Tradisi Lokal Pesantren (4): Pemeriksaan Kitab (Taftisy Al-Kutub)

0
765

KHASKEMPEK.COM – Lembaga Pesantren sejak dahulu adalah lembaga yang memiliki wilayah otonom tersendiri. Hal tersebut memungkinkan setiap Pesantren memaksimalkan peraturan untuk mengatur dan menertibkan santrinya. Dalam hal ini termasuk perihal kurikulum pelajaran yang ditampung di dalamnya, Pesantren berhak dan bebas menentukan kurikulum, syarat dan ketentuan bagaimana seorang santri layak naik ke kelas pengajian berikutnya atau bahkan lulus atau tidaknya seorang santri.

Salah satunya dalam permasalahan makna kitab yang diampu. Tiap Pesantren memiliki perbedaan dalam kewenangan boleh tidaknya makna kitab seorang santri kosong. Termasuk di dalamnya Kempek dan Lirboyoyang mungkin salah satu yang sangat memerhatikan agar kitab santri penuh sesak dengan makna dan catatan.

Oleh karenanya, ketika di Kempek dulu (dan sampai sekarang) setiap akan diadakan ujian Pondok akan diadakan terlebih dahulu “taftisy al-kutub”, pemeriksaan makna kitab. Tradisi fundamental yang menjadikan santri dituntut untuk disiplin dalam mencatat pelajaran yang diajarkan dalam Pesantren.

Yang Unik Pada Saat Pemeriksaan Makna Kitab Santri

Tradisi “Taftisy al-Kutub”, pemeriksaan makna kitab santri selalu berjalan unik dan menarik. Ada saja hal-hal yang kemudian menjadikannya lucu dan kocak. Baik dari “mufattisy”, pemeriksa kitab maupun dari sisi santri yang diperiksa kitabnya. Kebetulan di Kempek dahulu, saya pernah merasakan menjadi keduanya.

Hal-hal yang unik itu pastinya menjadi cerita tersendiri bagi kami, santri yang sudah boyongan dari Pondok terdahulu. Diantaranya yang saya ingat di Kempek dahulu (entah di Pondok lain yang memiliki peraturan yang sama), ketika menjelang satu atau dua hari sebelum diadakannya pemeriksaan. Pemandangan santri yang berada di Pondok akan terlihat sangat kontras dibanding sebelumnya. Pada waktu tersebut santri-santri akan sibuk dengan pena dan kitabnya serta mencari teman yang bisa membantu untuk melengkapi makna kitabnya yang bolong.

Coba bayangkan saja, santri yang kebanyakan makna kitabnya bolong baik karena kebanyakan izin atau memang malas menulis, hal apa yang akan mereka lakukan agar makna kitabnya lengkap dalam beberapa hari.

Kemudian kekocakan dari sisi “mufattisy”,  pemeriksa makna kitab santri juga memiliki kekocakan dan kelucuan tersendiri. Sama seperti halnya keumuman perseorangan, ada saja mufattisy yang usil serta iseng kepada santrinya.

Diantara keisengan tersebut biasanya terjadi pada pemeriksa makna santri baru. Biasanya mufattisy menakut-nakuti santri yang biasanya notabene “baru” itu dengan ketidak lengkapan kitabnya sehingga tidak akan bisa mengikuti ujian dan tidak naik kelas, atau memeriksanya secara detail dan menyuruh santri baru tersebut untuk membaca makna yang ia tuliskan. Di mana kita tahu, santri baru terkadang tidak mampu untuk membaca makna yang ia tulis sendiri, karena masih dalam tahap belajar baca-tulis tulisan arab pegon.

Terlepas dari itu semua, tradisi pemeriksaan kitab di Pesantren adalah salah satu tradisi fundamental juga yang harus dilestarikan keberadaannya.

Anjuran Menulis Bagi Penuntut Ilmu

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tradisi lokal Pesantren musti memang memiliki tendensi dalil di dalamnya. Terkait hal ini Syekh Al-Zarnuji dalam kitabnya “Ta’lim Al-Muta’allim” berkata demikian.

وينبغي أن يكون طالب العلم مستفيدا في كل وقت حتى يحصل له الفضل, وطريق الاستفادة أن يكون معه في كل وقت محبرة حتى يكتب ما يسمع من الفوائد العلمية, قيل: من حفظ فر, ومن كتب شيأ قر, وقيل العلم ما يؤخذ من أفواه الرجال, لأنهم يحفظون أحسن ما يسمعون, ويقولون أحسن ما يحفظون.

“Seyogyanya penuntut ilmu ber-istifadah (mencari ilmu) setiap waktu sehingga ia memperolej keutamaan. Dan cara istifadahnya ialah dengan ia, hendaknya selalu membawa pena sehingga ia dapat mencatat ilmu-ilmu yang ia dengar. Ada yang mengatakan: barang siapa (hanya) menghafal maka (ilmunya) akan lari, hilang dan barang siapa yang mencatat maka ilmunya akan tetap. Juga ada perkataan: ilmu itu diambil langsung dari mulut-mulut ulama, karena mereka menjaga (menghafal) yang terbaik yang mereka dengar dan mengatakan yang terbaik yang mereka jaga (hafal).”

Penjelasan Syekh Al-Zarnuji tersebut salah satunya bertendensi pada hadist riwayat yang mengisahkan perintah Nabi Saw kepada Bilal untuk tidak lupa selalu membawa pena. Mencatat segala pengetahuan yang penting untuk dicatat.

Dan masyhur saya kira, ucapan Imam Syafi’i yang mengatakan pentingnya bagi penuntut ilmu untuk mencatat ilmu yang ia dapat dari gurunya.

العلم صيد والكتابة قيده * قيد صيودك بالحبال الواثقة

فمن الحماقة أن تصيد غزالة * وتتركها بين الخلائق طالقة

“Ilmu Ibarat buruan sedang menulis adalah tali pengikatnya, maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat

Karena diantara tanda kebodohan ialah engkau berburu kijang (semisal) dan engkau biarkan ia terlepas begitu saja”.

Demikian beberapa tradisi lokal Pesantren yang saya kira menjadi keunikan tersendiri daripada lembaga pendidikan yang lain. Semoga apa yang saya tuliskan bermanfaat.

Wallahu a’lam.

Ref: Syekh Al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum, 1981, Beirut: Al-Maktab Al-Islami

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here