Cerpen Santri: Hakikat Puasa

0
863

KHASKEMPEK.COM – Menjelang lebaran Ahmad Rawin pulang kampung. Ia mudik ke desa kelahirannya, setelah hampir setahun merantau di ibu kota. Selama perjalanan, ia sering melihat orang yang tidak berpuasa. Di terminal, pangkalan ojek, tempat parkir, pasar, warung makan dan diberbagai tempat yang ia lewati.

Kebanyakan secara sembunyi-sembunyi. Berlindung dibalik tirai. Nampak kaki-kaki mereka masih terlihat dengan jelas. Namun ada juga yang menampakan diri secara terang-terangan. Biasanya dengan merokok atau minum di pinggir jalan.

Dalam hati Ahmad bertanya, apakah mereka tidak mengetahui perintah berpuasa di bulan Ramadhan? Karena ia yakin mereka adalah orang Islam yang secara syariat sebenarnya mampu melaksanakan rukun Islam keempat itu.

Ia tidak habis pikir dengan keingkaran yang nyata ini, yang ia jumpai ada dimana-mana dan selalu terjadi disetiap bulan Ramadhan. Pernah suatu sore di bulan puasa tahun sebelumnya, ia melihat puluhan anak muda sedang bermain sepak bola. Sementara di pinggir lapangan pedagang minuman sibuk melayani pembeli. Dan semuanya nampak biasa-biasa saja, tanpa merasa berdosa.

Di tahun yang sama, ketika akan menghadiri acara buka bersama di kota, di lampu merah disebuah jalan protokol, ia menjumpai mahasiswa yang sedang membagikan makanan buat berbuka puasa. Sungguh mulia anak-anak muda ini. Setiap kendaraan yang berhenti mereka datangi. Lalu satu paket nasi kotak dan minuman mereka bagikan secara gratis. Sayang, beberapa mahasiswa kedapatan sedang minum “es plastik” di pojok belakang.

Pernah ketika ia bermain di rumah seorang sahabat, ia menyaksikan “obrog” yang keliling meminta sedekah ke rumah-rumah warga. Dan diantara puluhan anak muda itu, terdapat pemuda yang merokok dan minum dengan santainya. Padahal jam baru menunjukkan pukul tiga sore. Mereka keliling kampung sebagai bagian dari tradisi Ramadhan. Tiap malam membangunkan warga untuk sahur. Tapi perbuatan terpuji itu oleh sebagian dari mereka tidak dibarengi dengan berpuasa di siang harinya. Sesuatu yang bertolak belakang dengan kegiatan mereka sendiri.

Ahmad jadi teringat cerita temannya yang pulang lebaran tahun kemarin. Katanya, masjid di rumahnya ramai diawal saja. Tengah dan menjelang akhir sepi. Hanya tinggal bapak-bapak, ibu-ibu dan anak kecil.

Si sahabat juga bercerita, ketika malam takbiran masjidnya tidak terlalu ramai. Yang meriah berjubel manusia justru di jalan-jalan dan di alun-alun kota. Arak-arakan dan takbir keliling oleh anak muda begitu membludak dan sesak. Ratusan bahkan ribuan kendaraan berseliweran tak terhitung jumlahnya. Sungguh senang melihat ghirah pemuda Islam yang luar biasa semarak dan penuh semangat itu.

Tapi sayang, dihalaman koran pagi esok harinya tersiar berita, takbir keliling itu ada yang berakhir dengan tawuran. Polisi mengamankan puluhan remaja karena kedapatan membawa senjata tajam.

Ini hampir sama dengan cerita dari teman Ahmad lainnya, katanya sehabis lebaran desanya yang adem ayem berubah mencekam gara-gara terjadi perkelahian suporter sepakbola antara dua kesebelasan yang berujung tawuran. Padahal katanya pertandingan persahabatan pasca lebaran.

Ahmad muram. Apakah kesucian bulan Ramadhan sudah tidak ada artinya lagi? Apakah ibadah selama satu bulan tidak memiliki dampak apapun pada prilaku sosial di masyarakat? Bahkan di hari yang paling sakral buat ummat Islam?

Banyak pertanyaan atas kondisi ini. Ia pun menemui dosennya di perguruan tinggi.

“Dunia telah berubah, Nak. Orang tidak lagi malu meninggalkan perintah Allah. Sekarang mulai banyak yang menganggap puasa Ramadhan itu sebagai persoalan pribadi. Sehingga menjadi urusannya apakah mau puasa atau tidak. Ibadah memang privasi seseorang, kita tidak bisa memaksakan,” kata profesor bidang filsafat ini.

Ahmad kaget. Karena pengingkaran ini dianggap sebagai hak. Seolah ada pembenaran. Ia tak sependapat dengan dosennya itu.

Ia pun pergi menemui gurunya di pondok pesantren.

