Cerpen Santri: Santri Pejuang

0
1602

KHASKEMPEK.COM – Desingan suara peluru menderu-deru diatas kepala Zaed. Tentara Belanda membabi buta menembak siapa saja yang nampak. Zaed tiarap. Bersembunyi di dalam gubug tua. Tangannya memegang erat dokumen penting dari komandan Laskar Hizbullah, Kiai Wahab.

Santri senior yang diperintahkan Kiai Said ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu tak henti-hentinya berdoa. Berharap Allah, sang pemilik ruh tak segera mencabut nyawanya.

Ia harus selamat dan secepatnya sampai ke pesantren. Memberitahukan kepada gurunya, jika pasukan Belanda dalam perjalanan menuju ke tempatnya. Ia harus lebih cepat dari pasukan kompeni itu.

Tapi hatinya kecut, tatkala tank dan panser Belanda terdengar semakin mendekati persembunyiannya.

Zaed tahu, ada penghianat. Entah siapa yang rela menggadaikan bangsanya kepada penjajah. Siapapun dia, pasti telah disuap dengan uang berlimpah. Belanda memang licik, memanfaatkan kemiskinan pribumi demi nafsu kolonialnya.

“Gubug itu, tuan!”

Tiba-tiba terdengar suara dengan aksen pribumi. Zaed kaget. Ratusan serdadu Belanda dengan boyonet terhunus mulai mendekati persembunyiannya. Ia memang telah dilatih ilmu kanuragan oleh gurunya dipesantren. Tapi menghadapi satu kompi pasukan musuh yang didukung senjata berat jalas perbuatan nekat.

Lagi pula ada yang lebih penting dari nyawanya. Gulungan kertas yang sekarang tersimpan ditas ransel miliknya tidak boleh jatuh ke tangan musuh, karena akan mengacam keselamatan kiai dan pasukan santri yang kini tersebar di belantara hutan, bukit dan pegunungan.

“Lindungi dokumen rahasia ini dengan nyawamu!” perintah Kiai Wahab, komandan Laskar Hizbullah.

“Pastikan sampai secepatnya. Karena ini sangat menentukan keberhasilan perjuangan kita.”

Lalu Kiai Wahab memberikan sebilah keris kepada Zaed. “Berikan keris ini kepada Kiai Said,” perintahnya.

Kini, ia memegang erat keris pusaka milik gurunya. Tanganya gemetar. Bibirnya tak henti merapal doa. Dalam sekian detik, tentara Belanda akan menjangkau dirinya.

Tiba-tiba bayangan hitam berkelebat cepat menghampiri dirinya dan langsung menariknya keluar, melewati lorong kecil yang tersembunyi dibalik semak belukar. Gerakannya sangat cepat. Langkahnya begitu ringan. Zaed meninggalkan gubug tua dengan selamat.


“Berhenti di sini. Tolong berhenti!” teriak Zaed kepada pasukan misterius yang membawanya.

Zaed teringat tentara Belanda yang sedang menuju ke pesantren gurunya. Ia harus cepat ke sana. Sebelum semuanya terlambat.

“Mau ke pesantren Kiai Said, kan?” tanya salah satu dari tiga orang misterius di depannya.

Zaed ragu menjawab. Diperhatikanya tiga pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Mereka memakai kopiah hitam, baju koko dan sarung yang melingkar dipinggangnya. Ia tidak boleh sembarangan percaya. Karena pondok pesantrennya merupakan pusat komando pasukan santri wilayah jawa bagian selatan. Ia harus melindunginya.

“Gak usah khawatir. Kami utusan Kiai Wahab.”

Zaed kaget. Tapi bersamaan itu, tiba-tiba muncul serdadu Belanda. Entah dengan ilmu apa, ketiga pasukan yang ternyata dari Laskar Hizbullah itu langsung menyergap pasukan penjajah dengan kecepatan yang sulit dicerna oleh mata.

Mereka yang berjumlah puluhan, dengan mudah dirobohkan. Tapi dari jauh nampak pasukan baret hijau Belanda yang terkenal kejam itu mulai berdatangan. Gerakannya sangat terlatih. Pasukan elit kerajaan Belanda itu mulai menembaki utusan Kiai Wahab dengan senjata otomatis.

Zaed langsung berlindung dibalik pohon besar di dekatnya. Untungnya segera datang bala bantuan dari prajurit Laskar Hizbullah lain. Maka pertempuran hebat tak terelakan lagi.

“Ikuti kami..!!”

Salah satu laskar memberi perintah.

“Dokumen yang ada ditangan saudara harus diselamatkan..!!”

