Al-Taisir; Antara Simplifikasi Belajar Baca Kitab Kuning dan Prinsip Keberjenjangan dalam Kurikulum Tradisional Pesantren

0
751

KHASKEMPEK.COM, KEMPEK – Sabtu 14 Agustus. Setelah beberapa pekan yang lalu MTM (Madrsah Tahdzibul Mutsaqqofien) Putra PP. KHAS Kempek menggelar Demonstrasi Al-Taisir Jilid I, berganti MTM Putri PP. KHAS ikutan menggelar acara yang sama. Animo para peserta tak jauh berbeda, riuh bergiliran tepuk tangan menggema mengiringi euforia pementasan rilisan teranyar Program MTM KHAS ini. Program yang digelar mulai dari medio Juli ini menghadirkan para santri-santriwati baru mengurai susunan kalimah yang diambil dari kitab secara acak. Terlihat tak canggung mereka menerangkan kedudukan kalimah-kalimah dalam Tarkib ilmu nahwu ataupun cara baca, bunyi baca dan derivasinya. Seluruh dewan guru pun tersenyum bangga dengan keberhasilan ini.

Dari kegemilangan yang terbilang sangat menggembirakan ini, menarik jika dibincang secara komparatif dengan sistem pembelajaran yang sudah berjalan enam dekade sebelumnya, sepanjang kiprah PP. KHAS Kempek, meski dirasa terlalu prematur jika menilai program yang baru seperempat jalan ini. Namun hal yang perlu dicermati adalah jika penerapan kurikulum lawas yang mapan butuh proses bertahun-tahun untuk menguraikan kalimah-kalimah beserta posisi, hukum, cara baca bunyi baca susunan kalimah Kitab Kuning, rintisan program baru ini mampu menggenjot kemampuan baca santri-santriwati dalam hitungan bulan. Tentu ini membuat banyak pasang mata dan telinga terbelalak keheranan akan cepatnya proses pembelajaran tersebut.

Thus, dari fenomena ini ada hal yang terkadang tak terpotret secara seksama dari pemerhati Pesantren. Adalah equilibrium (keberimbangan) komposisi kurikulum tradisional pesantren yang kental dalam bangunan pemahaman yang tertuang dalam program Al-Taisir tersebut dengan polesan visual maupun dalam cara melagukannya dengan tampilan dan lagu yang mudah diindera oleh penglihatan atau pendengaran. olehkarena program tersebut tak ragu untuk menuliskannya dengan aksara Bahasa Indonesia, alih-alih harus berpakem untuk selalu menuliskan pelajaran dalam aksara pegon (Bahasa Indonesia dengan penulisan aksara Arab) layaknya prinsip yang dipegang teguh kurikulum tradisional tersebut.

Dari rentetan fenomena tersebut seyogyanya akan bertambah matang dan melekat jika Al-Taisir yang mengubah wajah metode pembelajaran kitab kuning ini dipadu-padankan dengan metode pembelajaran yang bertahan selama beberapa dekade di Pesantren Tradisional, Bahkan berabad-abad jika diselisik lebih dalam lagi, dengan landasan adagium “Al-Muhafadhah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-akhdz bi al-Jadid al-Ashlah.

Amud.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here