Live Pengajian Kitab Kuning ala NU (Bagian 2)

0
1212

KHASKEMPEK.COM – Bulan Puasa tahun ini, lembaga pondok pesantren banyak yang tidak memulangkan para santrinya ke kampung halamannya masing-masing.

Kiai-kiai kharismatik dan gus-gus kredibel tetap mengadakan pengajian “pasaran atau pasanan” khusus Ramadan dilakukan sebagaimana tradisi yang berjalan.

Hanya saja beliau-beliau juga menyelenggarakan pengajian dengan daring; membacakan kitab-kitab kuning dan mengkajinya secara livestreaming, ada yang melalui YouTube, Facebook, Instagram bahkan aplikasi Zoom.

Tak ketinggalan termasuk Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon, disamping tetap mengaji dihadapan para santri, juga ada tim yang mengurus agar para Kiai Bu Nyai sepuh maupun muda bisa tetap online.

Hal ini dilakukan bukan karena budaya pop dan trend sesaat, tetapi lebih pada tuntutan alumni dan masyarakat,  serta paling tidak agar kita bisa melihat kembali isi pengajian karena jejak digital bisa menyimpan lebih lama daripada otak kita.

Sepertinya Kiai dan Gus yang notabene adalah pejabat, juga tak mau kalah ikut meramaikan pasaran Ramadan melalui jagat maya, sebut saja misalnya Wakil Gubernur Jateng Gus Yasin dengan Tafsir Yasinnya, atau Kakanwil Kemenag Jabar Kiai Adib mengkaji Tafsir Qur’an, atau Gus Shidqi Anggota DPRD Jateng membacakan kitab Hujjah ahli sunnah wal jama’ah.

Mereka khusuk membacakan kitab – kitab klasik yang berisi berbagai bidang bahasan, santri atau

siapapun yang ada di rumah atau dijalan masih bisa tetap “tabarrukan” ala tekhnologi modern online didepan gawai atau layar monitor komputer.

Pemandangan kiai dan santri memegang dan membaca kitab turots dan kitab kuning itu sudah biasa dikalangan pesantren.

Membaca kitab gundul dengan baik dan benar tentu butuh alat teknisnya atau grammer dan gramatika seperti nahwu shorof. Lebih-lebih untuk bisa memahami isi dan kandungannya, maka akan banyak lagi diperlukan alatnya, dari segi bahasa, linguistik, prosa kata, susunan hingga asror setiap ungkapan majaz kalimatnya yang terkadang banyak kandungan metavoranya.

Jadi memahami ajaran agama langsung melalui sumber asalnya yakni Al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya berbahasa arab maka uslub untuk memahaminya harus jelas.

Syariat ini diajarkan dari Rosulullah Saw kepada para sahabat, lalu kepada para tabi’in dan seterusnya, lalu para ulama madzhab setelahnya, dan secara berkesinambungan diajarkan kepada para ulama sesudahnya hingga saat ini .

System belajar secara talaqqi dan berguru secara langsung adalah metode terbaik dalam hal belajar mengajar. Hingga sanad tetap terjaga dengan baik. Karena bagaimanapun agama tidak bisa hanya difahami melalui teks global secara srampangan.

Para ulama tidak mudah gegabah, semua dibuat agar pemahaman agama baik yang tersurat maupun yang tersirat tidak keluar dari maqoshidussyariahnya.

Dan bagi santri, hal itu merupakan konsumsi harian dalam menimba ilmu di bilik-bilik pesantren.

Itulah metode baca kitab kuning dan dakwah tradisional yang kita terus berharap kiai-kiai sepuh tetap menjaga warisan tradisi ini.

Namun, seiring dengan korelasi suatu karakteristik dunia baru yang sedang dihadapi, yakni dunia digital atau ruang maya, tidak ada salahnya kaum muda Nahdliyyin terus mengusung kaidah al-muhafazoh ‘alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.

Sehingga disamping para santri terus menjaga metode tradisional talaqqi sesuai dengan sosiokultural pesantren, tetapi juga berani menggeser melalui cara baru dengan online/livestreaming sesuai dengan realitas sosial yang menggunakan cara berfikir baru, Internet Thinking atau Computional Thinking.

Dengan harapan melalui model hybrid ini, pengajian pesantren ala NU yang kaya akan khazanah bermutu tetap akan dikunjungi banyak peminat dan mampu menembus ruang-ruang publik yang lintas batas.

Mungkin yang perlu diperhatikan adalah untuk kontens yang bagus dari para kiai dan gus NU tersebut perlu adanya sedikit sentuhan dan polesan kekinian dalam beradaptasi dengan perubahan zaman sebagaimana contoh konkret fenomena pertama diatas.

Ingat, generasi milenial adalah generasi yang simple, mencari kemudahan, sederhana, dan kontens-kontens yang rasional serta menghibur..

Ya memang kita tidak bisa menyangkal bahwa kiai-kiai kharismatik pesantren lebih memilih fokus mengurusi santrinya yang tetap ngalap berkah pada gurunya untuk mengaji secara langsung.

Hanya disinilah peluang bagi para Gus muda NU untuk bisa move on. Karenanya, inilah momentum bagi generasi baru pesantren berdakwah dengan metode kontemporer sesuai kecenderungan publik.

Pede membaca kitab kuning secara livestreaming, karena generasi NU lah yang mempunyai modal cukup untuk itu.

Bukan mereka kaum konservatif, kelompok yang cenderung berpaham keagamaan ekstrim, tertutup, intoleran dan bahkan anti-pemerintah.

Kitalah yang memiliki sikap tasamuh, penuh jenaka dan terbuka, karena semua itu bersumber dari kekuatan memahami agama yang sampai ke akar akarnya.

Orang NU terbiasa santai menyikapi berbagai persoalan se jagat raya ini, fleksibelitas keluesan sikap ini dikarenakan memiliki sumber hukum yang memadai.

Jika tidak punya kemampuan untuk hal tersebut, maka mengikuti dan taklid pemahaman para kiai adalah sebuah keniscayaan.

Oleh karena itu kita sebagai kaum awam, menyerahkan sepenuhnya urusan agama kepada ahlinya, karena dialah yang punya otoritas diranah itu, dan mereka adalah poro Yai dan Gawagis NU.

Sekedar patung pikir, moga ada hikmahnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

NKT.24.04.2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here