Dua Putra Titisan Syaikhona KH. Aqiel Siroj (1)

0
534

KHASKEMPEK.COM“Kii Lik… ! Isun kuh baka ceramah seneng nganggo syair-syair, seumpama keliru kah bli papa, nah isun paling wedi ngucapaken Qur’an je salah. Baka Muh si akeh Tafsire ya?

Saya hanya jawab : Nggih…”

-Yang dimaksud Muh adalah KH. M. Musthofa Aqiel Siroj yang tak lain adalah adik kandungnya-.

Kutipan perbincangan diatas diucapkan oleh Kang Said panggilan akrab Prof. DR. KH. Said Aqiel Siroj (Kang adalah panggilan kiai-kiai di Cirebon sebagai bentuk kesahajaan, keakraban dan egalitarian) pada sekitar tahun 2009 dalam sebuah perjalanan pulang mengisi ceramah di Pendopo Kabupaten Majalengka.

Berangkat dari sini, penulis mencoba menelusuri jejak kedua Masyayikh Khas Kempek tersebut, disamping sebagai seorang kiai pesantren juga beliau berdua sibuk sebagai da’i atau muballigh yang memiliki kemampuan verbal yang piawai diatas panggung sebagaimana kemahiran ayahnya almaghfurlah KH. Aqiel Siroj.

Tentunya sesuai kapasitas saya, yang terkadang bersentuhan langsung dengan beliau-beliau, karena santri yang alhamdulillah masih bisa ngawula dan tak lebih dari itu he he.

Penulis hanya menggunakan cara semiterstruktur, jelas lebih bebas. Menggali informasi dan mendapatkan data yang akurat dari yang bersangkutan dan orang terdekatnya.

KH. Said Aqiel Siroj

Kang Said dan Latar Belakangnya

Saya melihat belum ada satupun yang mengkaji secara spesifik tentang kecenderungan Kiai Said menggunakan syair-syair Arab dalam aktifitas ceramahnya.

Sedangkan mengenai hal lain, ibaratnya “kaya kacang” dapat dengan mudah ditemukan baik di media elektronik, cetak ataupun media modern lainnya ; penelitian ilmiah dan riset mengenai subjek beliau dan objek pemikiran, ide atau gagasan dan aktifitas kiai yang satu ini. Karena beliau adalah sosok ulama berkaliber nasional dan internasional.

Penulis mengawali dengan latar belakang keluarga, yang jelas beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara “Pandawa Lima”, pasangan KH. Aqiel Siroj dengan Ny. Hj. Afifah Harun. Keluarga kiai besar yang terbilang berada dengan tradisi pesantren kuat tetapi mendidik putra-putranya dengan bersahaja, tirakat, dan disiplin ketat.

Syaikhona Mbah Aqiel konon mengajari kelima putranya ilmu nahwu sharaf dengan cara sorogan setoran satu persatu, lafal perlafal sampai yakin dan pasti hafalannya.

Kiai Ni’amillah Aqiel, putra bungsunya pernah mengakui bahwa “Isun bengen setoran tashrifan ning Mama kudu ceta, persis tulisan padahal isun dewek waktu kuen bli faham, ya wis jalan bae.”

Dibekali ilmu nahwu sharaf dan fan lainnya, beliau lanjut ke Pesantren Lirboyo Kediri dan Krapyak Yogyakarta. Dan menggali ilmu ke Timur Tengah kuliah sampai S.3 di Ummul Quro Makkah serta bermukim disana selama 14 tahun.

Jadi sangat lengkaplah pendidikan dan keilmuan beliau sebagai muballigh, akademisi, intelektual bahkan sebagai ulama dan Ketua Umum PBNU.

Kang Said dan Ceramahnya

Beliau sering ngendiko, bahwa beliau dan putra Kiai Aqiel lainnya bisa menjadi seperti ini karena hampir tiap hari dikasih berkat bawaan ayahandanya pulang ceramah.

