Pluralitas Agama di Indonesia dalam Perspektif Islam

0
465

KHASKEMPEK.COM – Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang mengetahui”. (QS. al-Ruum :22)

Allah menciptakan keanekaragaman yang merupakan sedikit dari tidak terbatasnya kekuasaan-Nya. Keragaman merupakan rahmat dan bangsa yang diberi keragaman memiliki potensi untuk memajukan peradaban.

Maka dari itu kita patut bersyukur lahir di negeri tercinta, Indonesia, negeri dengan keanekaragamannya yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Tapi ironisnya, keragaman yang merupakan rahmat yang Allah berikan kepada kita, malah sering dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik di Indonesia. Konflik antar kelompok ini terjadi karena masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami makna keragaman yang Allah berikan kepada kita. Bahkan dalam konteks beragama di Indonesia, masyarakat seringkali salah memahami arti pluralisme dan pluralitas. Walaupun keduanya berasal dari kata yang sama (plural) namun makna keduanya sangat berbeda. Islam hanya mengakui pluralitas agama dan melarang pluralisme agama.

Memahami pluralitas dan pluralisme agama sangatlah penting bagi masyarakat Indonesia, karena keberagamaan di Indonesia merupakan topik yang rawan menyebabkan perpecahan apabila tidak ditangani dengan baik.

Pluralisme dan Pluralitas memiliki akar kata yang sama,yaitu “plural” yang memiliki arti jamak, lebih dari satu. Setelah kedua kata tersebut mendapat imbuhan di akhir kata, maknanya menjadi berbeda.

Pluralisme mendapat imbuhan kata “isme” yang memiliki arti pemahaman. Pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman, tetapi dalam konteks pluralisme agama, ada yang mengakui kebenaran keyakinan agama lain, setidaknya menurut pandangan pengikutnya. Memang dalam konteks kekinian makna pluralisme memiliki pengertian yang berbeda-beda tergantung perspektifnya.

Sedangkan pluralitas, memiliki tambahan “itas” yang memiliki arti kondisi. Maka pluralitas mengacu pada kondisi/ kenyataan bahwa manusia memiliki berbagai macam pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Kondisi pluralitas hanya sebatas pada fakta adanya keberagaman, tidak sampai mengakui kebenaran keyakinan lain(dalam konteks beragama).

Pluralitas Agama Di Indonesia

Indonesia memiliki 6 agama resmi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia merupakan Muslim, namun nilai-nilai toleransi antar agama telah mengakar pada jatidiri bangsa Indonesia.

Hal ini bisa dibuktikan pada Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Seperti kita ketahui sebelum diubah, sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kemudian setelah mendapat tanggapan keberatan dari warga negara Indonesia non-muslim, akhirnya Drs. Dr. Moh. Hatta berdiskusi dengan tokoh nasional lainnya, termasuk tokoh-tokoh agama, seperti Ki Bagus Hadikoesoemo dan K.H Wahid Hasyim.

Diskusi tersebut melahirkan keputusan mengganti sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang akhirnya pergantian sila pertama diresmikan pada sidang PPKI 18Agustus 1945. Keputusan mengganti sila pertama ini merupakan cerminan dari kebesaran nilai toleransi antar agama di Indonesia.

Namun, makna dari peristiwa pergantian sila pertama ini terkadang dipahami salah kaprah oleh golongan pluralisme di Indonesia. Mereka terinpirasi dari tindakan foundingfather kita, sehingga mengambil kesimpulan seenaknya, mengakui kebenaran keyakinan agama lain di Indonesia. Dan Q.S Al-Baqoroh : 256, Allah berfirman “Tidak ada paksaan dalam agama”. Mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama berarti pengakuan agama lain.

Pemahaman demikian bukanlah pemahaman yang benar. Untuk lebih memahami makna tidak ada paksaan ini satu ayat penuh harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat tersebut adalah, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Jika ayat ini dibaca dengan tuntas maka akan jelas, tidak ada paksaan karena telah jelas yang benar dan yang salah, islam itulah yang benar dan yang lainnya adalah salah. Masing-masing bebas memilih dengan resiko sendiri-sendiri. Adapun kaum pluralis dalam memaksakan pemahamannya tak jarang memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah benar padahal tidak benar.Jadi Pluralisme agama yaitu yang mengakui kebenaran masing-masing pemahaman itu salah dalam pandangan syari’at Islam.

Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan. Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga”.

Dalam menghadapi masyarakat plural, bisa mengambil teladan dari Nabi Muhammmad SAW dalam membina persaudaraan antara sesama umat manusia atau ukhuwah insaniah saat mengaturi kota Madinah, yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Nabi membuat perjanjian dengan berbagai kalangan yang disebut Konstitusi Madinah. Masyarakat Madinah yang terdiri dari kaum muslimin, yang merupakan gabungan antara kaum Muhajir dan kaum Anshar, masyarakat Yahudi yang terdiri dari berbagai suku, kaum Nasrani dan masyarakat Madinah yang masih musyrik, mereka sepakat menyutujui Konstitusi Madinah yang didalamnya tidak terdapat kata-kata Islam, meskipun paiagam ini dicetus oleh Nabi Muhammad SAW. Piagam Mdinah terdiri 47 Pasal. Di antaranya mengatur mengenai persaudaraan seagama, persaudaraan sesama umat manusia, pertahanan bersama, perlindungan terhadap minoritas, pembentukan umat dan sebagainya.

Maka peristiwa pergantian sila pertama Indonesia disetujui oleh tokoh-tokoh Islam karena mereka menyadari tentang pluralitas agama dan meneladani siap Nabi Muhammad Saw dalam meghadapi masyarakat plural. Jadi para tokoh Islam ini tetap memiliki keyakinan adanya keragaman agama namun Islam adalah satu-satunya agama yang haq, sehingga menyetujui penghapusan kata syari’at Islam dari sila pertama. Karena di Indonesia, saudara kita yang bukan satu iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.

Keanekaragaman merupakan potensi, apabila dikelola dengan baik akan menghasilkan rahmat, sebaliknya apabila tidak dikelola dengan baik akan timbul konflik. Karena itu kita harus memahami makna dibalik keragaman yang Allah SWT berikan. . Islam hanya mengakui pluralitas agama dan melarang pluralisme agama, namun bagaimanapun keberagaman yang ada di Indonesia harus terus dijaga toleransinya. Wallahua’lam

Penulis: Alfiyah Ar-Rihlah (Barden Alfi Nurin)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here