Gus Baha Jelaskan Asal Usul Zikir dengan Dlamir Hu

0
802

KHASKEMPEK.COM, KEMPEK – Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang sering disapa Gus Baha adalah ulama yang dikenal ahli bidang Al-Qur’an beserta tafsirnya.

Di samping itu, Gus Baha juga menguasai ilmu-ilmu keislaman seperti Hadis, Ilmu Hadis, Fikih, Ushul Fikih, Sejarah Islam, Tauhid, Tasawuf, dan lain-lain.

Ulama yang juga merupakan Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu banyak membahas tentang berbagai fan keilmuan, di antaranya ilmu tasawuf dan tarekat. Demikian dikutip dari laman jatman.or.id.

Pada acara Haul Ke-33 KH Aqiel Siroj Ponpes KHAS Kempek, Gus Baha membahas tentang asal-usul zikir tarekat dengan dhamir hu, hu, hu yang diselenggarakan di Desa Pegagan, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon. Sabtu, (10/09).

Ia menuturkan, bahwa KH. Aqil Siradj adalah ulama yang ahli nahwu di masanya dan pada zaman dulu ilmu nahwu itu bisa memprakarsai seseorang menjadi wali.

“Saya cerita pertama tentang KH. Aqil Siradj yang al Ma’ruf bi Ahli Nahwi. Nahwu pada era dulu itu menjadi orang menjadi wali, sampai disebut Hattâ nahat qulùbuhum li nahwihi, Famin ‘adzìmi sya’nihi lam tahwihi (Sehingga hati mereka dapat berpindah karena ilmu nahwunya, yang melalui kebesaran-Nya tidak dapat dicegah).” Ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut Gus Baha juga menerangkan bahwa beberapa orang salih ketika dalam keadaan wushul ilallah, tidak dalam keadaan sadar sebagaimana mestinya. Bahkan untuk mengucap kalimat tahlil saja tidak bisa.

“Jadi orang-orang baik itu ketika wushul kepada Allah itu, menyebut Lâ ilâha ilallâh itu tidak bisa. Bisanya hanya menyebut Dlamir Sya’ni (Dhomir di awal kalimat yang tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas oleh kalimat sesudahnya) itu Hu, Hu, Hu. Akhirnya banyak tarekat yang zikirnya Ha, Hu, Ha, Hu akhirnya fa usyribat ma’na Dlamìri Syâ’nì (menggantinya dengan lafaz Dlamir Sya’ni). Jadi melafazkan Lâ ilâha ilallâh tidak bisa, tapi ‘Hu’ bisa. Karena Kiai Jawa sering mencari solusi, maka hukum itu dicari solusinya.” Tambahnya.

Sementara itu ada hadis yang menerangkan keutamaan kalimat tahlil. Tetapi karena khawatir tidak bisa mengucap kalimat dengan lengkap ketika sakaratul maut, maka ini menjadi problem yang harus ditemukan solusinya oleh ulama.

“Padahal teks hadisnya berbunyi مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله دَخَلَ الْجَنَّةَ tapi ada kekhawatiran saat sedang mengucap lâ ilâha -tiada Tuhan- (malah sudah) mati. Nah, (lafaz) lâ ilâha itu seperti atheis (saat mengucap lâ ilâha, mati). Kamu kan nggak bisa janjian sama Izrail, nggak bisa WhatsApp-an dan nggak bisa kongkalikong.” Pungkas Gus Baha dengan sedikit tertawa.

Terakhir, Gus Baha menutup kajiannya dengan menghadirkan solusi bagi jamaah yang khawatir tidak bisa mengucapkan kalimat tahlil dengan lengkap, yaitu dengan membaca lafaz ‘Allah, Allah, Allah’. Meskipun demikian semua itu harus diketahui dengan ilmu.

“Nah, dari pada lâ ilâha itu (terdapat) resiko, karena takut mati saat mengucap lâ ilâha. Maka, kiai Jawa mulai menalqin mengucapkan ‘Allah, Allah, Allah’. Tetapi itu tidak mewakili lâ ilâha ilallâh, akhirnya diambil Dlamir Sya’ni yakni fa’lam annahu lâ ilâha ilallâh. Itu asal-usulnya. Cuma kebetulan tarekat kita tidak melalui jalur itu, jalur melalui Dlamir Sya’ni. Tapi yang penting tadi dawuhnya Kiai Musthofa itu kita tau secara ilmu.” Tutupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here