Perlu diketahui bahwa Kiai Aqiel adalah sosok kiai pengasuh pesantren sekaligus muballigh yang mengisi pengajian dari satu kampung ke kampung lainnya. Menggunakan alat transportasi sederhana, kadang becak, dokar/per ditarik kuda yang memang berlaku pada zaman itu.

Suatu waktu saya bersama Mas Ulil Hadhrawi mendampingi Kiai Said mengisi ceramah di desa Karang Sembung Jatibarang Brebes.

Kata Kang Said, dulu Kiai Aqiel ceramah sampai sini dan menginap untuk beberapa hari mengisi dibeberapa tempat di Brebes. Bahkan beliau mengenang bahwa di sini ada sate kambing yang enak kata Mama.

Dan kami bertiga pun segera bergegas mampir di warung sate di Jatibarang he he…

“Walau diundang di kampung pelosok, pasti saya akan datang untuk berdakwah. Saya pernah ke pulau Burung, dari sini naik pesawat ke Batam, dan dari Batam ke pulau Guntur, bagus. Dari pulau Guntur ke pulau Burung jelek sekali jalannya. Dari tepi pulau ke tempat ceramah, saya naik getek.” Itulah pengakuan beliau yang sering disampaikan ketika ceramah.

Kalau sedang ceramah dan mengisi seminar, Kang Said begitu lancar menguraikan tentang sejarah keislaman dengan dibumbui ayat, hadis, dan pendapat para ulama klasik. Tentu saja dengan humor juga sebagai ciri khas NU dan gaya santri tradisional. Gaya ceramahnya juga blak-blakan, ceplas-ceplos, tas-tes, to the point. Jadi enak dan semangat dengarnya, tulis Prof. DR. Sumanto Al Qurtuby dalam postingan FBnya.

Kiai Said sendiri berpesan bahwa dalam berceramah, seorang da’i jangan terlalu mengedepankan humor, padahal bagi saya pembawaan serius pun jika materinya berkualitas akan jauh lebih baik dan kemungkinan besar lebih bisa diterima. Bisalah pake humor tetapi sedikit diminimalisir sekedarnya saja jangan berlebihan, yang terpenting metodenya harus kontekstual.

Berdakwah, kata Kiai Said bertujuan untuk menciptakan khoirul ummah, umat yang sebaik-baiknya, menjadi uswah, contoh sebagaimana QS.Ali Imron 110, tulis beliau dalam buku Tasawuf sebagai Kritik Sosial.

Rasulullah ﷺ sebagai referensi central juga teladan utama. Pengabdian Nabi kepada agama tanpa batas, menggunakan dakwah secara bijaksana (hikmah) memberi nasihat secara baik dan santun serta berdiskusi atau bermusyawarah secara berkualitas, sebagaimana terdapat dalam QS.An-Nahl 125 lanjutnya.

Dalam beberapa ceramahnya beliau mengatakan bahwa aktifitas muballigh bukan hanya memahami Islam tetapi juga harus mampu mengaktualisasikan pemahaman keislamannya dalam kehidupan sehari sehari.

Kita masih ingat bahwa beliau pernah mencontohkan pamannya sendiri, KH. Amien Siroj yang mampu menghafal AlQuran, Uqudul Juman, Alfiyah, Qowaidul Fiqhiyah, dan lainnya, Kiai Amien juga mampu mengaktualisasikan dan mensosialisasikan kepada publik, mengkontekstualisasikan dalam realitas kesehariannya.

Dalam buku Islam Kebangsaan, Kiai Said berharap seorang da’i atau penceramah harus dapat menjadi pemikir transformatif dan mitra dialog yang baik bagi gagasan-gagasan Islam di Indonesia.

Menurutnya ummat bukanlah hak paten satu golongan tertentu, semisal umat Islam, Kristiani, Hindu, Konghucu, dan sebagainya.

