Dua Putra Titisan Syaikhona KH. Aqiel Siroj (2/2)

0
631

KHASKEMPEK.COM – Bagian ini merupakan kelanjutan tulisan mengenai Kiai Musthofa Aqiel yang kedua, mengingat tidak sedikitnya aktifitas beliau baik sebagai pengasuh pesantren, juru dakwah dan spesifik keilmuannya di bidang tafsir Al-Qur’an.

Sepertinya belum banyak yang mengetahui apalagi menulis dan melakukan kajian secara ilmiah,
dan tulisan semacam ini pun jauh dari rasa ilmiah.

Penulis hanya berusaha menyajikan fakta-fakta dari sumber yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya, disamping telah lama bermu’asyarah (baca berkhidmah) dengan beliau – beliau.

Kang Muh dan Tafsirnya

Hampir dalam berbagai kesempatan, beliau mendasarkan pembicaraannya, selalu dengan Al-Qur’an, Tafsir dan didukung dengan Haditsnya. Ini sangat dipengaruhi oleh riwayat pendidikan Sang Kiai di pesantren dengan ulama-ulama kharismatik yang kelak mempengaruhi corak pengajaran tafsirnya dan juga aktifitas dakwahnya.

Berbeda dengan kakaknya, Kang Muh tidak pernah mengenyam pendidikan formal, apalagi kuliah di perguruan tinggi atau jamiah, beliau hanya mengkaji kitab kuning dari pesantren ke pesantren.

Di Mekkah hanya sekitar 3 tahun mengaji tafsir dan beberapa kitab yang konon tidak sempat diselesaikannya bersama Sayyid Muhammad Alawy Al-Maliki.

Kiai Said pernah menyampaikan, bahwa ilmu itu ibarat orang dan ember, sedikit banyaknya tergantung besar kecilnya ember yang dibawa, namun pengalaman lah yang sangat berharga, jadi pernah keluar negeri, Timur Tengah sudah cukup, demikian sebagaimana ditirukan oleh Kang Nurcholis Sholeh, pengelola situs resmi Pesantren, KHASKempek.com ketika dia mendampingi beliau dalam sebuah perjalanan.

Kang Muh sendiri pernah mengakui bahwa “isun si bli sekolah”.

Beliau yakin semua yang diperoleh hanya karena faktor barokah dari para pendahulunya, baik dari orang tua, guru-gurunya serta para mushonnif kitab yang dibacanya.

Kiai Musthofa menyampaikan bahwa, para ulama yang masyhur dalam menulis kitab selalu tawakal dan memohon petunjuk dari Allah, agar kitab yang dikarangnya bermanfaat dan berkah. Seperti Imam Al-Sonhaji pengarang Kitab Al Jurumiyah dan Imam Malik Pengarang Kitab Alfiyah.

“Imam Al-Sonhaji asal Maroko (Maghribi) negaranya Kang Nayil, ketika ingin menulis kitab Al-Jurumiyah, dilihat, dipilih tempatnya dimana, dan waktunya kapan. Ternyata dalam menulis Jurumiyah tempatnya di depan Ka’bah, pada bulan ramadlan, di malam hari. Itu semata-mata mencari berkah, makanya luar biasa.” dawuhnya.

Oleh karena itulah Al-Jurumiyah karya Imam Al-Sonhaji masih dipelajari hingga saat kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia.

Kiai Musthofa, menambahkan bahwa kitab nahwu puluhan bahkan ratusan, tapi masih lebih hebat Alfiyah, buah karya Ibnu Malik, karena keberkahannya.

“Imam Malik, semua Kyai, mengerti ilmu Alfiyah kecuali yang tidak mengerti. Ilmu nahwu itu Alfiyah, standarnya Alfiyah. Kenapa Alfiyah begitu hebat, padahal kitab nahwu itu puluhan atau bahkan ratusan, ternyata Imam Ibnu Malik itu barokahnya luar biasa. Kenapa? karena Imam Ibnu Malik setiap nulis satu bait (sahalat) dua rakaat, setiap bait sudah jelas, lalu shalat dua rakat. Nah, itulah kedudukan kitab dan kiai.

Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek tersebut, menyebutkan bahwa tempat belajar yang paling tepat itu adalah pesantren. Karena belajar di pesantren tidak hanya pintar tapi juga berkah.

“Oleh karena itu yang paling tepat adalah sekolah berbasis pesantren, bukan hanya pintar, tapi juga barokah.” (dikutip dari DakwahNU.id).

Dalam berbagai kesempatan bersama santri, Kang Muh dawuh : “Sing akeh maca Al-Qur’an, Al-Qur’an niku sing Gusti Allah, ngerti mbuh beli iku pasti mempengaruhi keilmuan dan keberkahan dalam hidup”, kalimat ini kemudian menjadi quote untuk memotivasi para santri.

Kiai Musthofa sudah lama mengaji tafsîr al-Jalâlain karya Jalâl al-Dîn al-Mahally (w. 864 H) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthy (w. 911 H) yang ditulis dengan metode ijmâly (global) yang bercorak adaby (sastra bahasa). Beliau juga rutin tiap pagi membaca kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali.

Meski sebagai muballigh beliau sering pulang larut malam, tetapi beliau terus berusaha untuk istiqomah membaca dua kitab itu dengan talaqqi bersama santri-santri Kempek.

Penulis sejak tahun 1997 sudah tertarik ikut tabarrukan mengaji kitab itu, dan terlihat banyak santri senior baik dari pondok kidul maupun pondok lor yang membanjiri halaman rumahnya.

Beliau sering mengaji pas bangun dari “ngliyep sare” sejenaknya. Sambil maaf ucek-ucek mripat, beliau memulai pengajiannya. Bahkan terkadang Kang Muh masih terlihat ngantuk dan sangat lelah.
Hampir tiap pagi sekitar jam 06.30 seperti itu.

Beliau sendiri mengakui terkadang pulang tabligh tidak tidur karena khawatir shalat Shubuhnya tertinggal. Istirahat sejenak setelah shalat dan bangun kembali untuk mengaji Ihya dan Tafsir Jalalain.

Dan itu dilakukan bertahun-tahun lamanya, sehingga beliau pernah ngendika pada penulis :
“Angel Lik…dadi muballigh kaya isun, bengi metu toli esuk-esuk bisa ngaji.”

Beliau berkali-kali mengatakan bahwa saya akan mengikuti wadhifah Mbah Moen untuk bisa istiqomah mengaji kitab Tafsir Al-Jalalain dan kitab Ihya Ulumuddin bersama santri.

Perlu diketahui bahwa Mbah Moen, sejak tahun 70an mengaji Tafsir Jalalain bersama warga masyarakat umum menggantikan ayahandanya Al-Mukarrom Mbah Zubair. Juga mengaji Ihya Ulumuddin terjadwal tiap hari bersama santri-santri Sarang, terang Mas Amud Shofy, putra pertama Kang Muh.

Cucu Mbah Moen yang sejak kecil hidup di Pesantren Sarang ini menambahkan bahwa pengajian tafsir Mbahnya itu banyak direkam dengan Type Recorder tersimpan dalam pita kaset, itu dilakukan karena memang teknologi tahun 1980an yang ada hanya itu. Sekarang kita bisa tabarrukan menyimak kembali rekaman itu karena banyak yang diunggah di Chanel YouTube.

Tafsir yang dikaji Kang Muh sangat dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikannya sebagai santri yang mengaji pada gurunya. Sehingga corak tafsirnya tak jauh dari apa yang pernah dilakukan oleh gurunya.

Beliau mengatakan bahwa “Saya itu belajar tafsir pertama kali kepada Kiai Aqil. Kemudian di Lirboyo dan mengaji tafsir di Mbah Maimoen. Saya merasa diminta Mbah Maimoen untuk membaca tafsir sebelum Subuh.”

Kang Muh melanjutkan, “sehingga dari perintah itu, saya menggarisbawahi, yang pertama Mbah Maimoen mengajak agar saya jangan sampai kesiangan subuh dan selalu membaca tafsir,” (dikutip dari KHASKempek.com, dalam acara Khataman Tafsir Jalalain di Ma’had Al-Ghadier, Senin (22/3/2021) malam)

Dalam kesempatan itu juga, beliau menyampaikan keinginannya supaya diwafatkan dalam keadaan sudah mengajarkan ilmu tafsir. Untuk itu, beliau berharap agar para santri bisa merasakan kesempatan untuk mengajar walau dengan susah payah.

