Cerpen Santri: Buah Jatuh Harus Jauh dari Pohonnya

0
1390

KHASKEMPEK.COM – Pukul enam pagi, aku tengah duduk di pematang sawah. Matahari belum beranjak tinggi disini, cahaya kemerahannya mulai memantulkan bayangan sebuah gunung diujung sana, dengan latar pesawahan yang luas, dan santri-santri lain yang juga tengah khusyu’ di pematang sawah, menghafalkan pelajarannya.

Sebenarnya bukan pemandangan baru bagiku, sudah sejak empat tahun terakhir, suasana indah ini hampir mengisi setiap pagiku. “Fiq, ngelamun kenapa kamu?” teriakan lantang memecahkan lamunanku, mataku teralihkan mencari sumber suara.

“Sialan kamu Zul, orang lagi resep juga,” balasku kesal. Zulfi sedang duduk sambil tersenyum kuda menggodaku, berjarak beberapa meter dari tempat menghafalku.

“Awas kesambet, lagi mikirin apa sih Fiq?” tanyanya penasaran.

“Enggak sih, Lagi keinget pas masih santri baru aja, ngeliat anak-anak ngafalin di sawah, pecinya masih miring, sarungnya kedodoran, sambil megang Juz ‘Amma,” jawabku.

“Hahaha, kamu juga pasti begitu pas masih baru Fiq.” Zulfi kembali menggodaku, kali ini senyumnya lebih lebar.

“Lah Zul, gitu-gitu juga, semangat juangnya masih seger ya.” Aku tertawa menanggapi Zulfi. “Eh, kamu nadzom udah dapet berapa Zul?”

“Masih dikit,” jawabnya dengan nada sedikit panjang. “Kalah sama kamu mah” godanya lagi.

“Sialan kamu Zul, udah ah lanjut ngafalin lagi dulu,” jawabku malas dengan godaannya.

“Eh, mau ngafalin lagi Fiq? mending pulang aja yuh, laper nih.” balas Zulfi.

“Gak ah, duluan aja,” tegasku.

“Oke,” jawabnya sambil beranjak berdiri, ia mengangkat kedua tangannya sambil ngulet, sebuah aktivitas peregangan otot yang sangat nikmat dilakukan di pagi hari.

“Eh Fiq, ada bocah nangis!” tegasnya saat melihat ke pojok belakang.

“Mana?” tanyaku sambil berusaha mencari, mataku berkeliling mengamati sekitar, hingga aku menemukan seorang anak yang menangis diujung pematang sawah. “Pasti anak baru dia nih,” batinku.

“Ono noh, samperin gih! kamu kan banyak motivasi,” jawabnya sambil menunjuk ke pojok. “Zulfi kalo ngomong suka asal ceplos, dikira aku ini mario teguh kali,” batinku.

“Yaudah yuk,” jawabku. Akupun ikut berdiri dan mulai berjalan di pematang dengan berhati-hati, karena padi masih tumbuh subur di sawah ini.

Aku sebenarnya heran, biasanya suasana santri baru itu bertepatan dengan musim kemarau dan sawah-sawah mengering, padi pun digantikan dengan tanaman kacang hijau, dan lantunan doa memohon hujan yang sangat khas. Tapi entah mengapa, sawah masih terlihat basah kali ini.

Aku dan Zulfi masih berjalan mendekati anak tadi, ia tidak sadar akan kehadiran kami sampai kami sudah teramat dekat. Matanya terbelalak melihatku. Mendadak ia berdiri dan ingin kabur. Akupun tak kalah cekatan menangkap tangan anak itu hingga ia tak dapat kabur.

“arrrgghh,” gerutunya dengan tangis yang semakin menjadi. Aku berusaha menenangkannya, namun anak ini tetap tidak mau diam.

“Nggak papa kang, kita gak ada niatan ngapa-ngapain, kamu tenang dulu aja,” jelasku. Dari bahasa tubuhnya, aku tahu ia sedang tidak mau diajak ngobrol.

“Saya mau pulang ke kamar dulu kang,” rengeknya. Aku tahu, dia asal mencari alasan agar bisa lepas dari kami.

“Gak papa kang, tenangin dulu aja. Kami cuma mau membantu, barang kali kamu ada masalah dan kita bisa kasih masukan.” Jawabku menenangkan. kali ini berhasil, anak itu tidak memberontak lagi dan tangisnya mulai mereda. mungkin karena malu dilihat kami berdua. Tapi kulihat Zulfi malah tersenyum lucu, entah karena melihat anak ini atau apa, tapi jelas senyumnya tidak tepat waktu. Akupun menyenggol pinggangnya menggunakan sikuku, memberi isyarat.

“Nyari tempat duduk duju aja yuk,” ajakku kepada anak tadi. karena memang tidak memungkinkan untuk mengobrol disini sambil berdiri.