Namun kita bisa melihat tipologi khas beliau adalah akademisi yang materinya disesuaikan dengan tingkat kecerdasan juga kondisi yang tepat sasaran.

Kita bisa merasakan konsistensi dan keistiqomahan beliau mengusung ide dan gagasan. Mendengar ceramah-ceramah beliau secara berulang-ulang menyebut sebuah tema yang seakan itu-itu saja, tetapi rasanya masih tetap sedep dan tidak mboseni apalagi kita juga masih penasaran menunggu bumbu-bumbu dan jok-jok beliau yang relevan dengan situasinya.

Sehingga sebuah ide yang sama tapi disampaikan dengan kemasan segar yang disesuaikan dengan tempat, audien dan waktunya.

Kang Said nampaknya lebih senang mahasiswa atau masyarakat awam. Sebab kata beliau kalo pesantren sudah ada yang mengendalikan dan itu lebih tercover secara sempurna, baik secara ilmu Islam maupun implementasinya.

Sebab orang awam seperti halnya mahasiswa, kita lebih terbuka menemukan figur kreataif, inovatif, dan berfikir secara kritis dalam menghadapi persoalan yang berkembang.

Selain ceramah monolog dengan berbagai forum baik ilmiah maupun masyarakat dalam dan luar negeri, di kampung atau di kota, sebagai seorang intelektual dan tokoh agama, beliau juga terbiasa berdialog dengan banyak kalangan.

Terakhir beliau menerbitkan disertasinya dalam tayangan video yang diunggah Al-Tsaqofah, beliau mengajak pembaca silahkan ditunggu atensi dan kritik ilmiahnya. Beliau orang yang terbuka dalam menyampaikan ilmu, ide dan gagasannya. Jadi beliau benar-benar sosok yang lengkap.

Dizaman digital dan algoritma seperti sekarang ini, dimana umat Islam bisa memanfaatkan untuk ikut berdakwah melalui media ini, beliau sebenarnya menganggap ceramah langsung, face to face, bisa silaturrahim seperti menjadi khatib shalat Jumat dan sebagainya masih tetap efektif dan efesien.

Kang Said dan Syairnya

Latar belakang keluarga dan pendidikan yang kental akan suasana keagamaan yang diambil dari sumber aslinya ini membuat beliau memiliki perbendaharaan luas mengenai seluk beluk bahasa Al-Qur’an yakni Bahasa Arab.

Sehingga tak pelak Kiai Said cenderung menyukai dan hafal indahnya syair-syair berbahasa Arab. Dalam setiap kesempatan ceramahnya hampir selalu menyisipkan syair.

Apabila melihat pamannya, almaghfurlah KH. Amien Siroj juga sosok kiai yang penuh dengan syair-syair indahnya.

Belajar dari ayahnya di pesantren Kempek yang terkenal dengan nahwu sharaf nya, tradisi hafalan yang ketat.

Kemudian diteruskan dengan pesantren yang bergelut dengan kitab kuning berbahasa Arab. Konon beliau juga melahap hampir sebagian besar kitab-kitab KH. Ali Maksum Krapyak.

Di Timur Tengah, ia bukan sekedar mukim dan hidup bersama orang Arab, tetapi beliau belajar, kuliyah dengan segala konsekwensinya. Bahkan disertasinya memuat 860 kitab rujukan. Ini berarti beliau telah membaca dan menguasainya. Bahkan Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid) menyebut Kiai Said adalah kamus berjalan.

Kiai Musthofa Aqiel pernah bercerita pada penulis bahwa ketika beliau mukim hidup di Makkah, beliau sering membantu kakaknya menulis tugas kuliahnya, Kiai Said yang mencari referensi dan membaca, adiknya Kiai Musthofa yang menulis nukilan-nukilannya untuk melengkapi tulisannya.

Ditambah konsentrasi bidang keilmuannya adalah tasawuf falsafi. Dimana bahasa Arab yang digunakan dalam kitab-kitab yang dibaca beliau adalah bahasa tingkat tinggi, ushlub, balaghah, majaz yang rumit dan pelik namun indah dan bernilai tinggi bagi mereka yang mengerti susatra Arab.