Selain mengaji bersama santri, beliau juga mengaji bersama para ustadz dan kiai se-Wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan). Dan penulis pernah terlibat aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan pada setiap habis Jum’atan ini.

Bersama para kiai, ia tetap mengaji Tafsir Jalalain, namun muqobalahnya adalah Tafsîr al-Sya’râwy karya Muhammad Mutawally al-Sya’rawy (w.1998) dan al-Tafsîr al-Kabîr ; Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzi (w.606 H).

Kiai Musthofa memiliki cara tersendiri dalam menafsiri teks. Beliau membangun paradigma baru dalam mengkaji dan memahami Al-Qur’an. Dia jeli dan teliti mentelaah dari sumber-sumber klasik kitab kuning.

Memadukan kitab yang satu dengan yang lainnya untuk menemukan pemahaman baru yang lebih luas. Beliau berupaya mencari pemahaman al-Qur’an yang melahirkan sederetan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan.

Teks-teks turunan itu merupakan hasil pemahaman para ahli tafsir dari teks al-Qur’an yang merupakan teks utama (core text), yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya. Teks kedua ini lalu dikenal sebagai literatur tafsir al-Qur’an.

Kemudian beliau ramu dengan menserasikan antara tekstual dengan kontekstualnya.

Abdullah Darraz dalam al-Naba al-‘Adzîm – sebagaimana dinukil Quraish Shihab – menggambarkan : “al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”. (lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, cet.VI, (Bandung : Mizan, 1994), hal 16.)

Gagasan-gagasan Kiai Musthofa terbilang banyak, namun dalam hal mengaji tafsir, berulang kali mengungkapkan bahwa beliau hanya ta’dhiman kepada kedua gurunya.

Beliau beralasan hanya karena ingin tabarrukan ittibâ’ (mengikuti jejak dan tradisi) gurunya. Serta disana ada maziyyah (keistimewaan) dalam isi kitabnya, sehingga patut dan perlu ditransformasikan kepada jama’ah.

Suatu waktu Kiai Musthofa bincang kecil bersama beberapa orang membahas tentang “ittiba”, dikatakan bahwa gurunya KH. Maemun Zubair Sarang Rembang, dan gurunya ketika belajar di Mekkah Sayyid Muhammmad ‘Alawy al-Mâliky mengajarkan tafsir dengan menggunakan literatur tafsir tahlili.

Menurut Kang Muh, segala kebaikan terdapat pada mengikuti para pendahulu, dan segala keburukan berada pada mengikuti orang sekarang “Fakullu khair fi ittibâ’i man salaf, wa kullu syarr fi ittabâ’i man khalaf”.

Tentang keistimewaan, dikemukakannya bahwa al-Tafsîr al-Kabîr memiliki kedalaman dan keluasan pembahasan, menjelaskan titik temu antara filsafat dan wahyu, syafi’iyah sentris dengan tanpa mengabaikan madzhab fiqh lain (dalam ayat-ayat fiqh) dan pembelaannya terhadap sunni serta sangkalannya terhadap ide-ide mu’tazilah dan aliran lain yang dianggap sesat.

Sedang Tafsîr al-Sya’râwy dikarenakan analisa bahasanya yang mengagumkan dan perenungan-perenungan serta pandangan-pandangannya yang tajam, sehingga tafsir yang bercorak adaby ijtimâ’iy ini progresif untuk melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan sosial yang lebih baik.

Quraish Shihab menyatakan bahwa jika kita berkeinginan untuk memahami kandungan ayat al-Qurân secara komprehensif dalam berbagai seginya, maka jawabannya ada pada metode tahlîly, dan bila kita menghendaki untuk menuntaskan suatu topik permasalahan, maka jawabannya ada pada metode maudlû’iy .

Ia menambahkan dengan memberikan ilustrasi bahwa metode tahlîly layaknya menyajikan makanan dalam bentuk hidangan prasmanan dan metode maudlû’iy bak menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan.

