Ngaji Bareng Kitab Al Muqtathofat Bersama KH Ahmad Zaeni Dahlan #2

0
346

KHASKEMPEK.COM, KEMPEK – Ngaji Bareng ini di selenggarakan di kediaman  KH. Ahmad Zaeni Dahlan yang diikuti oleh santri putri asrama Al Nasir Al Mansur, dan online di akun resmi youtube KHAS Kempek, tentang kajian studi Ilmu “kaidah Fikih”, dengan tema “Segala Perbuatan Tergantung Dengan Niat”.

Sumber : https://youtu.be/aiBPviLhktY

Penjelasan serta penekanan Ilmu Kaidah Fikih telah KH. Ahmad Zaeni Dahlan sampaikan sebelumnya, dengan hal ini KH. Ahmad Zaeni Dahlan melanjutkannya dengan menjelaskan satu-persatu dari lima kaidah yeng sempat dijelaskan sebelumnya.

Sumber : https://khaskempek.com/ngaji-bareng-kitab-al-muqtathofat-bersama-kh-ahmad-zaeni-dahlan-1/

Dengan ini, “kita lanjutkan pada kaidah yang pertama, yaitu Al Umuru Bimaqashidiha (Setiap Sesuatu Tergantung dari apa yang menjadi tujuannya), sebenarnya kaidah ini berdasarkan hadits Rosulullah SAW, yang di riwayatkan oleh Sayyidina ‘Umar Bin Khattab, yaitu hadits yang berbunyi:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Bahwasanya sah tidak sahnya sebuah amal perbuatan, menurut Madzhab Imam Syafi’i itu tergantung pada niatnya, akan tetapi menurut Madzhab Imam Hnafi pada konteks Innamal A’malu yakni kesempurnaannya, jadi memang pada Madzhab Imam Hanafi ini, lebih fleksibel di dalam syarat seperti halnya wudlu itu tidak di haruskan untuk niat, akan tetapi di dalam Madzhab Imam Syafi’i didalam wudlu tetap di haruskan untuk niat, ini dikarenakan beliau-beliau berbeda dalam mengartikan hadits tersebut”, beliaupun menyimpulkan bahwasanya “menurut Madhab Imam Syafi’I, hadits Innamal A’malu bin Niyat itu menunjukan keabsahan suatu ibadah itu tergantung niatnya, sedangkan menurut Madzhab Imam Hanafi pada hadits tersebut, niat hanya sebagai penyempurna ibadah saja”.Tegas beliau

Beliau meneruskan dengan menyatakan bahwasanya walaupun “sebenarnya ada beberapa hadits lain yang mendasari kaidah ini. Menurut para Ulama kaidah ini masuk hampir ke dalam dua pertiga dari permasalahan-permasalahan fikih, yakni semua permasalahan-permasalahan fikih dapat menerapkan kaidah ini”.Beliau mengambil contoh pada masalah wudhu yaitu niat dapat membedakan wudhu dengan hanya sekedar tabarrud (hanya sekedar membasuh wajah), beliau mencontohkan dalam ibadah-ibadah lain yang dimana dapat dibedakan dengan niatnya. .Beliau mengutip salah satu hadits yang berbunyi:

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ” الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة

Banyak sekali amal-amal yang wujudnya menyerupai amal dunia tetapi sebenarnya merupakan amal akhirat karena bagusnya niat. Dan tidak sedikit amal yang wujudnya  seperti amal akhirat kemudian menjadi amal dunia dengan jeleknya niat.

“Dalam tinjauan lain para Ulama mengatakan bahwasanya kaidah Al Umuru Bimaqashidiha ini adalah nishful ilmi, mengapa demikian, karena orang itu terbagi menjadi dua dimensi ada dimensi lahir dan juga batin, dimensi batin inilah yang urusanya dengan niat, jadi separo dari dimensi manusia inilah yang masuk kategori dalam pembahasan kaidah ini’. Jelas beliau

Beliau juga menjelaskan bahwa di dalam kaidah Al Umuru Bimaqashidiha terdapat sub kaidah diantaranya beliau mengambil contoh di dalam niat sholat itu harus ada ta’yin (menentukan),yang pertama menentukan sholatnya apakah fardhu atau sunnah, yang kedua menen tukan waktu sholatnya apak dzuhur atua ashar dan seterusnya., yang ketiga menentukan kondisi sholatnya apakah sholat yang ada’an atau qodho’an. Beliau mengatakan “yang menjadi acuan niat yaitu apabila terbesit di dalam hati, oleh karena itu niat tidak bisa di wakilkan karena niat adalah urusan hati maka tidak bisa di wakilkan, akan tetapi ada pengecualian dalam hal ini  tentunya apabila ada kesusahan dalam melaflkan niat seperti niat menyembelih qurban, belum tentu semua orang tahu akan niat qurban olehkarenanya maka niat dalam hal ini boleh diwakilkan”. Beliau juga menjelaskan bahwa niat secara umum itu dilakuakan ketika hendak ingin memulai ibadah seperti contoh ketika sholat maka niat dilakuakn sasat takbiratul ihrom, akan tetapi ada pengecualian dalam hal ini, seperti niat puasa yang dilakukan saat setelah sholat tarawih sampai menjelang waktu imsak “ oleh karena itu niat dilakukan ketika hendak meleluak ibadah yang ingin kita kerjakan “. Pungkas beliau.

Di akhir pengajiannya beliau membuka sesi pertanyaan, salah seorang santriwati(1) mengajuakan petanayaan kepada beliau yaitu, Apakah menjaga semua amal itu terfokus pada niat ? ,beliau menjawab dengan menutip hadits 

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhary).

Kemudian pengajian di tutup dengan pembacaan surat Al-‘Ashr dan doa penutup majelis

(1) penanya: Azriyah Mu’arobbi, kelas 2 Ulya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here