Disamping beliau orang yang cerdas dengan hafalan kuat, maka sangat logis jika beliau pada akhirnya menyukai syair-syair Arab, diantaranya adalah Qosidah Burdah.

Berikut ini yang disampaikan pada sebuah mimbar pada acara Maulid Akbar di Masjid Istiqlal yang diselenggarakan oleh LDPBNU pada 29 Oktober 2020.

Kiai Said menyampaikan mauizoh hasanah yang salah satunya mengisahkan soal asal-usul Shalawat Burdah.

Ia mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah memuji dirinya sendiri apalagi sampai memanggil ‘wartawan’ untuk membuat narasi pujian kepadanya.

“Tapi ketika ada orang memuji-muji, dibenarkan. Tidak dilarang. Maka memuji Rasulullah menjadi sunnah taqririyah. Bukan bid’ah. Maulid Nabi tidak membutuhkan hadits shahih, tetapi yang dibutuhkan adalah hati yang shahih,” tegas Kiai Said.

Ia lantas mengungkap sejarah yang dibacanya dalam kitab Al-Madaih An-Nabawiyah karya Syekh Ismail An-Nabhani sebanyak empat jilid. Isi kitab tersebut, dijelaskan Kiai Said, berupa syair dan prosa yang kontennya adalah memuji Nabi Muhammad.

Salah satu kisah yang dipaparkan Kiai Said adalah Ka’ab bin Zuhair yang memuji-muji Nabi Muhammad dengan sangat sukacita. Saat dipuji, seketika Nabi tersenyum yang menyiratkan kerelaan hati.

“Beliau ridha dan senang dipuji. Tidak melarang. Kemudian Rasulullah memberikan hadiah, selimut yang sedang dipakai bergaris-garis. Diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair setelah memuji. Selimut bergaris-garis itu bahasa arabnya adalah burdah,” jelas Kiai Said.

Kiai Said kemudian menyenandungkan Shalawat Burdah yang pernah disampaikan Ka’ab kepada Nabi. Setelah membacakan shalawat, ia langsung menerjemahkannya.

“Engkau Rasulullah, bagaikan pedang yang terbuat dari India yang sangat tajam. Datang dari suku Quraisy Mekkah, membawa cahaya atau sinar yang terang benderang. Diikuti oleh para pengikut yang gagah berani tapi berhati mulia. Ikhlas dalam segala tindakannya,” kata Ka’ab dalam penggalan Shalawat Burdah yang diterjemahkan Kiai Said.

Kiai Said melanjutkan terjemahannya. Bahwa sahabat Nabi memiliki sifat yang ketika perang dan kemudian tombaknya mengenai musuh, tidak akan merasa bangga. Kemudian jika dalam perang terkena tombak, tidak akan merasa kecewa atau menyesal.

“Tidak seperti sekarang yang ketika punya jasa sedikit (dengan sombong mengatakan) saya lah yang berperan. Dan kalau dia sendiri kena pedang, tombak, panah tidak kesal, tidak kecewa, tidak menyesal, tidak menggerutu. (Itu) hal biasa dalam berjuang, ada sakit dan lukanya,” jelas Doktor Filsafat Islam jebolan Universitas Ummul Quro, Arab Saudi ini.

Setelah mendengarkan pujian itu, Nabi memberikan selimut bergaris-garis yang dalam bahasa arab disebut Burdah. Kini, selimut itu ditempatkan di Museum Topkapi, Istanbul, Turki. Lalu, Kiai Said mengajak hadirin untuk senantiasa bertawasul kepada Nabi Muhammad.

Ia mengutip kembali penggalan Shalawat Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia yang tidak aku miliki, selain engkau. (Engkau) yang dapat menolong kami, yang dapat menjadi sandaran kami. Aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali engkau.” (Dikutip dari UNINUS ac.id, sumber NU Online).

