Haul KHAS Kempek dan Harapan Untuk Alumni

0
994

KHASKEMPEK.COM – HAUL Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, atau dulu bernama MTM, polanya masih sama, minimal sepanjang penulis aktif jadi panitia: pagi sampai siang pementasan Juz ’Amma dan Al-Qur’an. Ketika zaman Buya H. Ja’far Shodiq Aqiel Siroj setelah Al-Qur’an dilanjutkan pentas Alfiyah Ibnu Malik, siang sampai sore diisi dengan pentas seni, dan semacamnya. Beberapa kali diisi dengan pertemuan alumni, meskipun dalam sekala terbatas. Acara inti, yaitu tahlil haul dilaksanakan setelah Shalat Ashar. Biasanya di Mushola Al – Qodim. Tahun ini dilaksanakan di Mushola Al-Gadier. Selanjutnya pengajian umum dilaksanakan setelah Isya dilapangan utama. Dalam agenda acara, setelah pengajian umum akan dilanjutkan dengan dzikir, yang akan dipimpin oleh Dr. Syaikh Sayyid Fadhil Al Jilani, cucu ke-25 Syaikh Abdul Qodir Al Jilani.

Pra haul diisi dengan semaan Al-Qur’an dan kegiatan bakti sosial, seperti khitanan masal, pasar murah, pengobatan gratis, santunan untuk anak yatim dan jompo, yang diperuntukan untuk warga sekitar dan santri. Tahun ini ditambah kegiatan seminar dengan tema ‘Inklusi Ekonomi Syariah’ yang rencananya akan dihadiri oleh menteri kabinet kerja. Acara dilanjutkan dengan bahtsul masail (nadwah fiqhiyah) pada malam harinya.

Meskipun telah menjadi agenda rutin setiap tahun, haul tetap dipersiapkan secara matang oleh panitia. Hal ini karena haul merupakan kegiatan tersakral dan terbesar dari kegiatan-kegiatan di pondok pesantren KHAS Kempek. Biasanya beberapa bulan mendekati acara, ketua pondok dan pengurus senior membuat tim kecil, merumuskan kepanitiaan dan persiapan. Selanjutnya hasil tim kecil dibahas dalam rapat internal keluarga dan panitia utama. Hal-hal teknis seperti konsumsi, panggung acara, undangan wali santri, tokoh dan anggaran, sampai administrasi pendukung seperti persuratan dipersiapakan secara tertib dan terjadwal.

Pada acara ini, selain wali khotimin dan wali santri, juga dihadiri oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan tingkatan. Umumnya ingin mengikuti tahlil haul dan pengajian umum. Sementara bagi wali khotimin, secara khusus ingin menyaksikan putranya pentas, setelah sekian tahun melalui proses panjang dan penuh perjuangan mengaji Juz ‘Amma dan Al- Qur’an ala ‘Kempekan’. Ada rasa bangga dan haru ketika melihat putranya tampil dihadapan masayikh dan disaksikan ribuan orang dalam panggung kebesaran.

Diluar momen itu, haul menghadirkan beragam cerita unik. Seperti ketika berjumpa dengan alumni yang sudah sekian lama ‘menghilang’ setelah puluhan tahun tidak pernah datang. Alumni model begini langsung dapat ‘pertanyaan tetap’ yang harus dijawab; sudah menikah belum? anaknya berapa? tinggal dan kerja dimana? Selebihnya adalah ‘gasakan’ ala santri Kempek, yang diiringi senda gurau penuh keakraban.

Hanya, dalam suasana kehangatan itu, seperti ada yang kurang. Karena masih tidak nampaknya beberapa wajah yang dulu pernah sangat akrab. Seingat penulis, ada sekian puluh, mungkin ratusan, yang sampai kini entah dimana. Apakah mereka sudah lupa dengan pondok tercinta? Tidak!. Mungkin kesibukan, atau karena hal lain, menjadikan belum bisa hadir diacara haul. Semoga mereka tetap diberi kesehatan dan kesuksesan. Amin.

Seperti pernah penulis jumpai, pada teman satu kamar komplek Imam Ibnu Hiysam. Sekitar beberapa bulan yang lalu. Sebut saja namanya Halul. Ia merasa kurang pede dengan gelar ‘kealumnianya’, karena mengaji hanya sampai kelas Amrity. Itupun tidak sampai akhir tahun. Karena faktor ekonomi harus ‘boyong’ lebih cepat. Sekarang anak Tegal gunung ini sudah jadi bos nasi goreng yang sukses di Bandung.
“Kadang kalau haul ingin hadir, Kang. Cuma minder, ngaji hanya sebentar” terangnya, seperti menyesali. Halul kesulitan menemukan santri seangkatan dirinya, yang senasib.

Dalam pemahamanya, sebutan alumni hanyalah untuk yang sudah mengaji sampai kelas Alfiyah. Penulis jawab, itu tidak benar. Alumni adalah santri yang pernah tinggal dan mengaji di pondok pesantren. Tidak perduli berapa lama dan sampai kelas atau kitab apa. Asal dia pernah menetap di pondok dan mengaji pada kiai-nyai, dia adalah santri. Tidak ada mantan santri atau mantan alumni.