“Semua perintah Allah itu untuk kepentingan hamba-Nya,” kata Kiai Syifa, “Maka menghormati bulan Ramadhan itu ya dengan kita berpuasa dan memperbanyak ibadah. Bukan dengan kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak ada kaitannya dengan puasa, apalagi yang sifatnya hura-hura, kayak acara hiburan di TV itu,” ujarnya.

Ahmad mendengarkan dengan takzim ‘dawuh’ Kiai Syifa. Seperti biasa, ia selalu betah berlama-lama jika sudah bertemu dengan gurunya. Bagi Ahmad, petuah Kiai Syifa selalu menentramkan. Nasihatnya selalu bikin tenang. Seperti ketika merespon fenomena orang-orang yang tidak berpuasa yang sering ia saksikan.

“Puasa itu ibadah istimewa. Hanya orang-orang pilihan yang mampu melaksanakannya. Mereka yang beriman akan dengan riang gembira berpuasa selama satu bulan tanpa merasa berat. Bahkan sangat bahagia bisa berpuasa dibulan Ramadhan, dan berharap ditahun-tahun berikutnya masih bisa bertemu dengan bulan suci dan mulia ini. Karena mereka tahu bulan Ramadhan adalah bulan penuh keutamaan dan keberkahan. Al-Quran diturunkan di bulan Ramadhan. Ada lailatul qadar, malam sangat istimewa, melebihi 1000 bulan,” kata Kiai Syifa.

“Puasa juga istimewa karena Allah SWT mengatakan ‘Kullu amali Ibni Adam lahu illash shiyaam, fainnahu lii wa anaa ajzii bihi,’ semua amal manusia miliknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan membalasnya,” terang Kiai Syifa.

Namun Kiai Syifa mengingatkan, puasa itu ada tingkatan-tingkatannya. Kiai yang sangat alim ini menjelaskan secara gamblang mulai dari puasanya orang awam, khusus, dan khusushil khusus yaitu tingkatan atau derajat tertinggi.

“Oleh karena itu, jangan karena kita telah berpuasa kemudian merasa paling baik dari siapapun. Merasa paling dekat dengan Allah dan berhak mendapatkan banyak pahala. Karena bisa jadi tidak mendapatkan apa-apa, kecuali haus dan lapar saja.”

Ahmad terdiam. Apa yang barusan dikatakan Kiai Syifa terasa benar mengena di hatinya. Membuatnya sadar dan malu. Selama ini ia hanya menyoroti orang-orang yang belum menerima puasa Ramadhan sebagai kewajiban. Ahmad hanya fokus pada orang lain. Tapi lupa melihat kekurangan dirinya sendiri.

Ia malu karena selama Ramadhan masih belum bisa menjaga pendengaran, lisan, tangan, kaki dan anggota badan dari dosa dan maksiat. Matanya masih lebih senang melihat tontonan dari pada tuntunan. Belum bisa menjaga dari hasud, riya dan penyakit hati lainya.

Ia masih sering meninggalkan salat tarawih karena alasan ini dan itu. Belum bisa istiqomah bertadarus seperti yang lain. Tangannya lebih sering memengang HP daripada Al-Qur’an. Jemarinya lebih asyik bermedsos dari pada bertasbih mengingat Allah SWT. Salat jamaahnya masih hanya pada waktu-waktu tertentu. Sama dengan Ramadhan tahun lalu. Tidak ada peningkatan.

Ia masih menikmati puasa sebatas sebagai sebuah momen: ngabuburit, bukber, shopping, mudik, petasan juga pakaian baru.

Sekarang, mantan pengurus pondok ini baru sadar, jika puasanya selama ini baru sebatas menahan dari yang membatalkan puasa, sekedar tidak makan dan minum. Masih sebatas itu. Membuat Ahmad semakin malu, karena terlalu menggebu-gebu ‘mengadukan’ aib orang lain kepada Kiai Syifa, tapi lupa aibnya sendiri.

“Kamu tidak usah repot-repot memikirkan orang yang tidak berpuasa. Kita cukup mengingatkan mereka secara baik-baik pada setiap kesempatan. Selebihnya, biarlah itu menjadi urusan Allah. Yang terpenting kita dan keluara kita dijaga, jangan sampai mengikuti mereka. Lagi pula jumlah mereka sedikit. Sebagian besar orang Islam berpuasa. Lihatlah masjid-masjid, musala, majlis taklim dan tempat lainnya yang begitu ramai setiap bulan Ramadhan. Lihat juga di kampung-kampung atau di pesantren-pesantren, disana kegiatan keagamaan selama Ramadhan begitu hidup, semarak dan hampir tak mengenal putus, siang – malam selama 24 jam,” tutur Kiai Syifa, membuat hati Ahmad tentram, tidak lagi merasa gelisah dan marah.

Penulis: Mansur Jamhuri, Bekerja di MTs KHAS & STIKES KHAS Kempek – Cirebon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here