Khutbah Idul Adha, Kiai Muhammad BJ Ungkap 6 Kesalihan Nabi Ibrahim

0
241

KHASKEMPEK.COM, KEMPEK – KH. Muhammad Bin Ja’far, yang merupakan Kepala SMP KHAS Kempek Cirebon, mengungkapkan enam kesalihan keluarga Nabi Ibrahim As. Hal ini beliau sampaikan pada khutbah Idul Adha 1443 H, yang bertempat di Masjid Al-Jadied dan diikuti oleh para ibu nyai, pengurus, ustadzah dan santri-santri putri, Ahad (10/7/2022).

Berikut penjelasan lengkap khutbah tersebut:

Keluarga Nabi Ibrahim adalah keluarga yang shalih. Sang ayah, yaitu Ibrahim, serta istri dan kedua putranya, semuanya adalah hamba-hamba yang shalih. Shalih artinya memenuhi hak Allah dan hak sesama hamba. Keshalihan tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.

Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mampu beramal dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dan ilmu tanpa amal tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dan tidak akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang shalih.

Ada banyak sekali sisi keshalihan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut.

Pertama, Nabi Ibrahim sangat kuat memegangteguh akidah dan syariat.

Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانَ إِبْرَٰهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Maknanya: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang memegangteguh Islam. Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (QS Ali ‘Imran: 67).

Nabi Ibrahim sebagaimana nabi-nabi yang lain adalah ma’shum (selalu dijaga oleh Allah) dari kufur atau syirik, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang menunjukkan kehinaan jiwa, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi nabi.

Nabi Ibrahim tidak pernah sedikit meragukan ketuhanan Allah. Beliau tidak pernah menyembuh selain Allah, tidak pernah menyembah bulan, bintang dan matahari. Nabi Ibrahim tidak pernah menjual berhala bersama ayahnya. Nabi Ibrahim tidak pernah memintakan ampunan dosa kepada Allah untuk ayahnya yang musyrik. Dan Nabi Ibrahim tidak pernah meragukan sifat qudrah (Mahakuasa) Allah ta’ala. Beliau juga tidak pernah berdusta dalam setiap ucapannya.

Kedua, berdakwah dengan penuh hikmah

Hal itu tercermin tatkala Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam agama Islam sebagaimana diceritakan dalam QS al-An’am: 41 s.d 44. Nabi Ibrahim dengan menjaga adab seorang anak kepada orang tuanya menjelaskan dengan santun kepada ayahnya yang menyembah berhala bahwa berhala tidaklah dapat mendengar doa penyembahnya dan tidak dapat melihat penyembahnya.

Yang demikian itu, bagaimana mungkin ia dapat memberi manfaat kepada penyembahnya, memberi rezeki kepadanya atau menolongnya. Ibrahim mengajak ayahnya untuk menyembah kepada Allah semata, satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah.

Ketiga, berilmu, memiliki hujjah yang kuat dan beramar ma’ruf nahi mungkar dengan penuh keberanian

Nabi Ibrahim telah diberi hujjah yang kuat oleh Allah ta’ala sehingga selalu dapat mematahkan berbagai dalih yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam ketika berdebat. Allah ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ

Maknanya: “Itulah hujjah yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS al-An’am: 83).

Karena memiliki hujjah yang kuat inilah, Nabi Ibrahim berhasil membungkam para penduduk daerah Harraan yang menganggap bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan. Ibrahim menjelaskan kepada mereka bahwa bulan, bintang dan matahari tidak layak disembah karena mereka adalah makhluk yang mengalami perubahan, terbit lalu tenggelam.

Sesuatu yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain pasti bukan tuhan. Karena sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang mengubahnya. Sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, berarti ia lemah. Dan sesuatu yang lemah tidak mungkin disebut tuhan yang layak disembah.

Perkataan Nabi Ibrahim kepada kaumnya: hadza robbi, seperti dikisahkan dalam QS al An’am ayat 76 s.d 78 adalah dalam konteks mendebat kaumnya dan menjelaskan bahwa bulan, bintang dan matahari tidak layak disembah. Perkataan tersebut tidak berarti Ibrahim menetapkan bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan.

Karena Nabi Ibrahim tidak pernah mengalami fase kebingungan mencari-cari Tuhan. Sebelum perdebatan itu, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, beliau telah mengetahui dan meyakini bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah. Dialah satu-satunya Pencipta segala sesuatu, Tuhan yang menghendaki terjadinya segala sesuatu dan yang berbeda dengan segala sesuatu.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَٰهِيمَ رُشْدَهُۥ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِۦ عَٰلِمِينَ

Maknanya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan kepada Ibrahim petunjuk sebelum masa kenabiannya dan Kami telah mengetahui dirinya.” (QS al-Anbiya’: 51).