Ada lagi kisah pertemuan tidak disengaja penulis dengan seorang alumni senior (angkatan tahun 80an), yang sekarang sudah jadi tokoh di kampungnya. Alumni yang satu ini adalah prototipe manusia tradisional dalam arti seutuhnya. Ia tidak memilki handphone apalagi smartphone. Internet sama sekali tidak menarik minatnya. Dirumahnya yang asri tidak ada televisi atau radio. Satu-satunya hiburan yang dimiliki hanya sebuah tape model kuno dengan kaset untuk memutar lagu-lagu lama. Rhoma Irama adalah penyanyi favoritnya. Tidak heran, bila tokoh yang telah menjadi ‘kiai kampung’ ini tidak banyak mengetahui perkembangan dunia luar. Terlebih tehadap pondok pesantren Kempek, yang sudah sekian lama belum sempat dikunjunginya lagi.
“Saya tidak tahu apa itu al Jadied dan al Ghadir” ungkapnya. Sambil cerita bahwa pada masanya, Kempek masih berupa hamparan sawah yang luas, sebagian berupa kebun tebu.

Lalu penulis ceritakan perkembangan pondok. Mulai dari pembagunan asrama santri yang sangat pesat. Dibangunnya guest house, gedung olahraga (GOR), rusunawa putra-putri, Omnus, gedung Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), dan ATM untuk santri.

Kemudian tentang SMP, MTs, dan MA KHAS yang sekarang memiliki ribuan siswa dari berbagai daerah, bahkan luar pulau jawa. Tahun ini telah berdiri SMK KHAS dengan program Perbankan Syariah dan Bisnis Daring . Diujung barat pondok, sedang berjalan mega proyek STIKES KHAS dengan sekian hektar tanah untuk pengembangan pendidikan, yang akan menjadikan Kempek sebagai ‘pusat pendidikan’ dengan beragam pilihan.
“Berarti sekarang pendidikan formal di Kempek sudah lengkap ya, Kang?”
“Tepat sekali. Hanya TK dan SD yang belum. Mungkin nanti”
Alumni yang sudah penuh uban dikepalanya ini nampak khawatir, sistem salaf pondok akan tergeser oleh pendidikan formal.

Dijawab penulis, tentang komitmen kuat pengasuh dan seluruh masayikh kempek untuk menomorsatukan pendidikan pesantren. Metode pengajian yang ketat dan disiplin di Majlis Tahdizbul Mutdsaqofin atau dulu bernama Majlis Tarbiyatul Mubtadiin (MTM) seperti hafalan, setoran, nadzoman dan sistem baca kosongan pada seluruh mata pelajaran kitab kuning tetap diterapkan hingga kini. Kemudian kewajiban siswa menetap dan mengaji di pondok, pemisahan santri putra- putri, dan kegiatan sekolah dilaksanakan setelah kegiatan pengajian pondok, adalah bukti dari beberapa kebijakan mendasar betapa pondok tetap yang utama.
Alumni kita ini terlihat lega. Ia kemudian berjanji akan menghubungi alumni seangkatannya dan bersama-sama sowan ke Kempek.

Penulis menyambut gembira rencana ini. Kepadanya lalu penulis ceritakan beberapa harapan ‘kiai muda’ Pondok Kempek terhadap alumni. Pertama, keinginan agar suatu saat ada pertemuan seluruh alumni dari semua angkatan. Kedua, supaya alumni mengorganisasikan diri dalam wadah yang tunggal dan kuat. Ketiga, harapan alumni lebih berperan aktif di masyarakat, khusunya dalam bidang dakwah dan pendidikan. Keempat, dengan jaringan alumni yang luas bisa mengembangkan perannya dalam bidang lain, seperti koperasi.

Yang unik ketika Ia menanyakan keberadaan kebun sebelah tenggara Pondok Kempek. Alumni senior ini membagi kenanganya dengan cerita: “Waktu zaman saya mondok, tidak ada yang berani ke situ. Konon, banyak jin dan semacamnya disana. Kami dulu menyebutnya “pulau” terangnya.

Ketika dijelaskan bahwa disanalah gedung SMP KHAS yang megah berdiri, ia tidak percaya. Saat diberitahu bahwa penulis sudah lama menetap di rumah dinas (rumdin) yang berada di ‘pulau jin’, sang alumni senior ini semakin heran.

“Zaman telah berubah, kang. Jin dan dededmit telah berevolusi. Tidak lagi terkungkung dalam dimensi ruang dan waktu. Ada semacam asimilasi dalam dunia alam gaib. Era milenial telah merambah ke dunia mahluk halus” Penulis mencoba menyakinkan dengan bercanda. Sang kiai kampung terkekeh mendengarnya.

“Jadi, kapan ke Kempek, Kang?”
“Insya Allah, secepatnya”
“Paling pas di acara haul, Kang?”
“Kenapa?”
“Ada yang bilang, haul itu bukan sekedar tahlil, tapi sarana membangun silaturahmi, antara santri dengan gurunya, antara alumni dengan pesantrennya”
Ia tersenyum, tanda setuju.
“Haul kapan?”
“Tanggal 28 September 2019”
“Insya Allah, saya datang”

(KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here