“Saudara tidak boleh tertangkap..!!!”

Tanpa berpikir lagi, Zaed langsung mengikuti. Ia dibawa menuruni hutan yang curam dan berbahaya.

Ketika tiba di ujung sungai menuju bukit, langkah para pejuang itu terhenti. Lagi-lagi tentara Belanda menghadang. Mereka seperti telah mengetahui setiap gerak langkah Zaed. Untuk kesekian kalinya, terjadi pertempuran sengit. Kali ini pasukan Laskar Hizbullah dalam posisi sulit. Terjebak di pinggiran sungai.

Ditengah pertempuran, sebagian tertara Belanda justru terlihat mundur dan menuju bukit, tempat dimana pesantren Kiai Said berada. Sementara pasukan Laskar Hizbullah yang mengawal Zaed masih tertahan di tepi sungai. Mereka tidak bisa bergerak maju, karena pasukan Belanda telah siap menembak setiap yang menyeberangi sungai dengan senjata otomatis dari tempat yang strategis.

Zaed panik. Tubuhnya bergetar hebat. Terbayang wajah guru dan kawan-kawannya.
Menyadari situasinya yang genting, salah satu Laskar Hasbullah mendekati Zaed.

“Apa ada jalan pintas menuju pesantren?”

“Iya, ada. Saya tahu.”

“Bagus. Lari ke kesana. Perintahkan kiai dan santri meninggalkan pesantren secepatnya. Cepat..!!!”

Zaed langsung berlari melalui jalan rahasia. Berlari sekuat tenaga. Secepat yang ia bisa.
Dengan sisa tenaga yang ada, dengan nafas tersisa, Zaed mencapai desa, tepat dimana pesantren gurunya berada. Tapi ia kaget luar biasa. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tentara Belanda sedang dilucuti oleh orang desa dan tanpa perlawanan. Zaed langsung mendatangi tawanan Belanda. Ia pandangi satu persatu prajurit bule itu dengan tajam. Aneh. Mereka menunduk. Wajahnya pucat pasi. Tak ada kesombongan apalagi keberanian seperti layaknya prajurit perang.

Zaed lalu menemui kuwu desa yang sedang memimpin penahana tentara Belanda. Kepada santri kepercayaan Kiai Said itu, kuwu bercerita tentang keganjilan-keganjilan yang dilihatnya. Ketika Belanda mendekati pesantren, mereka tidak bisa melihat bangunan asrama santri. Tentara Belanda seperti menatap lahan kosong.

Ketika kaki-kaki prajurit kolonial itu mulai melangkah mencari-cari keberadaan pesantren, terjadi peristiwa mengerikan. Tentara Belanda tiba-tiba terpental keras seperti diterjang gelombang ombak yang tak tampak. Terdengar suara jeritan ketakutan.

Mereka berusaha menyelamatkan diri. Dan lagi-lagi terjadi keanehan. Terlihat jelas mereka meninggalkan markas pasukan santri itu dengan cara seperti orang yang sedang berenang di danau yang luas dan dalam.

Sementara sebagian tentara Belanda yang masuk desa entah karena apa menjadi sangat ketakutan. Mereka berlari kesana-kemari. Bereriak-teriak histeris. Ajibnya, setiap bertemu dengan orang desa, mereka mengangkat tangan dan menyerahkan senjatanya. Semua orang desa yang sebenarnya juga ketakutan menjadi heran, dan menerima penyerahan tentara Belanda dengan kebingungan.

Ketika Zaed sedang mendengarkan cerita pak kuwu, dari dalam pesantren muncul Kiai Said bersama santri-santrinya.

Ia bernafas lega. Guru yang begitu ia hormati selamat bersama sahabat-sahabatnya.

Ia langsung mencium tangan gurunya dan memberikan dokumen beserta keris dari komandan Hizbullah.

Sejenak, kiai kharismatik yang menjadi panglima pasukan santri itu membuka dan membaca beberapa lembar kertas. Agak lama.

“Semua santri yang ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, harus bersiap. Kita diperintahkan mempertahankan Surabaya dari agresi tentara sekutu. Hadratussyekh Mbah Hasyim Asy’ari telah mengeluarkan Resolusi Jihad. Beliau telah memberi komando agar umat Islam dan santri berjihad mempertahankan NKRI,” kata Kiai Said tentang isi dokumen yang baru dibacanya.

“Segera hubungi pasukan santri lainnya. Kita berangkat besok malam bersama Laskar Hizbullah,” perintah Kiai Said kepada santri-santrinya.

Penulis: Mansur Jamhuri, Mengajar di MTs KHAS Pondok Pesantren Kempek – Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here