Iqtibas 4 Surat Al Maidah Ayat 5, Hukum Nikah Beda Agama (1)

0
594

KHASKEMPEK.COM – Sekarang kita masuk pada pembahasan yang masih sangat kontroversial sampai saat ini, yaitu tentang hukumnya nikah beda agama. Para ulama dalam hal ini membedakan antara pernikahan pria muslim yang menikahi wanita ahlul kitab dan pernikahan pria ahlul kitab yang menikahi wanita muslim.

Untuk yang pertama, kebanyakaan ulama berpendapat bahwa seorang pria muslim diperbolehkan menikahi wanita ahlul kitab. Mereka berpedoman dengan ayat kelima surat al Ma’idah ini yang secara jelas menyatakan halalnya menikahi wanita-wanita ahlul Kitab.

Ini juga diperkuat dengan berbagai riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat-sahabat nabi, seperti Jabir bin Abdillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash, menikahi wanita-wanita ahlul kitab.
Sebagian ulama yang lain mengharamkan secara mutlak menikahi wanita-wanita ahlul kitab karena tergolong dalam larangan menikahi wanita-wanita musyrik yang jelas-jelas diharamkan dalam QS Al Baqoroh ayat 221. “dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik meskipun dia menarik hatimu.”

Para ulama pada kelompok pertama menolak menyamakan Ahlul kitab dengan orang-orang musyrik. Menurut mereka, musyrik pada ayat di atas maksudnya adalah para paganis (kaum penyembah berhala) yang hidup di Kota Mekkah yang memang sangat memusuhi kaum beriman saat itu. Dengan demikian, larangan menikahi wanita-wanita musyrik tidak berlaku untuk wanita-wanita Ahlul kitab.

Dalam penggunaannya, al Quran memang membedakan istilah musyrik dengan ahlul kitab. Salah satu contohnya terdapat dalam Surat al Bayyinah ayat satu: “sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.” Penyebutan ahlul kitab yang dibedakan dengan orang-orang musyrik pada ayat tersebut, dan menghubungkan keduanya dengan huruf ‘athaf wawu (yang berarti ‘dan’), menunjukkan bahwa ahlul kitab adalah entitas tersendiri yang berbeda dengan orang-orang musyrik.

Argumentasi kelompok yang memperbelohkan menikahi wanita ahlul kitab terlihat lebih menyakinkan ketimbang yang mengharamkan. Akan tetapi perlu dicatat, dalam kelompok yang memperbolehkan pun terdapat perbedaan-perbedaan pandangan di antara mereka. Sebagian dari mereka ada yang membatasi kehalalan menikahi hanya pada wanita penganut agama Yahudi atau agama Kristen (Nasrani) saja. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Alasannya karena, seperti yang pernah disinggung sebelum ini, al Qur’an ketika membicarakan tentang ahlul Kitab senantiasa merujuk pada pemeluk kedua agama ini. Jadi tidak ada urgensi untuk memperluas maknanya di luar yang ditunjukkan al Qur’an.

Sementara ada sebagian ulama yang lebih mempersempit lagi cakupan wanita-wanita beragama Yahudi dan Kristen yang boleh dinikahi dengan mempersyaratkan leluhur calon mempelai wanita yang beragama Yahudi dan Nasrani itu harus berasal dari golongan asli penganut kedua agama tersebut. Seperti yang juga pernah disinggung sebelumnya, syarat sedemikian membatasi ini menjadikan pendapat ini tidak realistis. karena apabila syarat kepemelukan yang orisinil ini diterapkan, maka orang-orang yang dikategorakin dalam ahlul kitab akan sangat sulit, atau mendekati mustahil, untuk ditemukan, bahkan di era-era kehidupan Nabi SAW dan para sahabat.

Di sisi yang berbeda, ada sebagian ulama yang memperluas cakupan wanita ahlul kitab yang boleh dinikahi sehingga memasukkan wanita penganut agama selain Yahudi dan Kristen. Pendapat ini masih sangat kontroversial, meski akhir-akhir ini tumbuh dukungan dari pemikir-pemikir kontemporer.

Penulis pikir, kontroversi seperti di atas akan senantia muncul ketika membahas tentang hukum nikah beda agama. Para ulama dalam hal ini sudah banyak menuliskan argumentasinya baik dari pihak yang pro ataupun pihak yang kontra. Itu membuka pilihan kepada kita untuk memilih dari pendapat-pendapat tersebut.

Tapi ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih calon istri (dan tentunya juga calon suami) bahwa sebuah pernikahan akan lestari apabila terjalin hubungan yang harmonis antara pasangan suami dan istri. Tentunya keharmonisan bukan perkara yang mudah untuk dicapai apabila keduanya tidak memiliki kesepahaman dalam ide, pandangan hidup dan agama mereka. Berdasarkan pertimbangan ini lah, maka banyak ulama yang sebenarnya memperbolehkan nikah beda agama antara pria muslim dengan wanita non muslim mengatakan nikah semacam ini lebih baik untuk dihindari.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here