Begini Geneologi Islam Nusantara yang Harus Kamu Tahu

0
818

Problem dan Definisi-Definisi

Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memunculkan istilah “Islam Nusantara” (2015), tidak sedikit yang menaggapinya secara negatif, dengan mengatakan liberal, ingin mengubah Islam, memecah belah umat, hingga tuduhan anti Arab. Suatu kritik yang bernada negatif dan lepas dari kanal ilmiah biasanya karena ketidaktahuan sekaligus fanatik yang berlebihan dari pihak yang tidak setuju.

Geneologi sendiri berarti garis keturunan; nasab; silsilah. Sedangkan Islam adalah agama yang diajarkan oleh Muhammad Saw, berpedoman Alquran melalui wahyu Allah. Dan Nusantara berarti negara-negara yang ada pada wilayah Nusantara, termasuk Indonesia. Geneologi Islam Nusantara adalah silsilah agama yang dipraktikkan oleh orang yang ada di Nusantara.

Istilah Islam Nusantara bukan aliran baru, agama baru, faham baru atau sekte baru dalam Islam yang hendak mengubah serta mempersempit ajaran Islam yang sakral dan universal. Islam Nusantara adalah cara memahami dan menjalankan Islam yang dilakukan orang yang ada di nusantara, termasuk Indonesia, sehingga menjadi sistem nilai, tradisi dan budaya Islam khas nusantara. Islam Nusantara bukan ingin mengubah ajaran Islam supaya sesuai budaya Nusantara, tapi berusaha merawat prinsip-prinsip dasarnya dan menerapkannya dalam ruang lingkup kontekstual.

Dalil Normatif Islam Indonesia

Secara historis-sosiologis, konstruksi Islam Nusantara lahir, pertama, karena berdasarkan fakta bahwa Alquran dan Hadis hanya memuat prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran Islam universal. Agar dapat diterapkan secara operasional diperlukan juklak dan juknis sesuai konteks. Sama halnya dengan hukum UUD 1945 yang bisa diterapkan setelah dijabarkan dengan UU, PP, Permen, Perda hingga AD/ART dalam organisasi. Jika untuk mengaplikasikan UUD saja perlu penjabaran, apalagi dengan kalam Tuhan?. Maka dalam konteks Indonesia, Islam Indonesia ialah Islam yang memiliki juklak-juknis yang tercermin dalam berbagai kitab ulama Indonesia.

Kedua, realitas soail dan kultural masyarat Nusantara berbeda dengan bangsa Arab. Jika Alquran turun kepada bangsa Arab, itu karena bangsa Arab berbahasa Arab. Jika masyarakat Nusantara dengan beragam bahasanya maka diperlukan perangkat untuk memahaminya dengan mudah. Maka para ulama Indonesia berusaha menerjemahkan ajaran Islam dalam bahasa kebudayaan orang Indonesia. Dan lagi, untuk menghindari kesalahan pemahaman maka diperlukan pemikiran ahli Indonesia. Selain dua itu, Islam Nusantara hadir sebagai ikhtiyar atas realitas sosial masyarakat dunia Islam yang terus konflik, seperti Yaman, Irak, Syiria, Sudan dan lainnya.

Metode Pemikiran Islam Nusantara

Agar mempermudah dalam mengajarkan dan menjalankan ajaran Islam pada dan oleh masyarakat Nusantara, diperlukan suatu metode khas Nusantara, dan itu telah dilakukan oleh para ulama Indonesia. Pertama, metode kultural, yaitu menjadikan kebudayaan dan tradisi sebagai sarana mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti Wayang yang dimasukan ajaran tauhid dan tasawuf; tembang lir-ilir tentang ajaran rukun Islam; kidung Rumekso sebagai ajaran bangun malam shalat munajat dan tradisi seperti selametan, sesajen dan nyadran sebagai pengganti ajaran non Islam, dan sebagainya.

Kedua, metode mermazhab, metode ini dimaksudkan untuk memahami ajaran Islam secara luas dengan tanpa kehilangan substansinya. Metode ini membuktikan bahwa Islam Nusantara tidak lepas dari sumber Islam Alquran dan Hadis. Metode bermazhab dimaksudkan agar tidak memahami Alquran atau Hadis secara langsung sebab akan menimbulkan kekacauan. Sebagaimana misalnya seseorang yang baru membaca buku kedokteran akan melakukan praktek/membuka klinik kesehatan. Selain itu metode ini sebagai bukti bahwa Islam Nusantara ber-geneologi dan bersanad hingga Allah Swt.

