Cerpen Santri: Maola

0
583

KHASKEMPEK.COM – Nama aslinya Inayatul Maola, tapi satu pesantren memanggilnya Naum. Sapaan itu begitu populer, hingga menenggelamkan nama aslinya.

Pernah orang tua Maola menjenguk ke pesantren, ia minta tolong kepada santri memanggilkan anak gadisnya itu. Tapi sampai waktu yang cukup lama, santri yang disuruh belum juga menemukannya. Tiba-tiba si Maola lewat, persis dihadapan anak-anak yang diminta tolong tadi. Spontan ibunya Maola marah.

“Ini Maola anak saya! Masak kalian gak kenal?? Maola kan disini sudah lama.” Tapi kemarahan ibu setengah baya ini ditanggapi dengan senyum dan tawa kecil anak-anak santri.

“Maaf Bu, disini kami mengenalnya Naum, bukan Maola.”

Karuan saja ibunya Maola kanget. Tapi segera maklum setelah salah satu santri memberanikan diri menjelaskan alasannya.


Bukan tanpa sebab nama sekeren itu berubah menjadi Naum. Meski dibuku absen mengaji tetap tertulis nama aslinya, tapi tidak merubah panggilan semua orang terhadap dirinya. Uniknya, Maola menerima saja dan menjadi biasa setiap dipanggil Naum. Malah merasa aneh ketika ada yang memanggil dengan nama aslinya.

Tidak ada riwayat pasti kapan Maola mulai dipanggil Naum. Tapi kalau dilihat dari ‘asbabunuzul’ bisa dipastikan berawal dari kamar dimana anak asal Tegal ini berasal.

Maola yang waktu itu masih santri baru, rupanya belum terbiasa bangun pagi. Ia menjadi anak yang paling susah dibangunkan pengurus, sehingga harus dengan sedikit paksaan berupa sabetan halus dari penjalin mbak-mbak keamanan yang membuat tubuhnya terasa seperti digigit ratusan semut merah yang sedang marah.

Kalau sudah begitu, Maola baru bangun, dan langsung ke kamar mandi. Namun disana ia tidak mampu menjaga matanya tetap terjaga. Hanya beberapa menit mengantri ia sudah terlelap kembali. Sehingga selalu dilewati santri lain.

Tak heran bila setiap salat subuh ia selalu berada dibarisan paling belakang dan dipastikan sedang tertidur pulas saat santri lain sedang wiridan.

Kebiasaan jelek Maola yang satu ini ternyata terjadi juga di kelas, tempat dimana ia belajar mengaji setiap hari. Saat ustadz baru masuk, doa, kemudian absen, ia masih kelihatan normal-normal saja. Malah wajahnya terlihat ketakutan ketika ustadz mulai memanggil santri maju ke depan. Mungkin khawatir tidak bisa membaca kitab kuning dihadapan teman-temanya yang bakal berakibat dihukum berdiri di samping ustadz sepanjang jam pelajaran.

Tapi begitu ustadz mulai mengajarkan kitab, kantuk itu langsung hinggap di bola matanya. Tidak butuh lama, gadis bertubuh bongsor itu akhirnya tertidur dengan nyenyaknya. Ajibnya, begitu pengajian selesai ia langsung segar kembali dan menjadi yang pertama kali meninggalkan kelas lalu berlari ke kantin putri.

Karena kebiasaannya itu, demi menghilangkan ‘pemandangan’ yang kurang menyenangkan, teman-teman kelasnya sepakat, Maola harus dipindahkan ke barisan paling belakang. Ternyata Maola menerima keputusan itu dengan senang hati dan menganggapnya sebagai berkah dan kesempatan.

Ada kejadian lucu, saat seisi kelas sedang fokus mendengarkan penjelasan ustadz, tiba-tiba terdengar benda jatuh sangat keras. Semua kaget dan sepontan melihat kebelakang. Ternyata Maola terjatuh. Ia sedang menyeringis sambil memegangi kepalanya yang kesakitan. Rupanya Maola tertidur terlalu lelap sehingga tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Rentetan cerita itulah yang telah disepakati oleh semua pengghuni pesantren sebagai sebab kenapa Maola dipanggil Naum.