Perkataan Nabi Ibrahim: hadza robbi ketika melihat bulan, bintang dan matahari adalah bermakna istifham inkari, yakni beliau bertanya kepada kaumnya dengan maksud mengingkari bukan dengan tujuan menetapkan: “Inikah Tuhanku?”. Seakan-akan beliau ingin mengatakan: “Wahai kaumku, inikah tuhanku seperti yang kalian sangka?.

Ini jelas bukan tuhanku karena ia berubah, terbit lalu terbenam.” Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama tafsir. Ibrahim adalah seorang nabi yang ma’shum dari kemusyrikan sebelum maupun setelah menjadi nabi.

Keempat, dalam berjuang menegakkan agama Allah, tidak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan. Rezeki telah diatur. Ajal sudah termaktub.

Hal itu dibuktikan ketika Raja Namrud hendak melemparkannya ke dalam api yang berkobar-kobar, Nabi Ibrahim tidak gentar sedikit pun. Ia yakin sepenuhnya bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya.

Kelima, tawakal sepenuhnya kepada Allah tanpa meninggalkan ikhtiar

Hal itu tercermin pada peristiwa di mana Ibrahim meninggalkan Hajar dan Isma’il yang masih bayi di Makkah yang tandus dan tiada sumber air. Karena takwa dan tawakal yang tertanam kuat di hati Ibrahim dan Hajar, akhirnya Ibrahim meninggalkan keduanya karena menjalankan perintah Allah, dan Hajar rela ditinggal di tempat itu.

Keenam, Bersegera menjalankan perintah Allah, seberat dan sebesar apapun resikonya.

Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya Allah mengaruniakan kepada Ibrahim seorang putra yang kemudian diberi nama Isma’il. Putra yang sangat dicintainya itu setelah tumbuh menjadi seorang remaja, Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelihnya.

Dengan ketundukan yang total kepada Allah, Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu tanpa ada keraguan sedikit pun. Sang putra juga menyambut perintah itu dengan kepasrahan yang total tanpa ada protes sepatah kata pun. Sayyidah Hajar, sang ibu juga dengan kelapangan jiwa menyilahkan Nabi Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu. Ma sya Allah!. Sebuah potret keluarga shalih yang lebih mengutamakan perintah Allah dibandingkan dengan apa pun selainnya.

Ayah dan anak saling menolong dan menyemangati untuk melaksanakan perintah Allah. Dialog indah antara keduanya terekam dalam al-Qur’an sebagaimana dikisahkan oleh Allah:

Sebagaimana kita tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Sedangkan perkataan Nabi Ibrahim kepada putranya, “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?,” bukanlah permintaan pendapat kepada putranya apakah perintah Allah itu akan dijalankan ataukah tidak, juga bukanlah sebuah keragu-raguan. Nabi Ibrahim hanya ingin mengetahui kemantapan hati putranya dalam menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

Lalu dengan kemantapan dan keteguhan hati, Nabi Isma’il menjawab dengan jawaban yang menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah jauh melebihi kecintaannya kepada jiwa dan dirinya sendiri:

قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Maknanya: “Isma’il menjawab: “Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in sya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash-Shaffat: 102).

Jawaban Isma’il yang disertai “In sya Allah” menunjukkan keyakinan sepenuh hati dalam dirinya bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan terjadi.

Demi mendengar jawaban dari sang putra tercinta, Nabi Ibrahim lantas menciumnya dengan penuh kasih sayang sembari menangis terharu dan mengatakan kepada Isma’il:

Engkaulah sebaik-baik penolong bagiku untuk menjalankan perintah Allah, duhai putraku.”

Nabi Ibrahim kemudian mulai menggerakkan pisau di atas leher Isma’il. Akan tetapi pisau itu sedikit pun tidak dapat melukai leher isma’il.

Hal ini dikarenakan pencipta segala sesuatu adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Pisau hanyalah sebab terpotongnya sesuatu. Sedangkan pencipta terpotongnya sesuatu dan pencipta segala sesuatu tiada lain adalah Allah ta’ala. Sebab tidak dapat menciptakan akibat. Baik sebab maupun akibat, keduanya adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Berkat takwa, sabar dan tawakal serta ketundukan total yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il serta Hajar, Allah kemudian memberikan jalan keluar dan mengganti Isma’il dengan seekor domba jantan yang besar dan berwarna putih yang dibawa malaikat Jibril dari surga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here