Khidmah Terakhir Untuk Buya Ja’far

(Haul Buya Ja'far Shodiq Aqiel Siroj yang ke-5)

0
817

KHASKEMPEK.COM – Malam itu, keyakinan seakan telah mencapai titik klimaksnya untuk membatalkan semua rencana yang telah dirangkai rapih, serapih rotasi sinar senja yang menyapa pecintanya. Iya, saya menggagalkan pemberangkatan ke Jawa Timur esok harinya, ketika mendapatkan kabar bahwa Buya sedang berada di ICU, RS Sumber Waras.

Selama dua minggu saya bisa kembali berkhidmah bersama Buya, setelah 2 tahun lamanya saya hanya bersua dalam dzikir dan doa. Tak cukup sampai disitu, sebuah kehormatan kembali saya terima setelah diminta untuk mendampingi Buya berangkat ke Jakarta. Untuk melaksanakan operasi pertamanya.

Setengah bulan lamanya Buya berada di Jakarta dan dalam kondisi pemulihan pasca operasi Buya tetap seperti dulu, tidak ingin merepotkan orang lain. Ketika tengah malam tiba, hampir setiap malam Buya selalu membangunkan saya dan Maladzhi untuk menemaniya “Nizar, Maladzi… Buya pan ning kamar mandi.” Namun tidak jarang pula Buya berjalan sendiri dengan tangan kanan memegang sarung dan tangan kiri berpegangan tiang infusan, agar tidak merepotkan kami, katanya. Atau terkadang bersama Umi yang selalu sigap mendampingi Buya selamanya.

Diawal kedatangannya, Buya sempat mengajak ngobrol tentang hakikat kematian. Buya bercerita tentang Mbah Yai Aqiel wafat dan Buya bercerita satu-persatu kerabatnya yang sudah wafat diumur Buya saat itu. Obrolan ini tentunya membuat saya menerawang kemana-mana dan membayangkan belum siapnya kami semua ditinggal Buya.

“Zar, Buya kih wis umur 63, Rasullah wafat ya umur semono, lan akeh bature Buya ya ninggale umur 63, dadi Buya sih wis siap baka kon balik kah.”

Setelah operasi yang pertama berjalan lancar, Buya Ja’far diizinkan untuk kembali ke Pondok Pesantren Khas Kempek. Terpancar aura kebahagian dari raut muka Buya. Sebagai pengasuh dan orang tua, kembali ke pesantren dan bisa bersama para santri merupakan obat mujarab bagi Buya.

Ketakutan dan kesedihan yang saya dengar ketika di rumah sakit kembali terulang, ketika Buya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dan membicarakan hal yang menurut saya sangat dihindari untuk didengar. Satu persatu putra-putrinya dinasehati dan diberikan bekal untuk nanti setelah Buya wafat. “Iki lamon Buya langka ira kabeh kudu mengkenen ya…”

Ketika itu, saya tetap mencoba untuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar terus bisa memijat Buya dengan tanpa terbawa suasana, sekalipun hati menjerit, menangis ketika mendengar semua yang dibicarakan Buya.

“Buyaaaaaaaaaaaa kula dereng siappp”

Teriakan dan tangisan dihati ini mengiringi pijatan kala itu. Saya yakin seperti itulah perasaan semua yang hadir dikamar Buya.

Buya ini memang waskita, weruh sadurunge winarah, dengan firasatnya, Buya tahu beberapa hal yang akan terjadi. Seperti Buya tahu kapan beliau akan bertemu dengan kekasih sejatinya. Sebelum berangkat ke Rumah Sakit untuk melakukan operasi yang kedua, Buya berpesan agar ketika nanti meninggal dimakamkan saat waktu Qaylulah. Dan tepat pada tanggal 1 Jumadil Akhir 1435 H / 1 April 2014 M setelah operasi yang kedua beliau wafat.

Ketulusan cinta dan kasih yang Buya berikan untuk keluarga, kebanggaan dan keikhlasan yang Buya sematkan untuk semuannya, ketenangan serta kebahagian yang terpancar dari raut muka Buya merupakan suasana yang terlihat ketika Buya menghembuskan nafas terakhirnya.

Saya masih ingat dan tidak akan pernah lupa, saat ketika saya dengan berlinang air mata tetap bisa menggenggam tangan kanan Buya serta melantunkan kalimat syahadat ditelinga kiri bersamaan dengan Umi yang melantunkan ditelinga kanan. Hanya ketenangan dan kebahagian yang bisa saya saksikan saat itu dari raut muka Buya, karena, sebetulnya Buya tak butuh dibimbing untuk hanya membaca kalimat syahadat. Kakasih yang setiap sepertiga malam Buya sebut-sebut namanya sudah menberikan tangannya untuk Buya raih dan berjalan bersama menuju surga-Nya. Kekasih itu, tak lain adalah Rasulullah SAW.

Buya, tak terasa telah lama terbaring jasadmu, kerinduan tentang raga tak lagi beradu, hanya dalam ruh dan do’a kita bertemu dan masih tergambar jelas seluruh kenangan bersamamu.
Buya, engkau adalah pribadi yang tegas baik kepada kami yang tak beralas atau kepada mereka yang berkelas.
Buya, engkau adalah pribadi yang penyayang kepada semua orang.
Buya, engkau bagi kami sosok yang telah mengisi ruang hampa dengan kalam-kalam hikmah dan lautan uswah.
Buya, engkau bagi kami adalah konseptor yang telah berhasil menanamkan asa kepada para santrinya agar mampu bergerak melebihi ambang batasnya.
Buya, engkau bagi kami adalah pendidik yang aura kearifannya dapat membuat jiwa ini bangkit dan bukan dengan cara yang licik.
Buya, engkau bagi kami adalah ‘guru waskita’ yang isyarat-isyaratnya mampu membaca segala hal yang tak teraba.
Buya, engkau bagi kami segalanya, atas cinta dan kasihnya kami masih tetap rindu Buyaaaaaa.

Bagi semua yang membaca status ini, tolong sempatkan mengirimkan al-Fatihah untuk Buya Ja’far dan bagi alumni yang berdomisili di Jakarta akan ada Tahlil bersama di KMSGD, Ciputat malam Jum’at, pukul 18:30 WIB.

Nizar Idris
(Abdi Dalem Buya Ja’far)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here