Bagi yang menginginkan cepat tentu akan mengambil kotak makanan ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. (Quraish Shihab, Metode Tafsir Tidak Ada yang Terbaik, dalam Pesantren No.1/Vol.VIII/1991, hal.75).

Sehingga menurut hemat penulis, pengajian tafsir bersama santri di pesantren tiap pagi dan bersama para kiai tiap Jumat, beliau menggunakan alur ala tahlili, dengan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Namun gagasan tafsir yang digunakan dalam kesempatan dakwah dan tablighnya, beliau menyusun model tafsir maudhu’i, karena durasi ceramah lebih singkat daripada kajian rutin.

Realitas kehidupan yang demikian menjadikan terasa tidak punya waktu luang untuk mempelajari kitab-kitab tafsir yang demikian banyak dan besar-besar, sementara untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an mereka dituntut untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir tersebut.

Untuk menanggulangi persoalan itu, maka ulama tafsir pada abad modern sekarang ini menawarkan tafsir dengan metode maû’dlu’iy, dan model inilah yang disampaikan dalam ceramah-ceramah Kiai Musthofa.

Mungkin suatu saat akan ada yang kompeten untuk lebih mendalami penelitian kajian pengajaran tafsir yang diperkenalkan oleh Kiai Musthofa Aqiel dengan cara “written by reseach”, bukan dengan narasi bak dongeng seperti tulisan ringan ini he he.

Sebab menurut kajian yang dilakukan oleh DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad (Rektor IIQ Jakarta) dengan judul : “Kajian Tafsir di Pesantren” yang dimuat di Jurnal Nida al-Qurân edisi Senin 25 Mei 2009, Kiai asal Arjawinangun Cirebon ini menyoroti stagnannya pengajaran tafsir di pondok pesantren sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menggugah pengajaran tafsir yang lebih komprehensif dan mampu menjawab tantangan zaman.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Rembang, Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen Zubair, MA mengatakan, banyak Kitab Tafsir Al-Qur’an lahir dari pesantren.

Demikian beliau sampaikan dalam acara Khataman Tafsir Jalalain di Ma’had Al-Ghadier Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Senin (22/3/2021) malam.

Selain “Karya yang pertama lahir di Kesultanan Aceh, namanya Tafsir Surotul Kahfi, ada kitab namanya Turjumanul Mustafid, yang ditulis dengan huruf Arab Pegon berbahasa Melayu. Kitab ini lengkap, mulai Fatihah sampai Qul a’uudzu bi robbinnas.

Ada juga tafsir yang ditulis oleh Syeikh Sholeh Darat dan salah satu santri yang ikut mengaji adalah RA. Kartini.

Sebagaimana dikutip dari KHASKempek.com, Gus Ghofur menambahkan ; selanjutnya, ada Mbah Bisri Musthofa mengarang kitab tafsir yang diberi nama Al-Ibriz. Ada juga Mbah Misbah Bangil yang mengarang kitab namanya Al-Iklil. Kemudian Kiai Sanusi menulis kitab tafsir dengan tulisan Arab Pegon berbahasa Sunda, dari Garut, pemilik pondok Syamsul Ulum.

Jadi kiai-kiai itu, awalnya mengaji kitab Tafsir Jalalain, terus mengarang kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Kiai Musthofa sudah mengkhatamkan ngaji kitab Tafsir Jalalain tiga kali (tadi cerita kepada saya).

Putra Mbah Moen ini menganjurkan kepada santri-santri Kempek agar mulai bisa menulis pengajian tafsir gurunya dengan mengatakan bahwa “Kalian santri-santrinya, mulai sekarang kalau Kiai Musthofa mengaji harus dicatat, nanti kalau khataman sudah selesai menjadi karya Tafsir Kempek (Amin ya Robbal Alamain).

“Itulah tradisi ulama-ulama dahulu. Dan semoga tradisi ini terus berjalan sehingga tidak akan kehabisan,” harap Gus Ghofur.

Penulis pernah berdiskusi kecil bersama salah seorang alumni, almarhum Kiai Ja’far Musaddad, Kang Syafawi panggilan akrabnya, meneliti mengenai Pengajian Tafsir Kiai Musthofa untuk dijadikan Tesis dengan judul, Pembelajaran Tafsir di Majlis Ta’lim : Studi Kritik Orientasi dan Literatur Tafsir di Majlis al-Gazîr Pondok Pesantren Kempek Cirebon.

