Tradisi Lokal Pesantren (3): Lalaran dan Nadzaman

0
1123

KHASKEMPEK.COM – Berbicara mengenai Pesantren maka tak akan lepas dengan yang namanya hafalan. Hafalan ketika di Pesantren adalah harga mati bagi seorang santri. Bahkan merupakan gengsi yang nantinya bakal dibawa sampai boyongan dari Pesantren. Bagaimana tidak, toh yang dijadikan patokan tekun tidaknya seorang santri salah satunya ya dengan melihat hafalannya itu. 

Semboyan “al-Fahmu Ba’da al-Hifdzi”, paham setelah hafal bahkan digunakan oleh sebagian Pesantren. Hafalan merupakan “mahar” yang disyaratkan bagi seorang santri pada sebagian Pesantren untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Salah satu cara santri untuk menjaga hafalannya ialah dengan melakukan “lalaran”.

Lalaran (Jawa;) merupakan kegiatan rutin mengulang hafalan santri ketika di Pesantren, baik yang dilakukan secara personal maupun kelompok yang tujuannya untuk memperkuat ingatan pelajaran yang nantinya akan disetorkan pada gurunya.

Umumnya, lalaran tersebut mencakup banyak jenis hafalan, seperti hafalan Al-Qur’an, Tashrif maupun Nadzam (syair ilmiah). Namun, biasanya lalaran yang sering dilakukan ialah berbentuk Nadzam atau disebut juga Nadzam-an. Oleh karenanya, saya kira “lalaran atau Nadzaman” ini merupakan salah satu tradisi lokal ala Pesantren yang harus dijaga eksistensinya.

Saya ingat betul bagaimana saya dan teman-teman waktu masih di Pondok dulu saling ganyangsatu sama lain ketika nadzam-an bersama. Dengan lantunan irama yang tertata rapi, kami secara berkelompok melantunkan nadzam-an secara bersamaan, semangat, kompak dan serempak. Itulah memang, salah satu pemandangan yang dapat kita jumpai di lingkungan Pesantren.

Semboyan Al-Fahmu Ba’da Al-Hifdzi Dan Mahar Hafalan Pesantren

Setiap santri yang menginjakkan kakinya di Pesantren pastilah memiliki targetnya masing-masing. Tergantung tujuan dan niat awal mereka ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Pesantren. Namun, meski demikian, proses yang dilalui setiap santri selama di Pondok Pesantren tetap mengikuti aturan yang berlaku. Termasuk di dalamnya peraturan terkait pra-syarat naik kelas kajian. Salah satu syarat yang diberikan Pondok untuk naik ke jenjang berikutnya biasanya ya  meng-khatamkan hafalan kelas yang terdahulu.

Dulu, ketika saya me-santren diKempek pun sama. Semboyan “al-fahmu ba’da al-hifdzi”, hafal dahulu baru faham adalah khas sekali di Kempek. Setiap akan melakukan “ikhtibar”, ujian akhir di Pesantren (kalau di lembaga formal sekarang mungkin PAS, Penilaian Akhir Semester) akan diadakan dahulu setor hafalan wajib sebagai pra-syarat mengikuti ujian.

Termasuk ketika akan masuk kelas Alfiyah (nama jenjang kelas terakhir di Kempek; read) –pun disyaratkan “mahar” hafal 400 bait Nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Tradisi yang mengakar dalam Pesantren dengan segala ke-khas-annya ini menjadikannya terlihat “unik” dibanding lembaga pendidikan yang lain.

Oleh karenanya, lalaran adalah salah satu kunci serta solusi menguatkan hafalan bagi santri. Selain itu, waktu lalaran juga sebenarnya merupakan ajang adu gengsi antar santri untuk membuktikan hafalan siapa yang paling banyak ataupun lancar. Sehingga hal tersebut akan memotivasi setiap santri untuk meningkatkan hafalan.

Anjuran Menghafal Bagi Santri

Secara eksplisit, menghafal ilmu sangat dianjurkan bagi penuntut ilmu. Banyak dalil yang bisa dijadikan legitimasi -“sunnah”-nya menghafal. Kita tahu dalam muqaddimah kitab hadist Al-Arba’in An-Nawawiyah, Syekh Syarif ad-Din An-Nawawi menyebutkan beberapa riwayat yang menganjurkan untuk menghafal hadist. Di mana salah satu matan hadist-nya berbunyi demikian:

أن رسول الله ص.م قال: “من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء…

Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa dari umatku menghafal 40 hadist yang termasuk persoalan agamanya maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat di dalam golongan para fakih dan ulama”…

Meski Syekh Syarif Nawawi menyebutkan bahwa hadist tersebut dhaif, akan tetapi menjadikannya sebagai fadhail al-a’mal dan tendensi keutamaan menghafal adalah keniscayaan dengan beberapa alasan.

Pertama, isi kandungan 40 hadist tersebut juga merupakan pengetahuan yang memuat persoalan agama. Maka menghafal nadzaman semisal, sama halnya dengan menghafal hadist dalam segi substansi, berupa sama-sama bernilai pengetahuan.

Kedua, banyak terbukti bahwa prosentase paham santri yang telah hafal seumpama nadzam semisal, lebih tinggi dibanding mereka yang belum hafal. Mereka yang belum hafal nadzam yang akan dipelajari biasanya akan kesulitan memahami isinya.

Ketiga, kebiasaan dalam menghafal dapat meningkatkan daya ingat seseorang. Kita tahu, ulama-ulama kita seperti Imam Syafi’i semisal, memiliki daya ingat  yang luar biasa dan kita tahu sejak kecil Imam Syafi’i telah terlatih menghafal sehingga memiliki daya hafal yang luar biasa, salah satunya Imam Syafi’i kecil  menghafal kitab hadist Al-Muwatha milik Imam Malik sebelum berguru kepadanya.

Itulah mungkin beberapa pertimbangan  dianjurkannya hafalan bagi seorang santri. Hafalan juga merupakan salah satu usaha bagi santri untuk cepat memahami isi pelajarannya. Dan salah satu cara menjaganya ialah dengan cara “lalaran”.

Wallahu a’lam

Ref: Syekh Syaraf ad-Din An-Nawawi,  Al-Arba’in An-Nawawi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here