Iqtibas 5 Surat Al Maidah Ayat 5, Hukum Nikah Beda Agama (2)

0
461

KHASKEMPEK.COM – Sekarang bagaimana hukumnya jika calon mempelai pria non muslim sedangkan wanita dari kalangan muslim? Para ulama dalam hal ini hampir bersepakat bahwa pernikahan semacam itu hukumnya adalah haram. Mereka tidak membedakan apakah pria non muslimnya itu penganut agama Yahudi, Nasrani, atau penganut agama-agama lain, apakah memiliki kitab suci ataupun tidak memiliki; sepanjang ia non muslim, maka terlarang baginya menikahi wanita muslim dan apabila terjadi, pernikahannya pun tidak sah.

Mereka mengunakan argumentasi untuk mendukung pendapat mereka, salah satunya adalah dengan mengunakan ayat kelima surat al Ma’idah ini. Ketika membicarakan tentang makanan atau sembelihan Ahlul Kitab, ayat ini secara jelas menyatakan hukum resiprocal atau timbal balik. Artinya makanan mereka halal bagi kita, begitu juga sebaliknya makanan kita halal bagi mereka.

Berbeda ketika menjelaskan hukum menikahi wanita Ahlul Kitab, ayat ini hanya menjelaskan hukum satu arah saja di mana wanita-wanita ahlul Kitab halal bagi orang-orang mukmin, akan tetapi tidak ada penjelasan sebaliknya. Kalau pria ahlul kitab menikahi wanita mukmin diperbolehkan tentunya ayat ini akan menjelaskannya sebagaimana hukum sembelihan Ahlul Kitab sebelumnya. Kenyataannya dalam ayat ini tidak ada penjelasan. Ini tidak lain, secara mafhum mukholafah, menunjukkan bahwa hukum pria Ahlul Kitab menikahi wanita-wanita mukmin adalah tidak boleh.

Baru-baru ini memang ada suara-suara, terutama dari aktivis gender dan pemikir-pemikir kontemporer yang mencoba melakukan peninjauan ulang tentang hukum nikah beda agama antara pria non-muslim dan wanita muslim. Pertanyaan mereka kenapa kalau pria muslim boleh mengawini wanita non muslim, sedangkan sebaliknya pria non muslim tidak boleh menikahi wanita muslim? Bukankah ini bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan?

Kalau misalnya alasannya karena suami cenderung lebih dominan dalam sebuah hubungan berumahtangga, sehingga dikawatirkan suami yang non muslim dapat mengendalikan istrinya yang muslim, maka bukankah sebuah keluarga harus dilandasi prinsip kesetaraan di mana tidak ada salah satu yang lebih kuasa dari pada yang lain? Kalau misalnya karena kawatir nanti anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti agama suami, bukankah terbuka juga kemungkinannya mereka akan mengikuti agama istri? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tujuannya mempertanyakan ulang perbedaan hukum antara pria muslim menikahi wanita non muslim dan pria non muslim menikahi wanita muslim.

Ini memang pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan jawaban yang sederhana saja. Harus ada tinjauan dan riset yang bersifat holistik, tidak hanya berkaitan dengan ajaran-ajaran yang sudah baku dan telah disepakati ulama, akan tetapi harus melibatkan juga prespektip sosiologis dan antropologis untuk menentukan mashlahat dan mudarat perkawinan beda agama ini, serta sejauh mana keberhasilan pasangan beda agama dalam membina keluarga yang harmonis, baik antara meraka sendiri atau berkaitan dengan anak-anak mereka.

Di Indonesia sendiri, bila melihat regulasi dan perundang-undangan, hususnya Undang-undang pernikahan tahun 1974 dan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014, pernikahan beda agama merupakan sesuatu yang masih terlarang, meski pada tataran praktisnya pernikahan semacam ini masih terjadi juga terutama di kalangan para artis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here