Ini Perbedaan al-Hamd, al-Syukr, dan al-Madah Menurut Imam Arrazi

0
357

KHASKEMPEK.COM – Dalam keseharian kita sering mendengar kata al-Hamdal-Syukr, dan al-Madah. Tiga kata tersebut sebetulnya memiliki konotasi makna yang sama, yaitu sebuah ungkapan untuk menyatakan pujian atas sesuatu yang terjadi. Al-Hamd memiliki akar kata Hamida Yahmadu Hamdan yang memiliki makna pujian atau sanjungan, al-Madh juga memiliki akar kata Madaha Yamdahu Madhan dengan makna yang sama, memuji atau menyanjung, serta yang ketiga al-Syukr memiliki akar kata Syakara-Yasykuru-Syukron yang memiliki makna berterima kasih.

Kata yang ketiga ini merupakan pengembangan dari dua kata sebelumnya karena masih memiliki konotasi makna yang berdekatan, ucapan terima kasih kepada seseorang merupakan ungkapan lain dari pujian atas kebaikan yang telah dia lakukan.

Berkaitan dengan tiga perbedaan kata ini, Imam Arrazi ketika menafsirkan ayat kedua dari surat al-Fatihah, “al-Hamdulillah Rabbil Alamin”, ia langsung memancing para pembaca dengan sebuah pertanyaan, mengapa Al-Qur’an menggunakan kata al-Hamdulillah, bukan al-Madhu lillah atau al-Syukru Lillah. Pancingan yang dilontarkan Imam Arrazi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib memberikan sinyal bahwa adanya kesamaan dan perbedaan dari tiga lafal tersebut.

Menurut Imam Arrazi, lafal Al-Madhu lebih umum maknanya dari lafal al-Hamdu dengan beberapa argumen yang ia lontarkan. Pertama, al-Madhu merupakan pujian yang diperuntukkan untuk setiap benda mati dan benda hidup, seperti ketika kita memuji keindahan mutiara atau permata, maka yang digunakan adalah al-Madhu, bukan al-Hamdu karena permata adalah benda mati, sedangkan al-Hamdu adalah pujian yang hanya diperuntukkan untuk sesuatu yang memiliki nyawa atau benda hidup.

Kedua, lafal al-Madhu digunakan sebagai pujian untuk kebaikan yang sudah dilakukan ataupun belum dilakukan, seperti seseorang yang memuji atasannya sebelum atau setelah dia diberi penghargaan, sedangkan al-Hamdu diperuntukkan untuk ungkapan kebaikan atas kebaikan yang telah dilakukan.

Ketiga, lafal al-Madhu digunakan untuk mengungkapkan pujian atas kebaikan yang bersifat tertentu, seperti kita memuji kedermawanan, kepintaran atau kesuksesan seseorang, sedangkan al-Hamdu diperuntukkan untuk mengungkapkan pujian atas kelebihan tertentu berupa pemberian nikmat dan kebaikan-kebaikan.

Adapun perbedaan lafal al-Hamdu dan al-Syukru, Imam Arrazi mengungkapkan bahwa lafal al-Syukru adalah ungkapan yang diucapkan seseorang atas nikmat atau kebaikan yang ia dapatkan, sedangkan lafal al-Hamdu merupakan ungkapan atas nikmat atau kebaikan yang ia dan orang lain dapatkan.

Misalnya, ketika Ahmad mendapatkan pemberian sepeda motor dari atasannya, maka Ahmad menggunakan kata al-Syukru karena dia mengungkapkan rasa terima kasih atas pemberian sepeda motor kepada dirinya, berbeda dengan ungkapan al-Hamdu yang mengandung makna rasa terima kasih atas kebaikan dan nikmat yang Allah berikan untuk seluruh umat manusia, seperti ketika seseorang membantu pembangunan masjid, maka pujian yang disampaikan kepada orang tersebut menggunakan diksi al-Hamdu karena ia memberikan kebaikan bukan hanya kepada satu orang, melainkan kepada masyarakat.

Setelah mengetahui perbedaan tiga kata tersebut, Imam Arrazi menuntun pembaca untuk kembali menjawab pertanyaan di awal, mengapa menggunakan kata al-Hamdulillah, bukan al-Madhu Lillah atau al-Syukru Lillah.

Imam Arrazi mengungkapkan, karena lafal al-Madhu bermakna untuk benda mati dan benda hidup, maka jika diucapkan al-Madhu Lillah konsekuensinya adalah lafal tersebut menunjukkan bahwa Allah adalah zat yang bisa memiliki kebebasan dan bisa tidak memiliki kebebasan (fatalisme), hal ini tentu muhal bagi Allah karena Allah adalah zat yang secara mutlak memiliki kebebasan.

Sedangkan ungkapan al-Syukru Lillah mengapa tidak digunakan karena ungkapan rasa syukur tersebut merupakan ungkapan yang ia sampaikan kepada Allah atas nikmat yang Allah berikan kepadanya semata, berbeda dengan ungkapan al-Hamdulillah yang ia ucapkan sebagai pernyataan rasa syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepadanya dan kepada seluruh makhluk-Nya, serta sebagai pernyataan bahwa Allah adalah zat yang memiliki kebebasan.

Ilustrasinya adalah ketika seseorang mengungkapan kata al-Hamdulillah seakan-akan orang tersebut mengatakan bahwa sekalipun kenikmatan dan kebaikan itu jatuhnya kepada dirinya semata atau hanya kepada orang lain, maka Allah tetap sebagai zat yang berhak untuk selalu dipuji dan zat yang memiliki kebebasan untuk berbuat segalanya.

Oleh karena itu, diksi al-Hamdulillah lebih tepat digunakan untuk menyatakan pujian kepada Allah daripada diksi al-Madhu Lillah atau al-Syukru Lillah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here