Karakter Islam Nusantara

Pertama, sanad yang mutawatir. Satu dari karakteristik Islam Nusantara adalah sanad yang bersambung. Hal itu penting untuk menjaga otentisitas ajaran dan konsistensi pemikiran. Dalam tulisan Ahmad Baso, berikut silsilah Islam Indonesia: Ulama-Ulama Nusantara-Yasin Al-Fadani-Hasan bin Said-Ali Al-Maliki-Bakri Syatha-Zaini Dahlan-Usman bin Hasan-Abdullah bin Hijazi-Syamsuddin bin Muhammad 2-Syamsuddin bin Muhammad 1-Salim bin Muhammad-Najmuddin Muhammad-Zakarya bin Muhammad-Ahmad bin Ali-Shalah Muhammad-Abu Al-Hasan-Abu Al-Makarim-Ali bin Ahmad-Nuaim-Al-Abbas-Ar-Rabi-Imam Syafii-Imam Malik-Abu Hanifah-Hammad bin Abi-An-Nakhai-Alqamah-Abdullah bin Masud-Muhammad-Jibril-Allah Swt.

Kedua, lebih mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan daripada tuntutan formal dan simbolik. Tapi simbol itu tetapi didudukkan secara proporsional. Dengan begitu agama tidak menjadi beban yang membelenggu pemeluknya, tapi memecahkan masalah yang benar-benar dirasakan secara nyata, sebagaimana kisah Kyai Chudori di Tegalrejo yang lebih mengarahkan membeli Gamelan daripada membangun Masjid karena alasan kemaslahatan.

Ketiga, bersifat non-kooperatif, tetapi tidak frontal, radikal, atau tegas tapi tidak kaku. Para ulama Nusantara menjaga hal-hal prinsipil yang tak bisa dikompromikan. Sikap ini misalnya ketika ulama Nusantara sepakat bahwa selagi pemerintah Belanda tidak melarang ibadah maka wajib membela Negara Hindia Belanda. Dan keempat, menjaga dan merawat keberagaman dengan sikap saling mengerti dan menghormati yang berbeda. Sikap ini tercermin dengan penerimaan Pancasila sebagai aplikasi nilai-nilai Islam dalam ideologi negara.

Kesimpulan

Islam Nusantara merupakan produk sejarah dan relasi sosial yang cukup panjang antara ajaran Islam dengan konstruksi budaya masyarakat Nusantara, yang kemudian melahirkan pola pikir, tradisi dan perilaku keislaman ala Nusantara. Islam Nusantara berlandaskan Alquran, Hadis dan relitas sosial. Islam Nusantara bukanlah ajaran yang hendak merusak atau mengotori akidah Islam, hal itu dikaitkan dengan kehati-hatian dalam menafsirkan sumber Islam. Islam Nusantara memberi ruang kreasi budaya, tradisi, yang tidak bertentangan dengan Islam sebagai saran untuk menjelaskan Islam pada masyarakat sehingga ajarannya dapat diterima dengan suka cita. (KHASMedia)

Kedua, lebih mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan daripada tuntutan formal dan simbolik. Tapi simbol itu tetapi didudukkan secara proporsional. Dengan begitu agama tidak menjadi beban yang membelenggu pemeluknya, tapi memecahkan masalah yang benar-benar dirasakan secara nyata, sebagaimana kisah Kyai Chudori di Tegalrejo yang lebih mengarahkan membeli Gamelan daripada membangun Masjid karena alasan kemaslahatan.

Ketiga, bersifat non-kooperatif, tetapi tidak frontal, radikal, atau tegas tapi tidak kaku. Para ulama Nusantara menjaga hal-hal prinsipil yang tak bisa dikompromikan. Sikap ini misalnya ketika ulama Nusantara sepakat bahwa selagi pemerintah Belanda tidak melarang ibadah maka wajib membela Negara Hindia Belanda. Dan keempat, menjaga dan merawat keberagaman dengan sikap saling mengerti dan menghormati yang berbeda. Sikap ini tercermin dengan penerimaan Pancasila sebagai aplikasi nilai-nilai Islam dalam ideologi negara.

Kesimpulan

Islam Nusantara merupakan produk sejarah dan relasi sosial yang cukup panjang antara ajaran Islam dengan konstruksi budaya masyarakat Nusantara, yang kemudian melahirkan pola pikir, tradisi dan perilaku keislaman ala Nusantara. Islam Nusantara berlandaskan Alquran, Hadis dan relitas sosial. Islam Nusantara bukanlah ajaran yang hendak merusak atau mengotori akidah Islam, hal itu dikaitkan dengan kehati-hatian dalam menafsirkan sumber Islam. Islam Nusantara memberi ruang kreasi budaya, tradisi, yang tidak bertentangan dengan Islam sebagai saran untuk menjelaskan Islam pada masyarakat sehingga ajarannya dapat diterima dengan suka cita. (KHASMedia)

Baca juga: Kiai Said Aqil: Mbah Moen Satu Orang, Tapi Seperti Satu Umat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here