Rias PBNU Jelaskan Peran Kiai-Santri Mempertahankan NKRI

0
635

Di hadapan Gusdurian Bekasi Raya, Rais Syuriyah PBNU KH Mustofa Aqil Siroj menerangkan sejarah panjang para kiai NU dalam memerdekakan Republik Indonesia.

“Jenderal Sudirman pernah mendatangi Soekarno dan kemudian dijadikannya sebagai presiden tanpa pemilu. Sedangkan yang mengangkat Soekarno menjadi presiden adalah kiai NU dengan istilah waliyul amri bisy-syaukah,” jelas Kiai Mustofa, dalam peringatan Haul Gus Dur ke-9, di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Cinyosog, Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, Senin (7/1) malam.

Ia melanjutkan, saat diproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda bersama tentara sekutu yang jumlahnya ribuan dan dengan senjata yang canggih, kembali datang ke Indonesia.

Dikatakan, kedatangan Jenderal Sudirman itu dalam rangka meminta Presiden Soekarno untuk mengirim utusan kepada para kiai sepuh Jawa Timur untuk membuat sikap menghadapi penjajah, melawan atau menyerah.

“Itu artinya, tentara Indonesia belum terkonsolidasi. Dengan bahasa yang lain, tentara tidak mampu menghadapi penjajah,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon ini.

Singkat cerita, lanjut Kiai Mustofa, datanglah utusan menghadap KH Hasyim Asy’ari. Kemudian seluruh ulama se-Jawa dan Madura diundang. Mereka berkumpul di Surabaya pada 21 Oktober 1945.

“Dari Cirebon, para kiai berangkat naik kereta api enam gerbong dipimpin KH Abbas Abdul Jamil Buntet. Malamnya, para kiai tawajjuh ilallah dan bermunajat kepada Allah, meminta bagaimana sikap untuk menghadapi penjajah,” jelas kiai asal Cirebon ini.

Pada waktu subuh, 22 Oktober 1945, ribuan kiai sepakat dengan satu kalimat bahwa melawan penjajah hukumnya wajib ‘ain bagi orang yang berada dalam radius 86 kilometer. Akhirnya, terciptalah semangat juang yang luar biasa.

“Daerah Pasuruan dibom dan menewaskan sebanyak 30 ribu orang. Banyak diantaranya dari kalangan kiai dan santri. Dari situ, semangat berperang kembali bangkit,” kata Kiai Mustofa.

Maka, lanjutnya, terjadi perang awal pada 28-30 Oktober 1945. Tentara sekutu banyak yang mati. Pada 1 November 1945, tentara sekutu meminta gencatan senjata. Kemudian Presiden Soekarno datang ke Surabaya dan menandatangani perjanjian gencatan senjata itu.

“Sorenya, komandan tentara sekutu Jenderal Mallaby tewas. Mobilnya dilempar granat. Siapa yang melempar? Santri bernama Harun. Dia bukan tentara dan bukan TNI,” terang Ketua Umum PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) ini.

Hal tersebut, Kiai Mustofa berkesimpulan bahwa para kiai NU telah berjuang dengan sangat luar biasa.

Karena Jenderal Mallaby tewas di tangan Harun, maka mereka marah dan membuat ultimatum. Semua diminta untuk menyerahkan senjata, ditunggu sampai batas akhir pada 10 November. Namun, perlawanan dari kaum santri justru kian bertambah semangat.

“(Dan) terjadilah perang yang disebut Hari pahlawan. Ini kan luar biasa,” kata Kiai Mustofa.

Dengan tegas, ia mengatakan bahwa tidak mungkin ada 10 November sebagai Hari Pahlawan jika tidak ada peristiwa pada 22 Oktober. Tidak mungkin juga ada peristiwa 22 Oktober kalau tidak ada kumpulannya para kiai.

“Alhamdulillah, oleh pemerintah kita tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Santri Nasional. Itu presiden banyak tidak ada yang mengungkit. Sejak Soekarno hingga SBY tidak ada yang membahas 22 Oktober sebagai hari besar kaum santri,” katanya.

Untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri, para kiai dikumpulkan termasuk Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan pejabat pemerintahan lainnya.

“Kiai Said usul dijadikan hari santri dan kemudian disetujui,” pungkasnya.

(Aru Elgete)

Sumber: https://www.nubekasi.id/2019/01/rais-pbnu-jelaskan-peran-kiai-santri-mempertahankan-nkri.html?m=1

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here