Ulumul Hadis, Hadis pada Masa Rasul Saw

0
1697

KHASKEMPEK.COM – Sebagai Nabi dan Rasul Allah, Muhammad Saw., dibekali berbagai keistimewaan, di antaranya adalah mukjizat al-Qur’an serta keluhuran akhlak. Selama bertugas sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad Saw. mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai dasar pembangunan peradaban Islam yang mulia.

Selain itu, sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad Saw. adalah sosok sentral, sosok panutan bagi umat Islam di saat itu dan di kemudian hari. Apa yang Nabi Muhammad Saw. katakan adalah perkataan yang bernilai yang dijalankan. Apa yang Nabi Muhammad Saw. lakukan adalah sesuatu yang baik dan kemudian dicontoh. Dan apa yang Nabi Muhammad Saw. tetapkan adalah ketetapan yang baik dan kemudian dipatuhi.

Keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw. dicatat di dalam al-Qur’an:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya: Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Bahkan dalam suatu hadis disebutkan bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw. diidentikkan dengan Al-Qur’an. Di samping itu, Allah telah mengajarkan kepada beliau segala sesuatu yang belum diketahuinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. telah mencapai puncak keilmuan yang belum pernah dicapai oleh manusia lain sepanjang sejarah.

Metode Rasulullah Saw. dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam adakalanya melalui perkataan (aqwāl), perbuatan (af’āl), maupun ketetapan (taqrīr). Oleh karenanya apa yang dilihat oleh ataupun disaksikan oleh para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrīr Nabi merupakan landasan bagi amaliyah seharihari mereka. Nabi Muhammad Saw. di mata para sahabatnya adalah idola yang paling sempurna. Rasulullah Saw. merupakan sentral kehidupan keagamaan dan keduniawian.

Pada masa Rasulullah Saw ز masih hidup, perhatian para sahabat lebih terkonsentrasikan pada Al-Qur’an. Di antara para sahabat yang pandai menulis ditugasi beliau Saw untuk menulis Al-Qur’an. Penulisan Al-Qur’an pada waktu itu masih sangat sederhana yakni ditulis di atas pelepah kurma, kulit binatang, dan batu-batuan. Sedangkan hadis pada saat itu secara umum tidak tercatat. Namun hadis diterima dengan mengandalkan hapalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadis yang ditulis oleh para sahabat Nabi.

Hal ini disebabkan, Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadis sebagimana hadis berikut:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ وَمنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

( رواه مسلم )

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Sa’d al-Khudri, Sesungguhnya Rasululla Saw. bersabda: Janganlah menulis dariku selain al-Qur’an. Barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an maka hapuslah (HR. Muslim).

Namun dalam perkembangannya, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana hadis berikut:

عَنْ رَافِعِ بنِ خَدِيْجٍ، قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّا نَسْمَعُ مِنْكَ أَشْيَاءَ أَفَنَكْتُبُهَا ، قَالَ : اُكْتُبُوا وَلاَ حَرَجَ

( رواه الطبراني )

Artinya: Dari Rafi’ ibn Khudaij berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah bahwa sesungguhnya kami mendengarkan darimu segala sesuatu, kemudian kami menuliskannya. Kemudian Nabi bersabda:”Tulislah dan tidak ada masalah.” (HR. At-Tabarāni)

Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadis Nabi, misalnya Abdullah bin ‘Amr bin as-‘As (w.65 H/685 M) dengan catatannya yang diberi nama al-Ṣādiqah, Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Tạ̄ lib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w . 60 H), Jabir bin ‘Abdullah (w. 78H/697 M), dan ‘Abdullah bin Abi Auf (w. 86 H).

Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadis telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut. Catatan-catatan hadis tersebut di samping sebagai dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana periwayatan hadis secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan.

Menurut Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadis bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadis-hadis yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafad yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzị̄, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’nā), sedang redaksinya tidak sama.

Dengan demikian, hadis Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hapalan ketimbang secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadisnya, di samping orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur’an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadis Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.

Sumber: Hadis-Ilmu Hadis/Kementerian Agama,- Jakarta : Kementerian Agama 2014.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here