Misi Vertikal Dan Horizontal Islam

0
285

KHASKEMPEK.COM – Islam memang mengajarkan banyak hal. Islam dikenal memiliki keluasan syariat melampaui agama-agama sebelumnya. Hanya di dalam Islam, misalnya, dikenal pemisahan istilah ubudiyah dan muamalah. Ada juga sebutan fiqih, tasawuf, dan lain sebagainya. 

Oleh karena itu, banyak orang yang salah paham dengan memandang Islam sebagai ajaran yang rumit, berat, dan sulit. Untuk melaksanakan satu ibadah saja, contohnya shalat, seseorang harus memahami setidaknya tentang ilmu fiqih, tajwid, juga tasawuf. 

Padahal, paling sederhana-sederhananya agama adalah Islam. Karena jika diperas, semua perangkat pengetahuan ibadah itu hanya menarget pada dua prinsip. 

Rasulullah Muhammad Saw bersabda:

خَصْلَتَانِ لاَ شَيْءَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا، الإِيْمَانُ باللهِ والنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Ada dua hal yang tidak ada yang lebih utama dari keduanya, yaitu beriman kepada Allah dan bermanfaat kepada umat Islam.”

Itulah prinsip utama agama Islam. Misi vertikal, yakni penghambaan penuh kepada Allah Swt, berbarengan dengan menjalankan misi horizontal, dengan berbuat baik kepada sesama manusia. Termasuk juga berbuat baik dan bermanfaat bagi lingkungan dan alam sekitarnya.

Oleh sebab itu pula, Islam biasa menggandeng antara perintah ibadah yang berbasis ketauhidan dengan kepentingan sosial. Contohnya, dalam QS. Al-Ankabut: 45, Allah Swt berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Pada akhirnya, vertikal dan horizontal ini bukan sebuah pilihan. Bukan hal yang boleh dijalankan salah satunya saja. 

Umat Islam tidak bisa hanya beribadah dengan melaksanakan ritualnya secara penuh kepada Allah Swt, tetapi acuh terhadap nasib orang lain. Atau pun sebaliknya, berbuat sebaik mungkin kepada manusia tetapi acuh terhadap kewajiban-kewajiban ibadah yang ditanggungnya. Seorang muslim harus benar-benar fasih menjalankan keduanya secara bersamaan.

Ayat yang menjelaskan bahwasanya shalat mampu jadi pencegah kemungkaran ialah semacam garansi bagi umat manusia bahwa jika ia taat kepada Tuhannya, maka ia akan berbuat baik pula bagi lingkungannya. Jika tetap terasa pincang, maka silakan koreksi, lalu tingkatkan, dan terus seimbangkan. 

Lalu, bagaimanakah cara menyeimbangkan dua misi keislaman itu? Ya caranya adalah dengan terus menjadikan kesemuanya sebagai dzikir. Sebab, dzikir tidak hanya dengan melafalkan nama-nama Luhur Allah Swt ataupun membaca shalawat Nabi, tetapi dzikir ialah segala gerak untuk terus mengingat dan merawat niat baik terhadap sesama manusia. 

Hal itu juga telah diingatkan Nabi Muhammad Saw melalui salah satu hadits:

مَنْ أَصْبَحَ لَا يَنْوِى الظُّلْمَ عَلَى أَحَدٍ غُفِرَلَهُ مَاجَنَى ، وَمَنْ أَصْبَحَ يَنْوِىَ نُصْرَةَ المَظْلُوْمِ وَقَضَاءَ الحَاجَةِ المُسْلِميْنَ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ مِبْرُوْرَةٍ

“Siapa saja yang di pagi harinya terbebas dari niat berbuat dzalim, maka ia akan diampuni dosa yang telah telanjur dikerjakannya. Siapa saja yang di paginya memiliki niat untuk membela orang yang terdzalimi dan memenuhi hajat umat Islam, maka ia akan memperoleh pahala sebesar setara pahala haji mabrur.”

