Cerpen Santri: Part 6, Masalah Harus Diselesaikan

0
1086

KHASKEMPEK.COM – “Hasan gak salah kang,” suara yang muncul tiba-tiba dari belakangku berhasil meredam ketegangan. Kupalingkan wajahku ke belakang, begitu pun seluruh perhatian orang di ruangan ini. Alangkah terkejutnya aku, ternyata orang yang membelaku adalah Hasan. Ya, Hasanuddin yang meledekku dengan Hasan Cellular. Ah ingatan kecil soal dia berhasil membuat hatiku tertawa lucu sekalipun sedang dalam keadaan seperti ini.

“Aku bisa jelaskan semuanya kang,” jelas Hasanuddin dengan memancarkan senyum percaya dirinya.

Orang yang menyidangku hanya terdiam seribu bahasa, hingga orang di belakangnya mempersilahkan Hasanuddin untuk berbicara.

“Jadi seperti ini kang,” jelas Hasanuddin, “Saya tadi berkenalan sama Hasan sebelum jama’ah Maghrib, tapi obrolan kami terputus oleh adzan. Setelah jamaah, aku berniat melanjutkan obrolan dengannya. Tapi saat aku mengitarkan pandanganku, aku tidak melihatnya lagi di masjid, akhirnya aku berinisiatif untuk mencarinya ke asrama,” ia menjelaskan dengan sangat tenang, seakan tak ada rasa takut dalam dirinya.

“Setelah itu, saya melihat Hasan dikelilingi sekitar enam orang di dekat asrama, saya iseng menguping pembicaraan mereka, mereka bilang ingin minta maaf dengan Hasan dengan baik baik, di warung kopi. Akhirnya aku pun ikut membuntuti mereka. Aku mengamati mereka yang mengajak hasan duduk di belakang warung, hingga salah satu dari orang enam tersebut menyalakan rokok, dan meninggalkan hasan. Lalu datang panjenengan kang,” Hasanuddin menunjuk dengan jempolnya kepada orang yang tadi memergokiku. (Untuk lebih lengkap, baca Cerpen Santri, Part 4 : Pembalasan)

“Lalu siapa yang merokok?” Tanyanya dengan raut wajah bingung.

“Namanya Faruq kang, dia anak kamar 40.” Jawab Hasanuddin tenang.

“Oiya, barang bukti rokoknya dibawa tidak kang?” Tanya Hasanuddin.

Sebungkus rokok pun dikeluarkan dari saku orang yang menyidangku tadi

“Coba saya tanya, panjenengan nemu korek gak di sana? Adanya rokok doang kan, coba periksa kantongnya Hasan, pasti tidak ada. Karena koreknya, aku lihat jelas tadi, dimasukkan kembali oleh Faruq ke dalam kantongnya. Tidak mungkin kan kalau Hasan berani meminjam korek warung untuk menyalakan rokoknya? Sedangkan dia anak baru,” jelas Hasanuddin.

Suasana ruangan ini berubah hening, menyisakan suara obrolan santri-santri dari kejauhan.

“Coba panggil Faruq dan teman temannya!” Perintah orang yang menyidangku. Mendengar nama itu, hawa kemenangan mulai merasuki tubuhku. Hatiku terasa greget dengan apa yang aku hadapi sekarang.

“Sudah tenang San,” Hasanuddin menepak pundakku, aku kembali menengok ke belakang, ia tengah duduk sila di belakang tubuhku yang penuh dengan keringat dingin. Aku hanya tersenyum kaku membalasnya, baru pertama kali aku mengalami konflik serumit ini dalam hidupku.

“Jadi kamu benar-benar gak ngerokok?” tanya orang yang tadi membentak ku berulang kali.

“Aku hanya mengangguk pelan, dengan tatapan masih menunduk.”

“Kalau gitu, aku minta maaf ya. Tadi siapa namamu? Oh, iya. Hasan ya. Nama saya Naim, pokoknya saya minta maaf karena sudah salah sangka menuduh yang tidak tidak.” Kali ini nada bicaranya lebih tenang, mendekati tasa bersalah.

“Iya kang,” balasku. Aku heran sekaligus kagum, ternyata ada ya, orang yang lebih senior tanpa segan-segan meminta maaf kepada junior. tidak terpengaruh gengsi kelasnya.

aku mencoba menatap ke sekitar, suasana sudah tidak mencekam lagi, bagiku. ruangan ini sekarang hanya berisi dua orang senior, aku, dan hasan yang tadi menyelamatkanku. Pengurus keamanan lain masih mencoba mencari anak yang bernama Faruq tadi.

“Terima kasih banyak, Hasan. Banyak orang di luar sana, mereka termakan gengsi, entah karena pengalamannya, apa yang ia pahami, dan lain sebagainya. hingga lidahnya susah sekali meminta maaf kepada orang. Sekalipun ia salah. Aku gak mau sampai jadi orang seperti itu, sekali lagi saya minta maaf,” Tegas kang Naim untuk kedua kalinya. Rasanya seperti ia bisa membaca pikiranku, apa yang barusan aku pikirkan ia langsung memberi jawabannya.

“Iya kang, santai aja. gak papa.”

“Kamu tunggu di sini sampai si Faruq datang ya, biar masalahnya sekalian diselesaikan.” pinta kang Naim kepadaku, membuat rasa takutku kembali menguasai pikiranku. Aku sudah lelah berurusan dengannya sepanjang hari ini. Tapi bagaimanapun, masalah harus diselesaikan. Karena jika tidak, hanya akan menimbulkan masalah lain.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here