Kiai Aqil dalam Catatan Naskah Alfiyah Berusia 40 Tahun

0
1118

KHASKEMPEK.COM – Secara sengaja saya membuka-buka catatan ayah saya saat dulu ngaji Alfiyah kepada almarhum KH Aqil Siroj (Pendiri Pesantren KHAS Kempek Cirebon, sebelumnya bernama Majelis Tarbiyatul Mubtadi’ien). Ayah saya mencatat penjelasan detail Kiai Aqil di tengah-tengah ngaji Alfiyah, kata per kata, huruf per huruf.

Dalam catatan itu tertulis, pada setiap baris (bait) nadzam Alfiyah, di bawahnya ada uraian panjang dengan menggunakan Jawa Pegon (tulisan berbahasa Jawa dengan aksara Arab).

Tertulis pula, ayah saya mulai ngaji Alfiyah ke Kiai Aqil pada hari Kamis, tanggal 26 Dzulhijjah tahun 1979 pukul 09.30 WIB. Selanjutnya, pengajian diganti pukul 14.30 WIB.

Kemudian, ayah rampung ngaji Alfiyah pada hari Senin, 19 Sya’ban tahun 1981 setelah shalat asar. Berarti, catatan ini dibuat sejak 40 tahun silam.

Ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa Kiai Aqil selalu memulai ngaji pada hari Senin atau Kamis, sebagaimana penulis pernah mendengar dari KH Musthofa Aqil Siroj (putra ketiga Kiai Aqil atau Pengasuh Pesantren Khas Kempek Cirebon yang sekarang).

Menurut pengakuan ayah saya, yang juga dibenarkan oleh catatan ini, bisyarah (iuran) khataman Alfiyah saat itu senilai uang Rp 10 ribu dan beras 10 kg. Tentu, waktu itu belum ada perayaan khataman Alfiyah semeriah dan semewah sekarang.

Dalam pengamatan sekilas saya melalui buku catatan ini, terbukti bahwa Kiai Aqil adalah guru yang teliti dalam menjelaskan pelajaran kepada para santri. Bahkan untuk satu baris (bait) nadzam Alfiyah saja, ayah saya bisa menulis penjelasan Kiai Aqil sepanjang 17 baris. Seperti saat menerangkan baris nadzam berikut:

كذا الذي جر بما الموصول جر # كمر بالذي مررت فهو بر

Tentu, saya tidak akan menguraikan bait Alfiyah itu di sini. Anda yang membaca juga tidak mungkin menyimaknya. Selain saya juga harus muthala’ah (mengulang) lama lagi.

Penjelasan yang runtut dan dan mudah dipahami juga menjadi ciri khas Kiai Aqil dalam mengajar Alfiyah (tentu juga kitab-kitab yang lainnya). Beliau menggunakan metode (saya menyebutnya) “sabab-musabab”.

Saya contohkan salah satunya saat Kiai Aqil menjelaskan satu baris nadzam berikut:

والثانيَ اجْرُرْ وانْوِ مِن أوْ في إذا # لمْ يَصْلُحِ الَّا ذاكَ واللامَ خُذَا

Kiai Aqil menguraikan dengan redaksi demikian: “Jadi apabila ada kalimat isim dimudhafkan pada lafadz setelahnya, maka lafadz setelahnya tersebut harus dibaca jer…” (untuk bait ini, tertulis penjelasan sepanjang sembilan baris)

Cara yang serupa juga penulis alami ketika ngaji Alfiyah kepada KH Ni’amillah Aqil Siroj (putra kelima atau bungsu dari Kiai Aqil). Bedanya, saya tidak mencatat kata demi kata seperti 40 tahun yang lalu ketika ayah ngaji ke Kiai Aqil.

Keluasan penjelasan Kiai Aqil juga bisa kita temui dengan tidak hanya mengemukakan satu versi pendapat ulama, tetapi lintas qaul (pendapat). Seperti saat menjelaskan amil yang menyebabkan mudhaf ilaih dibaca jer. Ia mengutip tiga pendapat.

Pertama adalah pendapat Imam Ibnu Malik yang mengatakan bahwa mudhaf ilaih dijerkan oleh huruf jer yang tersirat (muqaddar), sementara pendapat kedua menurut Imam Sibawaih yang mengatakan dijerken oleh mudhaf, dan pendapat ketiga adalah Imam Akhfasy yang mengatakan dijerkan oleh idhafah.

Satu lagi yang perlu anda baca adalah pada halaman pertama buku catatan ini. Dengan bahasa Arab, ayah saya menulis (yang artinya):

“Siapapun yang meminjam buku ini, harap dijaga dengan baik. Jangan sampai rusak. Sungguh saya menuliskannya dengan susah payah. Waktu saya terkuras untuk menulisnya.”

Ayah saya mengaku. Proses penulisan catatan ini cukup pelik dan memakan banyak waktu. Sebab, saat ngaji di kelas, ayah mencatat penjelasan Kiai Aqil dalam secarik kertas. Setelah itu, ia menyempatkan waktu sebisa mungkin untuk menyalinnya dalam buku khusus.

“Saya tidak menunggu catatan di kertas banyak dulu, baru kemudian disalin. Tapi selesai mencatat, langsung disalin. Biar tidak kerepotan,” kata ayah.

Ayah bercerita satu hal. Dulu buku ini sering dipinjami temannya. Bahkan santri Kediri juga ikut mengcopy (namanya Kang Dul Daq). Wajar, karena catatan tersebut terkesan “eksklusif” saat itu. Hanya ayah saya yang punya. Akibat sering dipinjam, kertas sampingnya banyak yang lusuh. Bahkan beberapa tulisan di bagian pinggir sudah sulit terbaca.

Ayah juga bercerita. Ada cobaan yang sulit saat akhir-akhir menulis catatan ini. Saat itu, fase-fase terakhir ngaji Alfiyah disibukkan dengan “bregan” (kebut) ngaji Al-Qur’an karena mengejar khataman. Kita tahu, Al-Qur’an di Kempek menjadi perhatian utama.

Akibatnya, ayah tidak bisa membagi waktu. Meski ngaji Alfiyah tetap diikuti secara full, tapi catatan ngajinya hanya sampai pada bab Waqaf atau bab ke-58 dari total 65 bab Alfiyah. Tepat pada bait Alfiyah ke 884 dari total 1002 bait.

Muhamad Abror Mu’thi
Brebes, 10 Desember 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here