Sekali lagi, meskipun dalam hadits ini seolah sedang menekankan betapa besarnya pahala ibadah sosial yang dilakukan, namun, lagi-lagi seseorang harus ingat bahwa pesan Nabi Muhammad Saw itu muncul untuk menghapus pengertian bahwa ibadah hanya terbatas pada hal-hal bersifat ritual. Dua-duanya harus berimbang, bahkan keberimbangan itu harus dimulai dari niat. 

Ayat-ayat Al-Qur’an, hadits nabi, maupun anjuran lain yang senada sebenarnya sedang meneguhkan bahwa Islam bukanlah agama yang egois dan antisosial. Karena umat-umat agama pada masa terdahulu sering kali menyalah-artikan bahwa agama diturunkan hanya untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah Swt, tidak kepada sesamanya. Hal ini, bahkan ditunjukkan sejak pertama kali peradaban umat Islam dimulai. Contohnya, peristiwa pembunuhan pertama manusia, Qabil dan Habil? Qabil tega membunuh saudaranya hanya karena ibadahnya, yakni qurban, yang kecewa karena faktanya memang tidak sebagus dari apa yang telah dipersembahkan Habil. 

Allah akan sangat mencintai hamba yang beribadah penuh kepada-Nya, sekaligus terus bermanfaat bagi orang lain baik dengan baik hartanya maupun jiwa dan raganya. Seiring kewajiban shalat yang dilambangkan dengan gerakan ruku dan sujud, seorang Muslim juga diminta untuk rendah hati dan menghormati orang lain. Seiring adanya kewajiban puasa, umat Islam juga dituntut untuk menghilangkan rasa lapar bagi kalangan miskin. Ketika seseorang diberikan kewajiban membayar zakat, maka di saat itu pula sebenarnya juga dituntut untuk membukakan jalan orang lain dari kesulitan yang sedang menimpanya. 

Rasulullah Saw bersabda:

اَحَبُّ الْعِبَادِ اِلَى اللهِ تَعَالَى اَنْفَعُ النَّاسِ للِنَّاسِ وَاَفْضَلُ اْلاَعْمَالِ اِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلَى قَلْبِ  الْمُؤْمِنِ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا اَوْيَكْشِفُ عَنْهُ  كَرْبًا اَوُيَقْضِى لَهُ دَيْنًا

“Hamba yang paling disukai Allah adalah orang yang paling bermanfaat kepada orang lain. Sementara amal yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan di hati orang yang beriman yang menolak rasa lapar, membuka jalan atas kesulitannya, atau membayarkan utangnya.”

Namun, yang lebih mengenaskan ketimbang menganggap ibadah ritual dan ibadah sosial sebagai pilihan adalah ketika seorang muslim justru menghapus kedua-duanya dari dalam dadanya. Nabi Saw bersabda:

وَ خَصْلَتَانِ لَا شَىْءَ اَخْبَثُ مِنْهُمَا الشِّرْكُ بِاللهِ وَالضُّرُّ بِالْمُسْلِمِيْنَ

“Dua hal yang tidak ada yang lebih keji dari keduanya adalah menyekutukan Allah dan memudharatkan umat Islam.” 

Dengan kata lain, tetaplah beribadah sesuai dengan kadar kemampuan. Tetaplah berbuat baik sesuai apa yang memungkinkan dan terjangkau. Artinya, kalau pun tidak dapat berbuat baik terhadap orang lain, sekurang-kurangnya seseorang tidak berbuat sesuatu yang membahayakan atau berbuat dzalim terhadap yang lainnya. 

Marilah untuk terus mendzikirkan nama-nama Allah Swt dengan sepenuh hati, sembari tetap merawat niat untuk selalu menebarkan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya manusia.

Wallahu a’lam.

(Sari pati pengajian Nashaihul Ibad hal 04 )

Sinau, ngaji, saling nyimak bersama Alumni Pondok Pesantren Aris Kaliwungu Kendal sekabupaten Cirebon.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here