Ulumul Hadis, Hadis pada Masa Sahabat Abū Bakar dan Umar bin Khattab

0
6504

KHASKEMPEK.COM – Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, para sahabat tidak dapat lagi mendengar sabdasabdanya, tidak bisa lagi melihat perbuatan-perbuatannya dan hal-ihwalnya secara langsung. Untuk mengenangnya dan melestarikan ajaran-ajarannya, periwayatan hadis mulai berkembang dari para sahabat kepada kaum muslimin lainnya. Para sahabat yang diibaratkan laksana meneguk air yang jernih yang langsung dari sumbernya, mereka berkomitmen untuk tidak mendustakan Nabi Muhammad Saw.. Mereka adalah orangorang pilihan yang rela mengorbankan segenap harta, jiwa dan raga untuk dakwah Islam.

Periode perkembangan hadis pada masa ini dikenal dengan zaman al-Tasabbut wa al-Iqlāl min ar-Riwāyah, yakni periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat yang terjadi diperkirakan antara tahun 12-40-an H. Hal ini dilakukan karena para sahabat pada periode ini lebih berkonsentrasi terhadap pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Hal ini sangat nampak dilakukan oleh para sahabat besar khususnya adalah Khulafā ar-Rāsyidūn (Abū Bakar as-Sị ddīq, ‘Umar bin al-Khatṭḥ āb, ‘Usmān bin Affān, dan ‘Ali bin Abi Tạ̄ lib ra.). Sebagai akibatnya, periwayatan hadis kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadis.

Kehati-hatian dan pembatasan dalam meriwayatkan hadis yang dilakukan oleh para sahabat ini lebih disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. Karena hadis menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an dalam Islam, ia harus selalu dijaga keotentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat khususnya Khulafā ar-Rāsyidūn dan para sahabat lainnya berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadis. Para sahabat menyampaikan dan menjaga hadis dengan hati-hati supaya tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkan kecuali pada saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.

Masa Abū Bakar aṣ-Ṣiddīq ra

Sikap hati-hati terhadap periwayatan hadis ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abū Bakar as-̣ Sị ddīq. Khalifah pertama ini menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadis. Abū Bakar mengambil kebijakan mempeketat periwayatan hadis agar tidak disalahgunakan oleh orang-orang munafik.

Sikap ketat dan kehati-hatian Abū Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkret, yakni dengan membakar catatan-catatan hadis yang beliau miliki. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah, putri Abū Bakar, bahwa Abū Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Tindakan Abū Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh kekhawatiran beliau berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Di lain kesempatan, Abū Bakar juga tidak serta merta menerima begitu saja riwayat suatu hadis, sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya.

Untuk membuktikan suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah, beliau meminta kepada periwayat hadis untuk mendatangkan saksi. Sebagai konsekuensi sikap kehati-hatian Abū Bakar ini, hadis-hadis yang diriwayatkan beliau relatif sedikit jumlahnya meskipun beliau merupakan sahabat Nabi yang paling dekat dan akrab dengan Nabi Saw. Selain itu, ada beberapa hal yang menyebabkan sedikitnya riwayat dari Abu Bakar antara lain; pertama, beliau selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; kedua, kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; dan ketiga, jarak antara meninggalnya beliau dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw. sangat singkat.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa aktivitas periwayatan hadis pada masa khalifah Abū Bakar as-̣ Sị ddīq ra. masih sangat terbatas dan belum menonjol. Pada masa ini pula umat Islam dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang sangat menyita waktu, seperti adanya berbagai pemberontakan yang dapat merongrong kewibawaan pemerintahan sepeninggal Rasulullah Saw. Namun akhirnya, keseṃuanya itu dapat diatasi oleh Abū Bakar dengan baik.

Masa ‘Umar bin al-Khattāb ra

Sikap dan tindakan hati-hati Abū Bakar as-̣ Sị ddīq menginspirasi tindakan yang dilakukan oleh khalifah kedua, ‘Umar bin al-Khatṭạ̄ b. ‘Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan suatu hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lain.

Sebagian ahli hadis mengemukakan bahwa Abū Bakar as-̣ Sị ddīq ra. dan ‘Umar menggariskan bahwa periwayatan hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani disumpah. Sikap kehati-hatian Umar yang seolaholah melarang sahabat lain untuk memperbanyak periwayatan hadis ini harus ditafsiri bahwa selain kaum muslimin harus berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, juga supaya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an tidak terganggu. Hal ini tentunya dapat dipahami karena memang pada saat itu, naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya dan belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadis.

Meskipun demikian, pada masa khalifah ‘Umar ini periwayatan hadis juga telah banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Yang tentunya, dalam periwayatan tersebut tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Sikap hati-hati yang dilakukan ‘Umar ini di samping untuk menghindarkan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis juga dapat menghalangi orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan pemalsuan hadis.

Sumber: Hadis-Ilmu Hadis/Kementerian Agama,- Jakarta : Kementerian Agama 2014.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here