Menurut Kiai Idris Sholeh, Kepala MA Al-Tsaqofah Jakarta menceritakan bahwa suatu waktu dia memberanikan diri untuk mengganti khutbah di Masjid Pesantren itu karena seharusnya jadwal Buya Said tapi sepertinya beliau berhalangan.

Baru berjalan sebentar, Buya Said ikut hadir duduk pas dibawah mimbar dan mendengarkan khutbah itu. Isi khutbahnya banyak sekali menukil syair-syair Arab. Selesai shalat Jum’at, Kang Idris dipanggil oleh beliau dan mengajak diskusi mengenai syair-syair itu kembali.

Bagi Kang Idris, selama mengabdi di Al-Tsaqofah, dia merasa Buya Said menyuruhnya untuk membaca sebuah kitab berbahasa Arab atau yang terdapat syairnya, kemudian dia ceritakan kembali isinya sekaligus mengajaknya berdiskusi.

Padahal mereka yang mengerti indahnya bahasa Arab, maka akan mengerti indahnya syair. Dan mereka yang mengerti syair maka akan mengerti keadaan, tabiat, seluk beluk masyarakat Arab. Karena syair zaman dulu digunakan untuk menggambarkan situasi, kondisi zamannya. Sehingga mereka cenderung meniru perilaku orang-orang Arab.

Tetapi bagi Kiai Said tidak demikian. Menguasai syair Arab berarti menguasai bahasa Al-Qur’an, menguasai Hadits, menguasai Tasawuf dan seluruh perangkat ilmu yang kelak akan beliau sampaikan untuk disesuaikan dengan masyarakat Indonesia.

Menyukai syair-syair bukan berarti menanggalkan yang lainnya. Ini dibuktikan Buya Said masih rutin mengaji dwi mingguan open house untuk semua masyarakat yakni pengajian Tafsir Al-Kabiir dan Mafatihul Ghaib dan kitab lainnya.

Mohammad Dawam Sukradi menulis bahwa Kiai Said adalah figur setelah Gusdur yang dalam batasan lebih kecil mampu memotret dan meniru sisi kehidupan Gusdur untuk dijalankan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bergaul dalam banyak komunitas.

Dawam melanjutkan bahwa pilihan Kiai Said kembali ke tanah air untuk mengabdi kepada bangsa, tentunya memiliki implikasi yang lebih luas. Seolah ia mengambil resiko dan pilihannya sebagai agen perubahan sosial dalam batas tertentu.

Pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan, merancang program ber-visi keindonesiaan, mampu memberi warna kontribusi positif pada komunitas lain, sebagai bentuk dakwah dan memperkuat misi dan spirit Islam. Itulah menurutnya model dakwah yang aplikatif. Dikutip dari buku NU Sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa ; Kado buat Kyai Said).

Penulis melihat, bahwa kepiawaian beliau berbahasa Arab, baik lisan, tulisan yang digambarkan beliau melalui syair-syair yang disukainya semata hanya untuk memahami ajaran Allah ﷻ yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Dalam buku Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Kiai Said menulis sebuah hadits ; menjelang Baginda Nabi ﷺ wafat, beliau telah memberikan wejangan kaum muslimin, agar tidak terperosok dalam jurang kesesatan, hendaklah selalu menempatkan Kitabullah dan Sunnah Rasulnya sebagai referensi utama dalam setiap langkah hidupnya.

Terbukti beliau kembali ke tanah air ini untuk membangun bangsa, tetap menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan menjadikan Indonesia sebagai negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Semoga Kiai Said tetap sehat dan Istiqomah memimpin NU selamanya demi Indonesia tercinta. Wallahu a’lam bisshawab.

Inframe: hasil jepretan Kang Idris dalam forum Multaqo al-Shufi al- Alami, Tripoli-Libiya 2011.

NKT.05.07.2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here