Hari Pahlawan, Kiai Musthofa Aqiel: Tidak Mungkin Ada 10 November Tanpa 22 Oktober

0
725

KHASKEMPEK.COM, KEMPEK – Pengasuh Pondok Pesantren Khas Kempek, KH. Muhammad Musthofa Aqiel Siroj menjelaskan sejarah Hari Pahlawan, tidak mungkin ada 10 November tanpa 22 Oktober. Hal ini beliau sampaikan pada upacara Hari Santri Nasional yang digelar di Lapangan Utama Yayasan, Kamis (22/10/2020).

Dalam sambutannya, Kiai Musthofa Aqiel menceritakan, saat kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Belanda bersama tentara sekutu yang jumlahnya ribuan dan dengan senjata yang canggih, kembali datang ke Indonesia.

Pada saat itu, kata Kiai Musthofa Aqiel, Jenderal Sudirman datang dalam rangka meminta Presiden Soekarno untuk mengirim utusan kepada para kiai sepuh Jawa Timur untuk membuat sikap menghadapi penjajah, melawan atau menyerah.

“Itu artinya, tentara Indonesia belum terkonsolidasi. Dengan bahasa lain, tentara tidak mampu menghadapi penjajah,” tutur Penasihat Panglima Tentara Nasional Indonesia ini.

Singkat cerita, lanjut Kiai Musthofa Aqiel, datanglah utusan menghadap Hadratus Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari. Kemudian seluruh ulama se-Jawa dan Madura diundang. Mereka berkumpul di Surabaya pada 21 Oktober 1945.

“Dari Cirebon, para kiai berangkat naik kereta api enam gerbong dipimpin Kiai Abbas Buntet. Malamnya, para kiai tawajjuh ilallah dan bermunajat kepada Allah, meminta bagaimana sikap untuk menghadapi penjajah,” jelas menantu Mbah Moen ini.

Pada waktu subuh, 22 Oktober 1945, ribuan kiai sepakat dengan satu kalimat bahwa melawan penjajah hukumnya wajib ‘ain bagi orang yang berada dalam radius 86 kilometer. Akhirnya, terciptalah semangat juang yang luar biasa.

“Daerah Pasuruan dibom dan menewaskan sebanyak 30 ribu orang. Banyak di antaranya dari kalangan kiai dan santri. Dari situ, semangat berperang kembali bangkit,” kata Kiai Musthofa.

Oleh karena itu, terjadi perang awal pada 28-30 Oktober 1945. Tentara sekutu banyak yang mati. Pada 1 November 1945, tentara sekutu meminta gencatan senjata. Kemudian Presiden Soekarno datang ke Surabaya dan menandatangani perjanjian gencatan senjata itu.

“Sorenya, komandan tentara sekutu Jenderal Mallaby tewas. Mobilnya dilempar granat. Siapa yang melempar? Santri bernama Harun. Dia bukan tentara dan bukan TNI,” tegas putra Almaghfurlah Kiai Aqiel Siroj.

Menurut beliau, para kiai NU telah berjuang dengan sangat luar biasa. Karena Jenderal Mallaby tewas di tangan Harun, maka mereka marah dan membuat ultimatum. Semua diminta untuk menyerahkan senjata, ditunggu sampai batas akhir pada 10 November. Namun, perlawanan dari kaum santri justru kian bertambah semangat.

“Sehingga terjadilah perang yang disebut Hari pahlawan. Ini kan luar biasa,” kata Kiai Musthofa.

Ia juga mengatakan secara tegas bahwa tidak mungkin ada 10 November sebagai Hari Pahlawan jika tidak ada peristiwa pada 22 Oktober. Tidak mungkin juga ada peristiwa 22 Oktober kalau tidak ada kumpulannya para kiai.

“Alhamdulillah, oleh pemerintah kita tanggal 22 Oktober tersebut dijadikan sebagai Hari Santri Nasional,” pungkas Kiai Musthofa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here