro Sesepuh agar tetap lestari.

Wallahu a’lam.

Ditulis dengan beberapa penyesuaian.
NKT.20.09.22

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here