Kini, Maola sudah lima tahun berada di pesantren. Ia sudah pernah jadi sekretaris kelas, ketua asrama, bendahara pondok dan wakil ketua OSIS di sekolah formal yang ada di pesantren.

Dengan jabatan mentereng itu, ia tetap dipanggil Naum. Bedanya ada penambahan mbak didepannya, dipanggil Mbak Naum, disingkat MN. Padahal Maola sudah tidak lagi tertidur di masjid atau di kelas saat yang lainya sibuk belajar. Maola sekarang adalah anak yang rajin, disiplin dan penuh prestasi.

Ia sepertinya sudah benar-benar tidak mempersoalkan panggilan namanya. Anak bos warteg ini tahu pasti, banyak santri lain yang juga mendapatkan nama panggilan seperti dirinya. Ada Itut, panggilan beken untuk ketua asrama putri yang kini baru saja diangkat jadi ketua keamanan. Konon, ia sering kentut sembarangan tanpa melihat situasi dan kondisi.

Lalu Ayu Komalasari yang dipanggil caplin oleh teman sekelasnya hanya karena hidungnya agak mirip sama tokoh kartun film anak-anak yang sering nonggol di TV. Kemudian Nabila Putri Surya yang dipanggil PS, karena diasrama pondoknya ada tiga anak dengan nama yang sama. Orang tuanya sempat protes, karena PS merupakan permainan yang sangat dilarang di pesantren. Juga Ufi Lutfiyah yang sejak menjadi santri baru sampai boyong tetap dipangil donat, karena hobinya yang luar biasa makan donat.

Saudaranya Maola yang di pondok putra menceritakan, ada santri senior yang dipanggil Anjely, padahal nama aslinya Imam Syafii. Ia adalah kepala sarpras pondok. Menurut cerita, sarpras senior ini tidak bisa bekerja kalau tidak diiringi musik India. Penyanyi idolanya adalah Anjely, artis perempuan terkenal.

Lalu ada anak komplek Al-Maliki yang seluruh warganya memanggilnya Mas Aldebaran. Padahal nama aslinya Warto. Si anak ini memiliki wajah pas-pasan. Kabarnya ia sendiri yang meminta dipanggil dengan nama artis sinetron yang sedang sangat terkenal itu.

Juga ada kisah unik pada diri Abdul Fatah. Ia adalah santri biasa. Sepenuhnya santri. Bukan saudaranya, apalagi anak kiai. Ia hanya khodam kiai. Tapi semua memangilnya gus, Gus Fatah.

Panggilan-panggilan semacam itu sebenarnya sudah lumrah. Biasa terjadi di pesantren. Selalu ada disetiap angkatan anak santri, dan Maola tahu itu.

Namun entah mengapa, akhir-akhir ini ia mulai gelisah. Maola yang kini telah menjadi lurah pondok putri mulai memikirkan masa depannya. Karena khidmahnya kepada pesantren sebentar lagi akan purna.

Diakhir tahun nanti ia berencana kembali ke kampung halamannya. Ia mulai khawatir, bagaimana kalau di desa nanti semua orang memangil dirinya dengan Naum? Bagaimana kalau calon suaminya kelak menanyakan kenapa ia dipanggil Naum?

Ia takut dipandang buruk oleh semua orang. Naum artinya tidur. Tukang tidur sama dengan anak malas. Maola santri yang malas. Waktu mesantren kerjanya cuma tidur saja. “Oh, tidak!!! Ini tidak boleh terjadi” jerit Maola dalam hati.

“Aku harus melakukan sesuatu. Aku gak boleh diam saja dan membiarkan nama Naum melekat seumur hidup.” Ia bertekad mencegahnya. Ia harus melakukan sesuatu. Pokoknya harus! Tapi bagaimana caranya?


Tiba-tiba ada pengumuman dari kantor pusat. Semua pengurus senior diminta kumpul. Rapdak alias rapat mendadak.

“Nama itu doa. Maka jangan pernah kita memanggil orang lain seenaknya saja. Apalagi jelek artinya,” ujar Maola dihadapan pengurus.