****

Suara aliran air terdengar pelan di telinga. Aku dan Zulfi mengajak anak tadi pindah tempat ke saluran air yang terletak di pinggir sawah, dan dibelakang bangunan sekolah dasar. Pepohonan disini menjulang tinggi, daun-daunnya menutupi cahaya matahari yang menerpa wajah kami. Tempat ini benar-benar syahdu, akupun memilihnya supaya anak ini bisa menjadi lebih tenang.

Walaupun sebenarnya sama saja. Aku belum menemukan perkembangan. Lima menit aku mencoba memancingnya berbicara, hanya namanya saja yang berhasil terjawab. Aku membiarkan suasana hening sejenak, sambil tersenyum simpati kepadanya. Namanya Reza. Penampilannya khas sekali santri baru, lengkap dengan tasbih yang dikalungkan sebagai gantungan kuncinya, supaya tak hilang. Dan sarung berbahan licin dengan gulungan yang besar.

“Reza gak betah kang, pengen pulang ke rumah” rengeknya dengan terbata-bata. Tangisnya kembali meluap, tapi tidak sebesar saat awal aku menemuinya.

Aku tidak langsung menjawab, hanya mengusap-usap punggungnya, mencoba menenangkan. Sampai beberapa saat, tangisnya mulai sedikit mereda kembali, Terlihat jelas ia berusaha menahannya. Ya, mungkin ia masih malu menangis karena banyak yang bilang anak-laki-laki tidak boleh menangis, padahal jika sesekali apa salahnya? menangis bukan berarti lemah juga kan? beda halnya kalau cengeng.

“Kamu kangen orang tuamu?” tanyaku perlahan. Ia hanya membalas menangguk.

“Reza coba deh lihat pohon itu, besar bukan?” tanyaku sambil menunjuk salah satu pohon. ia hanya menatapku polos.

“Reza tahu kan, kalau pohon itu hanya berasal dari sebuah biji. andaikan biji tidak pernah mau terjatuh dan memisahkan diri dari pohonnya, apakah biji itu bisa berkembang menjadi pohon sebesar itu?” tanyaku lagi, kali ini hening. Ia masih mencoba mencerna perkataanku.

“Kangen orang tua itu wajar Reza, aku juga kangen sama ibuku, ayahku, tapi aku yakin. Kalau aku tidak berani untuk mencoba hidup mandiri di pesantren, aku tidak akan bisa berkembang.”

Mata Reza menatap kosong ke depan, entah karena sedang mencerna ucapanku atau tidak suka dengan nasihatku. Suasana hening, menyisakan suara aliran air. Zulfi pun tidak memasang ekspresi apapun.

Reza mulai menyeka air matanya, sepertinya aku mulai dapat menguasai pikirannya kali ini.

“Sedih itu wajar, Reza. biji agar bisa tumbuh sendiri juga kan harus terjatuh dulu. tapi jangan sampai terlalu larut ya. Kalau kangen sama orang tua, cukup doakan saja, supaya tetap sehat, urusannya dimudahkan, dan rezekinya barokah,” tambahku.

“Tapi kang, kalo gitu kan ada pepatah yang bilang ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,’ kenapa saya harus dipondokin jauh-jauh?” bantahnya.

“Sial, anak ini cerdas juga,” batinku. Zulfi masih fokus mendengarkan obrolan kami.

“Kalau biji tumbuh dibawah pohonnya, ia tidak akan mendapatkan banyak cahaya untuk menjadi besar, karena tertutup pohon di sekitarnya. Dan ia tidak bisa menancapkan akar dengan lebih kokoh, karena bertabrakan dengan akar pohon lainnya,” jawabku spontan. Tak tahu ide dari mana.

“Untuk menjadi besar, buah atau biji harus jatuh jauh dari pohonnya.” tegasku sambil kembali memberi senyum padanya. suasana hatiku menghangat memberi simpati penuh kepadanya untuk tetap semangat.

Suasana kembali hening, hingga Zulfi memecahkan keadaan.

“Udah ya sedihnya, kos makan udah mau buka tuh, kamu makan dulu aja ya reza,” kali ini Zulfi ternyata ikut menenangkan. Tapi aku tidak tahu apakah itu benar-benar untuk menenangkan Reza atau kode perutnya kepadaku.

Reza menyeka air matanya, “Makasih kang,” ujarnya, ia mendadak berdiri tanpa pamit meninggalkan kami.

“Semangat ya, Reza!” Seruku memberikannya semangat.

Tanpa balasan ia menghilang dibalik gedung sekolah dasar disebelah kiriku.

“Dahlah, besok kita buka acara TV Fiq, lu gantiin Mario Teguh, hahahahaha” ujar Zulfi iseng.

“Sialan,” kataku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here