Cerpen Santri: Bagiku Namaku, Bagimu Namamu

0
509

KHASKEMPEK.COM – Suara Keran terdengar bersahutan, beradu dengan riuh puluhan santri sedang berbaris mengantri wudhu. Matahari yang baru beranjak naik menyinari tempat wudhu masjid pesantrenku. Aku memandang langit yang terlihat cerah tanpa awan, secerah intonasi sapaan temanku setelah ini.

“Pagi Fiq!” sapa Zulfi dengan senyum lebarnya. Hobi sekali sepertinya ia menggodaku. “Tumben apa pagi ini muka lu gak keliatan bangun tidur,” ledeknnya.

“Enak aja, kemaren gua ketiduran tuh cuma sekali-kalinya yah,” tegasku dengan muka memerah. Memang sih, kemarin setelah sholat shubuh aku ketiduran. Tapi bukan berarti aku tidur pagi setiap hari! Apalagi dia bilang begitu di tempat umum seperti ini. Huh, mana banyak anak baru lagi.

“Becanda Fiq, masa gitu doang baper. Eh lu denger gak katanya ada ustadz baru yang bakal ngajar nahwu kelas kita?” tanyanya mencoba mengalihkan perhatian. Aku tahu ia malas berdebat sepagi ini.

“iya, yang katanya lulusan S3 di Maroko itu kan?” tanyaku memastikan.

“Nah iya itu, katanya killer sih, tapi gatau deh, liat nanti aja dikelas fiq. Gua duluan wudhunya yak.” Zulfi menutup percakapan ini sambil beranjak maju ke keran dan aku masih mengantri.

Selesai wudhu, aku kembali ke kamar,mengambil beberapa kitab yang akan dikaji, dan langsung menuju ke kelas. Yang sebenarnya juga di masjid tadi.
Aku dan teman-teman mengaji dengan duduk lesehan tanpa meja di serambi masjid, khas sekali dengan suasana pesantren salaf.

Aku berjalan memasuki masjid sambil menyapa beberapa temanku. Sebagian dari mereka ada yang tengah santai bercakap, ada juga yang memasang muka cemas sambil membolak balikkan halaman kitabnya, dan ada lagi anak yang hanya sedang duduk siap di depan, menatap kosong, entah apa yang dipikirkannya.

Tak lama berselang, ustadz baru yang diceritakan itu pun datang, para santri bergegas mengambil posisi duduk siap. dan membaca doa. Tidak ada kesan awal yang aneh dari ustadz ini. perawakannya besar, penampilannya rapi, bersih, wajahnya masih basah dengan air wudhu, dengan kacamata bulat modis melengkapi penampilannya.

“Baik, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,” buka beliau dijawab dengan sahutan salam dari anak-anak santri.

“Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Dzhokhar Dudayev. Mungkin nama ini terdengar asing bagi kalian, kurang lebih penulisan nama saya seperti ini.” Ia beranjak berdiri mengambil spidol dan menuliskan namanya di papan tulis. Aku sampai memiringkan kepalaku berusaha mencari cara untuk membaca namanya.

“Bagaimana cara mengejanya?” batinku. Saat dia menyebutkan namanya saja aku langsung lupa.

“Apaan ini, gua gak terima!” teman disampingku menyahut dengan suara lirih, tapi tidak menyembunyikan intonasi terkejutnya. ah ternyata lagi-lagi si Zulfi.

“Iya sih, emang namanya susah dieja,” balasku dengan nada lirih juga.

“Bukan soal itunya fiq, masa lulusan Maroko tulisannya gitu, kaya cacing kepanasan,” jelas Zulfi. Kali ini ia memasang wajah menjengkelkannya. Sial, anak ini ada-ada saja, perutku langsung tergelitik mendengarnya. Beberapa anak disekitarku juga menahan tawa, hingga mencuri rasa curiga dari ustadz ini.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanyanya, tatapannya tajam tapi tidak mengisyaratkan marah, hanya aura dingin yang terpancar dari matanya. Berhasil membekukan semua santri di dalam kelas.

“Kalian bisa panggil saya Kang Dokar. Saya tidak mau membahas panjang soal nama saya, biar nanti kalian tahu sendiri. Kita langsung mulai saja pelajarannya,” tambahnya.

Zulfi yang duduk di sampingku tampak semakin tidak kuat menahan tawanya, “Hahahaha, Kang Dokar, temennya Kang Becak sama Kang siomay dong,” tambahnya. Anak ini benar-benar tidak tau tata krama, tapi humornya benar sih. Satu sisi aku ingin tertawa, tapi di sisi lain aku dibuat penasaran oleh Kang Dokar ini.

“Anugerah Pratama?” Kang dokar tiba-tiba langsung mengabsen kami, salah satu temanku itu mengacungkan tangannya ke udara.