Sebelumnya sekitar tahun 2011 juga ada penelitian secara mandiri kajian yang dilakukan Atabik Luthfi (Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon) dengan judul : “Pengajaran Tafsir al-Qurân ; Studi Orientasi dan Metodologi Pengajaran Tafsir al-Qurân di Pondok Pesantren Kempek Cirebon” yang merupakan penelitian individual Lemlit.

Bagi temen-temen santri yang ingin mengkaji lebih serius, meski penulis tidak tahu betul isi dan hasil penelitiannya, secara akademis kedua riset itu mungkin bisa dijadikan pijakan.

Dan mengingat ruang seperti ini terlalu sempit, untuk melihat bagaimana beliau mengisi pengajian, ceramah atau mauidzoh hasanah yang berisi tafsir ala Kang Muh, baik berupa rekaman langsung atau tulisan, silahkan bisa mengikuti www.khaskempek.com.

Meski beliau konsentrasinya pada tafsir, tetapi sebagaimana kakaknya, beliau juga tak meninggalkan bidang ilmu lainnya, malah beliau telah mempopulerkan syair karangan Sayyid Hassan Ibnu Tsabit.

Rasulullah mengangkat Hasan Ibn Tsabit secara resmi sebagai penyair Islam. Beliau sangat bangga kepada Hasan bin Tsabit karena syair-syair yang diciptakannya mampu menangkis hinaan dan celaan orang-orang Quraisy.

Ketika orang-orang Quraisy melantunkan syair yang bernada penghinaan kepada Rasulullah maka Hasan Ibn Tsabit tampil membuat syair balasan.

Bagaikan tombak yang merobek jantung, syair Hasan Ibn Tsabit membuat orang-orang Quraisy terdiam membisu karena tak sanggup membuat syair tandingannya.

Diceritakan pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang bersedih. Kemudian beliau meminta Hassan Ibn Tsabit untuk menghibur dengan membacakan sebuah syair yang berbunyi:

قَرَأْنَا فِي الضُّحَى وَلَسَوْفَ يُعْطِيْك # فَسَــــرَّ قُـــلُوْبـَـنَا ذَاكَ العـَـطَاءُ
وَأحْــسَنُ مِنْكَ لـَمْ تـَرَ قـطُّ عَـيْنِي # وَأجْـمَلُ مِـنْكَ لَـمْ تَلِدِ النِّسَـــاءُ
حَاشَـــاكَ يَا رَسُــــوْلَ اللهِ تـَــرْضَى # وَفِـــــيْنَا مَـنْ يُعَــذَّبُ أوْ يُسَــاءُ
خُــــــلِقْتَ مُـــبَرَّءًا مِــنْ كُلِّ عَيْبٍ #
كَأنَّــكَ قَدْ خُلِـقْتَ كَــمَا تَشَـــاءُ
نـَـــــِبيٌّ هـَـــاشِــمِيٌّ أبـْـطَاحِيٌّ # شَـــمَائِلُهُ السَّـــمَاحَةُ وَالـْـوَفَاءُ

Dikutip dari dan selengkapnya bisa disimak di KHASKempek.com.


Dalam akun ini, penulis pernah menulis pesan Kiai Said pada acara Haul KH. Aqiel Siroj tahun 2019 ;
“Marilah keturunan itu kita pelihara. Pemangku pesantren, saya anaknya kiai, saya harus jadi kiai juga. Bukan hanya nasab (keturunan) tapi juga hasab (prestasi).

Kita pun membangun kebesaran seperti kebesaran yang kita warisi dari kakek kita. Jangan sampai kita hanya membanggakan kakek. Kita sendiri serbet (gombal). Itu yang salah.
Kemudian beliau menyebutkan syair berikut ini :

وشر العا لمين ذوا خمولي – إذا فخرتهم ذكروا جدودا
Sejelek-jeleknya orang (adalah) yang hanya bisa mengandalkan judud; mbah saya, kakek saya, buyut saya, hebat.

وخير الناس ذو حسب قديم – أقام لنفسه حسبا جديدا
Sebaik-baik orang (adalah) yang mempunyai mbah besar, kakek besar, juga dia membangun kebesaran dirinya.

