Iqitibas 2 Surat Al Ma’idah Ayat 5, Orang-orang yang Diberi Kitab

0
229

KHASKEMPEK.COM – Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi Kitab (الذين أوتوا الكتاب)? Mayoritas ulama bersepakat bahwa mereka adalah pemeluk agama Yahudi dan agama Kristen. Al Qur’an senantiasa merujuk pada pemeluk kedua agama ini ketika membicarakan tentang orang-orang yang diberi Kitab.

Di banyak ayat yang lain, al Qur’an juga menyebut mereka dengan nama Ahl al Kitab (komunitas pemilik Kitab). kerap pula al Qur’an menyebut mereka dengan sebutan terpisah, yaitu Nashrani untuk pemeluk kristen, dan Yahudi atau orang-orang yang bergama yahudi (الذين هادوا) untuk pemeluk Yahudi.

Sembelihan orang yang beragama Yahudi dan Kristen, sekaligus juga menikahi wanitanya, adalah halal bagi orang mu’min. Akan tetapi ulama masih berbeda pendapat tentang kreteria dan syarat agar pemeluk kedua agama tersebut dapat dinikmati sembelihannya dan dinikahi wanitanya.

Pendapat pertama mensyaratkan penganut agama Yahudi dan Kristen itu harus berasal dari orang-orang asli keyahudian dan kekristenan mereka. Yaitu, merka yang telah memeluk kedua agama tersebut dari semenjak leluhur mereka, sebelum datangnya agama berikutnya yang merevisi kedua agama tersebut. Kemudian agama itu diwariskan turun-temurun tanpa terputus sampai ke generasi mereka yang hidup sekarang ini.

Pendapat kedua mengatakan orang-orang yang diberi Kitab dalam ayat ini adalah setiap penganut agama Yahudi dan Nasrani, tanpa syarat keaslian seperti pendapat pertama. Pendapat kedua ini tidak membedakan antara mereka yang mempunyai leluhur dari kelompok asli penganut kedua agama tersebut ataupun meraka yang memeluk kedua agama tersebut baru-baru ini saja.

Menurut pendapat kedua ini, semua penganut agama Yahudi dan Nasrani yang hidup sekarang-sekarang ini termasuk dalam orang-orang yang diberi Kitab yang sembelihan dan wanitanya halal bagi orang mu’min.

Penulis pikir, dari kedua pendapat diatas, pendapat kedua ini yang paling sesuai dengan realitasnya. karena apabila syarat kepemelukan yang orisinil ini diterapkan, maka orang-orang yang dikategorakin dalam orang-orang yang diberi kitab akan sangat sulit, atau mendekati mustahil, untuk ditemukan dewasa ini.

Bahkan di era-era awal perkembangan Islam pun, apabila syaratnya seketat itu, keberadaan mereka sudah suatu yang jarang sekali. Sedangkan kita tahu dari bukti-bukti sejarah dan bahkan al Qur’an sendiri sering menggambarkan bagaimana intensnya interaksi antara orang-orang mu’min dan orang-orang yang diberi kitab saat itu.

Ada pendapat ketiga yang berbeda dengan mayoritas ulama di atas dengan memasukkan semua penganut agama yang mempunyai kitab suci atau semacam kitab suci dalam kelompok orang-orang yang diberi kitab. Pendapat ketiga ini menganggap penganut agama Majusi atau Zoroaster sebagai bagian dari mereka.

Bahkan pendukung-pendukung pendapat ketiga ini dari ulama-ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Rosyid Ridha memasukkan juga penganut Agama Budha, Hindu dan Konfusiesme. Bila kita mengikuti pendapat ketiga ini maka hampir semua sembelihan penganut agama-agama besar di dunia sekarang hukumnya halal bagi orang-orang mu’min.

Pendapat yang ketiga ini cukup kontroversial sebenarnya, akan tetapi banyak orang yang merasa perlu mempertimbangkannya di era globalisasi sekarang ini, di mana pergaulan antara orang-orang yang berbeda keyakinan sudah tidak dapat disekat lagi dengan jarak dan waktu. Perdagangan ekpor-impor antar negara, termasuk di dalamnya ekpor-impor daging mentah sudah merupakan fenomena yang rutin terjadi, sehingga kalau syarat sembelihan itu harus dibatasi hanya sembelihan orang-orang mu’min saja maka akan bisa sangat menyulitkan.

Pendapat ini juga sering dijadikan pedoman bagi orang-orang mu’min yang hidup di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Namun disisi lain juga masih banyak orang yang berusaha berpegang pada syarat ini dan bersiteguh bahwa hanya sembelihan sesama orang mu’min yang halal untuk dikonsumsi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here