“Kamu panggilannya siapa?” tanyanya.

“Anu Kang,” Jawabnya. Suaranya terdengar bergetar. Temanku yang satu ini memang anaknya sedikin introvert. Setiap di kelas, ia hanya duduk di depan dengan menatap kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Apalagi dilengkapi kacamata kotak yang menghiasi wajahnya, menambah kesan tersendiri untuk anak itu.

“Anu Apa?” tegas Kang Dokar.

“Iya nama panggilan saya anu kang,” suaranya kini terdengar lebih yakin.

“Nama kamu Anu? Kok saru namanya?” tanyanya dengan nada datar. Tapi jelas ini bahan yang sangat gurih untuk ditertawai teman-teman sekelas, begitu pun aku.

Kang Dokar hanya diam dingin mendengar tawa kami. lalu ia pun melanjutkan absennya. Sesekali ia mempertanyakan nama panggilan temanku. Hingga ia sampai pada nama:

“Toto Asmuni?” Tanya Kang Dokar dengan tatapan Mencari.

“Sedang ke toilet kang,” salah satu temanku menjawab.

“Lah ini Toto bukannya merek kloset ya? pantesan di toilet.” Lagi-lagi Kang Dokar menjawab dengan nada dingin. Tapi kembali memancing tawa teman sekelas.

Zulfi sudah tak tahan lagi, tawanya pecah sambil berkata lirih. “Datar-datar suka dark jokes juga ustadz ini, hahahaha.”

Serambi masjid kembali penuh dengan tawa santri kelas kami, hingga Kang Dokar kembali mengambil fokus kami.

“Sudah-sudah, sebenarnya bercandaan saya dari tadi itu hal yang tidak pantas. Tapi ada satu hal saya ingin kalian ingat.” Kang dadan berdiri dari kursinya, memberi kesan penegasan pada ucapannya. Ia berjalan mengitari kami membuat beberapa anak yang tadi tertawa mendadak terkejut.

“Setiap penamaan seorang anak pasti memiliki alasan dan makna tersendiri dari orang tuanya. Lihat saja Anugerah Pratama, sekalipun panggilannya terdengar tanggung, tapi nama yang diberikan kepadanya itu menggambarkan kebahagiaan yang hadir dalam hati orang tuanya saat ia dilahirkan,” jelas Kang Dokar. Seluruh kelas diam, mencoba mencerna ucapannya.

“Kamu pasti anak pertama kan, Anu?” tanya Kang Dokar.

“Iya kang,” jawab Anu dengan nada sedikit gemetar. Anak seperti dia mungkin merasa tidak nyaman ketika ia menjadi sorotan publik.

“Namamu cukup menggambarkan itu semua, apalagi namamu di absen itu urutan pertama.” Kang Dokar masih berjalan mengitari kami

“Atau seperti Toto, Nama yang singkat tapi penuh makna. Namanya melambangkan keteraturan dan kedewasaan. Karena Toto bisa berarti pembimbing atau teratur. ya, walaupun kontras dengan sikapnya yang terlambat masuk kelas hari ini.” Kali ini dia berhenti di depan dengan tangan sedekap ala pengawas ujian.

“Tapi pada intinya, nama itu doa titipan pertama orang tua, yang akan selalu digunakan sampai kita mati. Oleh karenanya, sangat lah tidak baik untuk mentertawakan nama seseorang. Coba kalau nanti nama anak kalian ditertawakan, bagaimana rasanya? Ketika kalian melecehkan nama seseorang, secara tidak langsung kalian menghina orang tuanya. terlepas dari orang itu tersinggung atau tidak,” jelas Kang Dokar. Penjelasannya berhasil membuat kami merasa bersalah telah menertawai namanya. Tapi tatapannya yang selalu datar membuat aku tidak bisa menebak apakah ia tersinggung dengan sikap kami atau tidak. Yang aku tahu hanya Zulfi yang tertunduk malu disampingku. Ah tapi sebenarnya cerita ini tidak cukup untuk menceritakan kepribadian Zulfi. Sekalipun ia iseng, tapi ia juga Cerdas, dan humornya selalu bikin kangen bercanda bersamanya. Coba saja berteman dengan dia kalau tidak percaya.

Kang Dokar kembali ke posisi duduknya. Dan datanglah suara toto, tepat di sebelah kiri posisi kelas kami.

“Assalamualaikum,” sapa Toto dengan gaya malu-malu kucing.

“Waalaikum salam, gak usah alasan, berdiri di depan kelas!” perintah Kang Dokar pada Toto, nadanya kembali membuat suasana hening.

“Mulai besok tidak ada toleransi terlambat di kelas saya ya! alasan apapun!”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here