Itulah sekelumit mengenai sebagian keistimewaan para Masyayikh Kempek yang sanad keilmuannya tak diragukan, dan darah keturunannya bersambung sampai ke Syeikh Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati Cirebon.

” Mbah Aqiel….Mud…! Mungkin kalo masih ada sangat senang melihat anak-anaknya menjadi seperti sekarang ini, Mbah Aqiel sedo tahun 1990, Kang Said sendiri baru pulang 1994, kemudian menjadi Ketum PBNU 2010, Pesantren sendiri telah berkembang pesat, sampai sekarang ada Pondok Misykat…”, tutur Kiai Musthofa kepada putra sulungnya Mas Amud disaksikan oleh beberapa santri senior seminggu yang lalu.

Beliau-beliau sudah menjadi milik publik, bukan hanya sosok guru bagi santri Kempek, bak dua permata NU yang memancarkan kemilaunya ke sudut-sudut ruang tanah air Indonesia ini.

Yang menarik adalah kita melihat kakak beradik berdua ini, seakan melihat “bumi dan langit” dalam satu sisi, namun dari banyak sisi, beliau-beliau seperti “satu hamparan luas” yang tak bertepi.

Kiai Said mewakili kaum cendekiawan modern dengan pengikut para elit berpendidikan tinggi, dan Kiai Musthofa merupakan gambaran sosok ulama tradisional yang jama’ahnya banyak orang awam.

Namun, melihat kenyataan, beliau-beliau adalah tetap Kiai Kempek berdarah Gedongan, yang selalu berwibawa berani menyampaikan ilmunya dengan siapa pun, tetapi tetap bersahaja layaknya wong kampung.

Dan keduanya bisa saling bertukar peran, bolak-balik secara intelektual ; terkadang Kiai Said “mengingsor” agar mudah berinteraksi dengan khalayak ndeso dan tidak salah untuk difahami, sedangkan Kiai Musthofa sering “menduwur” karena rumitnya persoalan dan ketinggian kualitas materi ilmunya.

Sehingga berharap tidak keliru, apabila penulis menganalogikan keduanya sebagaimana yang dimaksud oleh Kiai Ulil Abshar-Abdalla dalam postingan akun efbinya.

Bagi saya, model keulamaan yang bisa wira-wiri antara “langit” dan “bumi” inilah yang cocok dan “plek” dengan sosok kenabian Kanjeng Nabi Muhammad. Kanjeng Nabi, seperti kita tahu, setelah asyik menikmati “mi’raj” dan berdekat-dekat-munajat dengan al-Haqq, beliau kembali ke bumi, ke orang-orang awam.

Inilah barangkali kenapa ulama dalam pengertian “kiai,” sebagaimana disebut dalam sebuah hadis terkenal itu, adalah “waratsat al-anbiya’,” pewaris para nabi, demikian dinukil dari tulisan Gus Ulil.

Jadi siapa saja yang mencintai ilmu dan hikmah, maka beliau-beliau bisa dijadikan sebagai objek atau subjek pengamatan sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tentu saja, tidak mudah untuk membaca, mendengarkan serta menyimak kedua tokoh ulama yang dalam hal ini bisa disebut sebagai pendakwah ilmiah yang sering keluar dari relnya sehingga bisa disebut “non-akademik” atau “di luar tradisi akademik” Barat dan Timur ini.

Selain ceramah-ceramah beliau merefleksikan pemikiran mendalam, sistematis dan kritis terhadap situasi di Indonesia bahkan masyarakat agama di dunia, beliau juga terkadang berdakwah tanpa peduli dengan karir dan popularitas, baik dari sudut pandang sosial-akademik maupun karena pertimbangan eksklusivisme bahasa dan jalan hidup mistikal kedua ulama tersebut.

Memperbincangkan kedua tokoh ini tidak akan pernah ada habisnya, penulis hanya sedikit mengumpulkan sesuatu yang berserakan sesuai topik, namun sebenarnya masih banyak hal yang tak tersentuh, liqillati bidho’aty.

