Santri Nglutuk Ngaji Filsafat

0
567

KHASKEMPEK.COM – Salah satu yang paling mengenang dalam bulan Ramadhan adalah pengalaman spiritual tiap-tiap orang. Meski rutinitas spiritual hampir sama; tarawih, tadarus, tetiba rajin jama’ah ke mushola, tapi, semangatnya tentu berbeda.

Kebanyakan semangat di awal. Memasuki pertengahan mulai redup. Menjelang lebaran, wallahu ‘alam; tanya hati masing-masing. Mungkin, hemat saya, ini rahasia kenapa lailatul qadar ditaruh di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Untuk tetap menjaga stabilitas ibadah hamba-bamba-Nya.

Bagi kami yang hidup di pesantren, juga memiliki suasana khas Ramadhan tersendiri. Di samping yang telah disebut di atas, kami punya tradisi tahunan Ngaji Posoan; pembacaan cepat kitab-kitab untuk dikhatamkan selama Ramadhan oleh kiai atau ustadz.

Karena yang dikejar khatam, kitabnya pun tipis-tipis. Nama-nama kitab seperti Majmu’ Tsalasa Rosa’il karya Al-Ghazali, Hujjah Aswaja karya KH Hasyim Asy’ari, Arba’in Nawawi karya Imam An-Nawawi, dan lain sebagainya, adalah sebagian dari daftar kitab tipis itu.

Meski tidak sedikit pula kiai yang membaca kitab tebal seperti Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in, Sahih Bukhari, dan lain-lain. Versi tebal untuk dikhatamkan satu bulan loh ya.

Jujur, cerita pengalaman sedikit, Ngaji Posoan adalah ngaji paling santuy di pesantren. Jika ngaji formal di bulan-bulan biasa, kami harus menghafal, wajib bisa baca, mendiskusikan. Kalau tidak, bisa dita’zir (dijatuhi hukuman). Tapi, semua itu tidak kami alami di Ngaji Posoan.

Kiai atau ustadz cukup membaca dan menjelaskan seperlunya. Kami yang santri tinggal mendengarkan. Kami hafal atau tidak, paham atau bodoh amat, tidak menjadi urusan. Karena memang tujuan Ngaji Posoan adalah tabarukan, meski beberapa pengajar juga menjelaskan secara detail agar tetap bisa dipahami oleh audiens.

Saking santuy-nya, kami bisa ngaji di tempat pojok atau di sudut mana saja, yang sekiranya tidak terlihat kiai, tapi tetap bisa mendengar dan menyimak ngaji. Alasan memilih tempat pojokan, tentu agar bisa sambil selonjoran, ngopi dan rokokan. Santuy bukan?

Semua itu saya rasakan saat dulu masih berada di Ponpes Khas Kempek Cirebon; salah satu pesantren salaf yang berada di Jawa Barat. Sekarang, setelah merantau di Jakarta untuk melanjutkan studi sebagai mahasiswa, kadang suasana itu lah yang sangat dirindukan. Selain rindu mudik ke kempung halaman yang sempat tertuda karena pandemi.

Namun, bukan berarti saya kehilangan begitu saja momen Ngaji Posoan itu. Pasalnya, sejak pandemi, kiai-kiai mulai open live streaming pengajian-pengajiannya. Termasuk Ngaji Posoan yang secara khusus diselenggarakan setiap bulan Ramadhan.

Dari sekian ngaji live yang ada, tanpa bermaksud membeda-bedakan live ngaji yang lainnya, satu yang paling saya gandrungi; adalah ngaji live-nya Gus Ulil Abshar Abdalla.

Alasannya cukup logis. Ngaji Posoan yang ditayangkan secara live oleh Gus Ulil di akun facebook personalnya, berbeda dengan live ngaji di tempat-tempat lain. Di tangan Gus Ulil, Ngaji Posoan menjadi berbeda.

Bahasa yang digunakan oleh Gus Ulil adalah bahasa nasional. Bukan bahasa lokal. Banyak live Ngaji Posoan bertebaran, tapi kurang menarik pengunjung gara-gara masih menggunakan bahasa lokal masing-masing. Ini yang menjadi live Gus Ulil bisa dikunjungi hampir 1000 viewer setiap ngajinya.

Padahal, jarang loh. Pengajian kitab klasik online dihadiri ‘santri online’ sebanyak itu. Apalagi yang dibaca bukan kitab ringan. Tapi sekalas Ihya Ulumiddin, Munqidz Minadholal, dan Misykatul Anwar. Kitab klasik untuk kalangan menengah atas. Coba saja, Ihya Ulumiddin di umumnya pesantren hanya boleh dikaji santri-santri senior.

Selain penggunaan bahasa nasional, Gus Ulil mampu membahasakan dengan bahasa yang mudah setiap teks-teks kitab yang, mungkin, bagi kebanyakan orang terlalu rumit dipahami. Tidak jarang juga istilah-istilah modern beliau keluarkan untuk mengartikan kalimat-kalimat tertentu. Ini yang baru saya temui di majelis Ngaji Posoan, dan itu di Gus Ulil.

Saya baru tahu kalau arti kata ‘Istinbath’ dalam bahasa modern adalah ‘Induktif. Saya juga baru tahu kalau arti kata ‘Istidlal’ dalam bahasa modern adalah ‘Deduktif’. Dan masih banyak lagi pemodernan sekaligus penyegaran pengartian istilah-istilah, yang padahal sudah lama saya kenal di pesantren. Itu semua sata tahu di ngaji live Gus Ulil.

Bulan puasa ini Gus Ulil membaca kitab Misykatul Anwar, salah satu kitab karya Imam Ghazali yang cukup filosofis. Jujur, baru kali ini ada Ngaji Posoan kitab filsafat. Serumit-serumitnya kitab Ngaji Posoan di pesantren, ya nggak jauh-jauh Jam’ul Jawami’. Itupun dibaca tidak terlalu mendetail. Asal lalu saja.

Jika Ngaji Posoan dulu saat di pesantren hanya berburu berkah, sekarang, di tangan dingin Gus Ulil, bukan hanya berkah yang saya cari. Tapi juga penjelasan-penjelasan segar dan mudah dicerna untuk semua kalangan; baik yang dulunya santri nglutuk seperti saya, atau orang non-pesantren pada umumnya.

Bahkan, kata Mbak Nyai Admin, peserta ngaji online ada juga yang dari non-Muslim. Sungguh luar buasa. Santri Ngaji Posoan Pak Yai Lurah Pondok keren sekali. Dari Santri Nglutuk seperti saya, sampai non-Muslim juga ada.

Terimkasih, Gus. Saya sangat menikmati sajian-sajian ngajinya selama ini. Salim ta’dzim. Izinkan santri nglutuk seperti saya ini menjadi santri online Njenengan.

BTW, sekarang saya sudah pulang kampung di Brebes. Salah satu isi ransel mudik saya adalah kitab Misykatul Anwar. Jadi aman tidak disuruh putar balik. Soalnya, dengar-dengar, ada beberapa pemudik yang sudah disuruh putar balik.

Coba saja mudik nanti pas tanggal 6 Mei. Kalau bawa Misykatul Anwar, tapi disuruh putar balik. Tambah saja kitab Ihya ‘Ulumiddin empat jilid. Kalau masih disuruh putar balik, saya nggak tanggung jawab loh ya.

Brebes, 25 April 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here