Pondok Pesantren KHAS Kempek, Sang Penjaga Budaya Kitab Kuning

0
1380

KHASKEMPEK.COM – Pondok Pesantren KHAS Kempek merupakan salah satu sekolah pendidikan Islam di Cirebon, Jawa Barat. KHAS yang merupakan singkatan dari Kiai Haji Aqil Siroj ini didirikan pada tahun 1960 dan sebelumnya memiliki induk, yaitu pesantren Kempek Kuno yang didirikan pada 1908.

Pengasuh Pondok Pesantren Kempek, K.H. Musthofa Aqiel Siroj, menerangkan bahwa pesantren Kempek itu terkenal dengan pesantren yang kata orang, tradisional, primitif, ortodok, dan kuno. Hal ini dikarenakan pesantren Kempek itu memang menutup daripada informasi dari luar, dan baru beberapa tahun lalu terbuka untuk umum.

“Mula-mula Kempek itu hanya ngaji kitab saja. Yang ditekankan adalah satu, gramatikal bahasa Arab yaitu Nahwu-Shorof. Kedua, fikih. Ketiga adalah Al Qur’an bacaan yang benar, dan keempat adalah tasawuf dan akidah. Setelah ada program wajib belajar 9 tahun, baru di sini terbuka sekolah tsanawiyah terbuka, lalu pesantren terbuka menjadi tsanawiyah reguler lalu berkembang menjadi ada aliyah dan ada SMP,” terangnya.

Di sisi lain, oleh Gus Muhammad yang juga merupakan pengasuh ponpes, menjelaskan bahwa progam Qur’an di Kempek itu titik beratnya adalah menekankan bacaan Al Qur’an, mengeluarkan huruf-huruf Al Qur’an sesuai dengan makhroj dan sifatnya. Semua santri berkewajiban, pertama membaca Al Qur’an dengan fasih dan benar. Setelah membaca Al Qur’an dengan fasih dan benar langkah keduanya baru memahami Al Qur’an. Dalam memahami Al Qur’an ini tentu tidak mudah, sehingga juga diperlukan kajian tafsir dan pemahaman terhadap kitab-kitab yang semuanya menggunakan bahasa arab.

“Sekarang banyak orang berani menafsirkan Al Qur’an tapi membaca saja belum benar. Nah oleh karena itu kami menekankan santri kempek harus paham Nahwu-Shorof sebagai alat untuk bisa memahami kitab-kitab yang menjadi kajian untuk memahami Al Qur’an,” jelasnya.

Menurut beliau, gramatikal bahasa Arab adalah salah satu unsur penting untuk bisa membaca kitab-kitab, kitab fikih, kitab tafsir, ushul fiqh, dan yang lainnya. “Dan insyaAllah kalau sudah standarnya Kempek sudah diambil, dia khatam Al Qur’an, dia khatam alfiyah, kemudian melanjutkan ke jenjang yang lebih luas, insyaAllah anak-anak kita sudah siap pakai di masyarakat,” pungkasnya.

Muhammad Bahrul Ulum, salah seorang santri putra mengatakan bahwa kitab kuning yang Ia pelajari sangat bermanfaat untuk nanti saat sudah terjun di masyarakat. Baginya, kitab kuning merupakan salah satu referensi untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat.

“Pasti di sana bakal ditemukan banyak problematika yang menumpuk dan mau nggak mau semisal saya nggak punya referensi dari kitab kuning, apa yang akan saya jawab ke masyarakat. Ketika ada masalah insyaAllah solusinya pasti ada di kitab kuning. Entah itu referensinya ada secara jelas, entah itu kita mengkiaskan dengan sesuatu yang sudah ada, insyaAllah ada,” jelasnya.

Sementara bagi Syarif H, yang juga merupakan santri Kempek merasakan banyak kesan yang Ia dapatkan selama belajar di pondok pesantren tersebut. Menurutnya, pesantren bukan hanya tempat untuk belajar tentang akhirat atau mukrowi saja, semisal ini tafsir, ilmu nahwu dan shorof.

“Pernah dikaji soal oleh ustadz saya, tulisannya rajala empat kali, rajala, rajala, rajala, rajala. Suruh diharakatin. Bagaimana kiranya itu bisa menunjukkan sebuah makna yang pas. Nah sampai akhirnya dikasih tau sama ustadznya, nggak taunya harakatnya itu rajala rajulun rijla rajulin. Rajala nendang sapa rajulun wong Lanang rijla rajulin ing sikile wong lanang (seorang laki-laki menendang kaki laki-laki yang lain). Lafadznya sama rajala semua tapi dengan harakat yang beda bahasa Arab bisa bikin makna yang berbeda,” jelasnya.

Namun lebih dari itu, bagi Syarif, pesantren juga merupakan salah satu tempat untuk melatih diri agar bisa hidup dan bersosialisasi dengan baik.

“Kita berada di pesantren juga bukan hanya tentang membahas agama atau secara mukrowi, akhirat saja. Kita di pesantren diajarkan tentang kebersamaan diajarkan kehidupan untuk bisa saling membantu, bisa saling merangkul, bersama-sama menjaga kebersamaan itu,” tutupnya mengakhiri. (fqh)

Kontributor: Fadhilla Berliannisa
Editor: Faqih Ulwan

Sumber: Dakwah NU


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here