Dan sebagai produk pesantren, penulis menghindari kesalahan kata, berusaha sebanyak mungkin mencantumkan dawuh kiai -dengan cara menuliskan kutipan langsung menggunakan tanda petik- tanpa merubah kalimat-kalimatnya, khawatir mengurangi barakah.

Ya sebagai sebuah tulisan, agar enak untuk dibaca, terkadang terpaksa mengilustrasikannya sesuai mafhum muwafaqoh penulis, dengan tetap menjaga orisinalitas ide.

Poro masyayikh pesantren, yang sanad keilmuannya sangat otoritatif, kita harus sama-sama bisa melestarikannya, sebab inilah tradisi kita kaum Nahdliyyien.

Di zaman algoritma seperti sekarang, penulis berharap kita bisa saling menjaga, sehingga apabila ada tulisan semacam ini kita bisa menghindari copy/paste apalagi meninggalkan penulisnya, asale ngetik kriting jentike he he…., ya dishare lah, berbagi sesuai porsinya saja wkwkw.

Oh iya tak lupa matursuwun sanget yang sudah ngelike dan membagikan, moga ada kebaikannya.

Karena ketika informasi begitu melimpah dan mudah didapatkan secara digital seperti saat ini, semakin penting bagi kita memahami perbedaan antara informasi dan pengetahuan, antara tanda dan makna, antara fakta dan opini, dan antara mengetahui dan memahami.

Sehingga tulisan riwayat seperti ini, akan menemukan relevansinya jika menyandingkan pengalaman dan perjalanan pribadi masing-masing yang lebih genuine bagi subjek ataupun objek didalamnya.

Dan yang perlu digaris bawahi dalam melihat beliau berdua, adalah kita bisa menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan hal ini bisa ditempuh dengan waktu yang tidak lama melalui mekanisme dan metodologi layaknya transfer of knowledge.

Sebagai pewaris para Nabi, bagi kita santri, muhibbin atau siapa pun yang menjadikan petunjuk agama sebagai penuntut hidup, maka para kiai bisa dijadikan sebagai uswah dan teladan hidup.

Namun yang lebih penting lagi bagi kita bahwa beliau-beliau bukanlah manusia sempurna tanpa kekurangan dan kekhilafan, baik sebagai transmitter informasi atau sebagai rolemodel.

Untuk memahami hikmah seperti ini, tentunya tak mudah serta butuh proses dan waktu yang panjang, tidak seringan hanya sekedar menjadikan beliau-beliau sebagai transmitter-informasi atau nara-sumber.

Karena hikmah sebagaimana Kiai Said ungkapkan dalam memaknai “hikmah” yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 2.

Beliau mengatakan bahwa hikmah artinya wisdom, kebijaksanaan.
Orang sepinter apapun, sealim siapapun ia harus punya wisdom, hikmah. Dan hikmah datang bukan dari kitab, tulisan, guru, atau sekolah, tetapi ia adalah cahaya ;

هو نور يقذفه الله فى قلب من يشاء

atau direct illumination, melalui khowatir. Dengan خواطر إلهية masuk pada dzauq intuitif, maka jadilah ilham, kasyaf dan makrifat.

Jikalau dari خواطر ملكية maka akan menjadi علم الحق وعلم اليقين.

Seandainya خواطر itu datang dari hawa nafsu, maka akan timbul sikap angkara murka, tamak dan rakus.

Dan apabila خواطر itu datang dari syaitan, maka akan timbul was².

Pesantren harus bisa memenej dzauq, intuisi ini agar para santri mendapatkan نور يقذفه الله فى قلب, karena lanjut Buya Said, diluar institusi pesantren tidak ada yang memiliki wisdom, hikmah.(dikutip dari Khaskempek.com)

Semoga Masyayikh Kempek dan seluruh Ulama Nusantara selalu diberi kesehatan dan barakah untuk menjaga legasi para pendahulunya agar tetap lestari.

Dan harapannya nilai-nilai semacam ini bisa menjadi amal keberkahan bagi kita, aamien.

اطال الله عمرهم فى كمال الصحة والعافية وفى كمال طاعةالله ورسول الله
وحفظهم الله من القرانى والبلايى

Semoga bermanfaat, mohon maaf dan Wallahu a’lam bisshowab.

NKT.23.07.2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here