Mengaji dan Menulis

0
403

KHASKEMPEK.COM – Ketika saya melihat deretan kitab di lemari, terbesit dalam pikiran untuk menuliskannya dan dikirim ke media-media keislaman dengan harapan dimuat. Kini saya menyadari, ini adalah jalan untuk mengamalkan ilmu yang selama ini saya pelajari di pesantren.

Sebagai santri pada umumnya, saya juga mengoleksi kitab-kitab saat mesantren di Ponpes KHAS Kempek Cirebon dulu. Meski tidak lengkap layaknya perpustakaan kitab, tapi lumayan lah untuk sekedar hiasan lemari di rumah. Dijejer panjang. Apalagi jika kitab berjilid dan cetakan sekelas Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon: salah satu percetakan kitab kualitas terbaik dengan harga cukup mencekik dompet santri macam saya.

Kitab-kitab itu dibeli dari kiriman orang tua yang saya sisihkan secara khusus. Senang sekali rasanya memiliki koleksi banyak kitab dari uang ‘tabungan sendiri’.

Selama mesantren dulu memang hobi mengoleksi kitab di luar kurikulum pesantren. Ada kesan yang selalu saya ingat, kalau mampir ke toko kitab, pasti tangan gatel. Ujung-ujungnya, ada atau tidak ada uang, harus pulang bawa kitab dari toko itu. Uang yang pas-pasan kadang menemui petakanya di sini. Wkwk.

Suatu hari, saya berpikir lama saat melihat jejeran kitab koleksi pribadi itu, terbesit dalam benak: Buat apa saya membeli semua kitab ini? Buat apa dulu ngaji kitab ini dan kitab itu? Apa hanya untuk disimpan dan dijadikan hiasan rumah?

Saya yakin. Ini adalah problem yang dialami santri kebanyakan. Saat pulang dari pesantren, kadang ingin mengamalkan ilmu yang selama ini dipelajarinya. Tapi seolah menemukan jalan buntu karena tidak tahu dalam bentuk apa bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang dulu dipelajari selama nyantri. Apa kitab-kitab yang kita punya cukup jadi hiasan?

Kemudian muncullah kekhawatiran: jangan-jangan ilmu saya tidak manfaat? Ngaji di pesantren lumayan lama, koleksi kitab juga banyak. Tapi bingung bagaimana cara menyalurkan semua itu agar manfaat bagi umat.

Kebetulan, saya hobi nulis-nulis. Meski saat itu masih belepotan. Belum tahu cara nulis yang baik dan enak dibaca untuk khalayak umum. Apalagi memenuhi standar untuk dimuat di media-media keislaman.

Meski begitu, dalam jiwa saya sudah tertanam semangat menulis. Termasuk aktif mengikuti pelatihan kepenulisan. Mulai dari pelatihan di komunitas penulis kampus, sampai mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh media-media besar sekelas NU Online.

Dari hobi dan keseriusan itu, akhirnya saya memetik buahnya. Kian hari tulisan saya mulai menemui wujud dirinya, dan cukup layak untuk dibaca kalangan luas (setidaknya menurut saya, hehe).

Alhamdulillah, sekarang saya istikamah menulis setiap hari. Tulisan-tulisan itu saya kirim ke media-media keislaman seperti NU Online, Alif.id, Nuansanet.id, dan media keislaman lainnya.

Tulisan-tulisan itu bersumber dari kitab-kitab yang dulu saya koleksi. Tentunya ditambah dengan kitab-kitab PDF sebagai referensi tambahan.

Ada kesan menarik saat saya buka-buka kitab untuk ditulis. Saya merasakan kerinduan saat membuka kitab yang saya rujuk untuk referensi. Catatan-catatan kecil di pinggir kitab saat dulu ngaji. Afsahan yang tidak lengkap. Kadang ada coretan yang menandakan dulu tidak sengaja tercoret karena ngaji sambil ngantuk-ngantuk. Semuanya mengingatkan masa-masa saat masih ngaji di pesantren.

Andai waktu itu bisa terulang kembali. Pikirku.

Kini, kitab-kitab yang dulu saya pelajari di pesantren, dengan segala keterbatasan, dengan rutin saya tuliskan dan dimuat di situs-situs keislaman. Tentunya, dibaca banyak orang. Mungkin ini salah satu cara Allah menjadikan kemanfaatan ilmu bagi hamba-Nya.

Saya jadi ingat pesan KH Ni’amillah Aqil Siroj (salah satu pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon) saat pamit untuk pulang dari pondok dan melanjutkan kuliah.

“Bror, kalau nanti sudah keluar pesantren, jangan tinggalkan muthala’ah, ya (memaca kembali kitab-kitabnya),” pesan Kiai Ni’am.

“Tidak sedikit santri yang pulang dari pesantren. Tapi setelah sibuk dengan dunia luar, kitabnya tidak dibuka-buka lagi,” lanjutnya terdengar bijak.

Dengan aktif menulis konten keislaman, berarti saya terus membuka kitab dan memuthala’ah. Dengan begitu, tetap bisa mengamalkan nasihat Kiai Ni’am saat saya berpamit pulang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here