Semua yang hadir nampak binggung. Belum bisa menangkap apa maksud perkataan lurah pondoknya itu.

“Setiap orang tua, siapapun itu, ketika akan memberikan nama anaknya, pasti melalui berbagai pertimbangan. Ada yang melalui istikharah, minta ke ulama, kiai, ustadz atau ke tokoh masyarakat di kampung.”

Maola masih membahas soal nama. Yang hadir makin tidak mengerti.

“Aku ingin, mulai sekarang, di setiap kamar, asrama juga kelas, kalian semua melarang memanggil santri dengan panggilan yang aneh-aneh. Panggilah sesuai dengan yang tertulis di absen pengajian!” Wajah Maola terlihat sangat serius sekali.

“Begitu juga nama-nama santri yang telah terlanjur dipanggil dengan nama panggilan, mulai besok wajib dipanggil dengan nama aslinya. Paham??”

Tidak ada yang menjawab. Pengurus malah mulai curiga.

“Jadi ini maksud kami semua dikumpulkan, Mbak Naum?” tanya salah satu ketua asrama memberanikan diri.

“Jangan panggil aku Naum! Aku gak mau kalian memanggilku dengan nama itu lagi!! Panggil aku Maola. Inayatul Maola!” katanya tegas.

“Lho, kenapa Mbak?” tanya ketua asrama lainnya.

“Karena aku tidak mau!!!” jawab Maola dengan nada tinggi.

Semua kaget mendengar jawaban lurah pondok meraka yang begitu keras.

“Kenapa kalian masih memanggilku Naum? Sebegitu burukah aku ini dimata kalian???”

“Kami hormat dan bangga dengan Mbak…” kata yang lain segera menjawab.

“Anda lurah kami terhebat, Mbak” yang lain lagi berusha memujinya.

“Tapi aku gak mau dipanggil Naum lagi!!”

“Kenapa, Mbak?”

“Karena aku mau boyong dan ingin segera menikah. Aku gak mau suami dan semua orang kampung memanggilku Naum.”

Semua terbelalak…

“Apakah kalian menggangap aku lurah kalian?”

“Iya…tentu saja…”

“Maka aku minta, mulai detik ini, panggil aku Maola, Inayatul Maola. Bisa kan???”

Kali ini semuanya kompak menjawab; “tidaaakkk…”

Perteman bubar. Semua pengurus kembali ke kamar. Meninggalkan hati Mbak Naum, eh Maola yang ambyar.

Lurah pondok yang terkenal periang itu terdiam lama. Di ruangan kantor pondok yang sederhana ia merenung. Memikirkan nasib namanya yang sepertinya sulit kembali ke panggilan asalnya. “Duhai sang arjuna, calon imamku yang masih dalam takdir ilahi, siapapun kamu dan apapun panggilan yang akan engkau berikan untukku, aku tak peduli.” Ia berusaha menghibur diri. Menghilangan kekalutan hatinya yang akhir-akhir ini begitu meresahkan jiwanya, dan ia berhasil.

Ia sekarang yakin. Jika sudah karena cinta, pasti segalanya akan mudah saja. Jangankan mengubah sebuah nama, merubah warna-warni langitpun kalau sudah atas nama cinta, semua orang pasti bisa. Maka Maola tidak khawatir lagi. Karena ia akan kembali hidup ditengah orang-orang yang mencintai dirinya. Orang-orang terkasih yang tulus dan menyayanginya. Ada kedua orang tuanya, saudara, orang-orang kampung yang lugu dan apa adanya. Juga calon idaman hatinya, yang masih berusaha ia temukan dalam setiap mimpi-mimpinya di penjara suci.

“Assalamualakum Mbak Naum, jenengan ditimbali ibu nyai.” Tiba-tiba terdengar panggilan dari khodam dalem ibu pengasuh.

“Nggih,“ jawabnya lirih. Tapi kali ini dengan senyum. Senyum cerah yang tak lagi memperdulikan panggilan namanya.

Penulis: MANSUR JAMHURI, Pengurus Pondok Pesantren KHAS Kempek – Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here