Tradisi Sowan: Bukti Eksistensi Solidaritas Kiai dan Santri

0
1249

KHASKEMPEK.COM – Beruntunglah jika kita pernah menjadi santri dan pernah hidup di lingkungan pesantren. Sistem pendidikan pesantren yang tidak hanya fokus pada pengayaan intelektual (Intellegence Quotient) belaka, tetapi juga pengayaan emosional dan moral (Emotional Quotient) membuat pesantren lain dari lembaga pendidikan pada umumnya.

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon, KH M Mushthofa Aqil Siroj, sering menuturkan bahwa hubungan antara kiai dan santri itu tidak hanya sebatas hubungan antara siswa dan guru, tapi lebih dari itu.

Dalam satu kesempatan Kiai Musthofa pernah mengatakan,

العلاقة الباطنية أقوى من العلاقة الظاهرية

“Koneksi batin itu lebih kuat daripada koneksi dzohir belaka”.

Selama di pesantren kiai dan santri layaknya orang tua dan anak kandung. Hidup dalam satu atap pesantren, shalat jama’ah bersama, rutin bermuwajahah dalam majelis ilmu, dan banyak hal lain yang pada intinya semakin memperkuat hubungan kiai dan santri. Baik dalam intelektual atau spiritual. Meminjam istilah Kiai Said; Shilatul afkar dan shilatul arwah.

Nabi Muhammad Saw. dengan para sahabat pun demikian. Antara mereka memiliki hubungan yang kuat, bukan sebatas hubungan dzohir saja. Bahkan ada golongan sahabat yang lebih dekat lagi dengan Rasulullah. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Ashabusshuffah. Mereka hidup di masjid. Kesehariannya begitu dekat dengan Rasulullah. Hari-hari mereka disibukan dengan beribadah dan mendalami ilmu agama.

Bahkan dari Ashsbussuffah ini lahir orang-orang ‘alim. Seperti Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat yang terkenal dengan hafalan hadits yang sangat banyak. Atau Sahabat Hudzaifah ibnul Yamân Radhiyallahu ‘anhu yang sangat perhatian tentang hadits hadits fitnah.

Kedekatan para sahabat dengan Nabi Muhammad Saw juga disinggung dalam Alquran surat Al-Fath ayat 29,

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.

Dalam ayat tersebut ada kata “معه” yang memiliki arti membersamai (together). Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat sudah memilki hubungan dzohir batin yang sangat kuat. Sehingga jiwa solidaritas mereka juga terbentuk entah itu dalam mewaspadai ancaman dari luar (asyidda’u ‘alal kuffari) ataupun saling menguatkan hubungan internal dalam wujud saling menyayangi antar sesama (ruhama’u bainahum).

Kalau kita kontekskan di era sekarang, ya seperti hubungan antara kiai dan santri. Sejak kali pertama di pesantren santri sudah diajari bagaimana hidup bersama. Punya mie satu diremuk dan dimakan rameh-rameh. Ada teman sakit dirawat sampai sembuh. Ada teman kiriman telat ya saling pengertian. Rokok satu batang diempus bergantian (joinan). Dan banyak lagi. Malah kalau punya makanan kok dimakan sendiri, siap-siap saja ada kejutan jahil dari teman satu asrama. Hayo ngaku.

Kemudian Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat juga memiliki almamater yang sama. Dalam ayat di atas disebutkan “Simamhuhum min atsaris sujud“, almamater mereka adalah memiliki cahaya yang terpancar karena ibadah dan ketakwaan yang mereka lakoni.

Kiai dan santri juga punya almamater itu. Konon antara santri dan bukan santri itu bisa dibedakan dengan hanya melihat wajahnya. Wajah santri lebih cerah dibanding mereka yang belum nyantri. Kalau memang kecerahan wajahnya tidak terlalu nampak ya paling tidak punya sarung dan peci sebagai almamater dzohir.

Bahkan sebgain ulama mengatakan bahwa hubungan kiai dan santri dalam ikatan tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) merupakan sebuah kenikmatan yang tidak bisa ditawar. Dalam Ihya Ulumiddin Al-Ghozali menyebutkan,

و قيل: إذا جمع المتعلم العقل والأدب وحسن الفهم، والمعلم الصبر والتواضع وحسن الخلق فقد تمت النعم عليهما

“Ketika telah terkumpul dalam diri seorang santri kecerdasan akal, adab (tatakrama/sopan santun) dan bagusnya kefahaman. Dan ketika telah terkumpul dalam diri seorang kiai sifat sabar, tawadlu dan ahlak yang baik. Maka sungguh telah sempurna kenikmatan-kenikmatan atas mereka (santri dan kiai)”.

Hubungan kiai dan santri tidak hanya sebatas atap pesantren. Artinya jika santri sudah lulus dan keluar pesantren, mereka masih tetap berkunjung ke pesantren, koneksi masih tetap terjaga. Baik saat acara Haul, Akhir Sanah ataupun semisal acara Sowan tahunan setelah lebaran. Tentunya masih banyak lagi momen dimana kiai dan santri terlibat di dalamnya.

Dalam sebuah adagium dikatakan,

من لم يعرف الأصول حرم عن الوصول

“Santri yang melupakan kiainya, jangan harap akan sukses” (jangan sampai menjadi kacang yang lupa pada kulitnya).

Di sinilah pentingnya tradisi sowan atau tradisi sitarurrahim santri kepada kiai. Untuk menjaga ikatan (‘alaqoh) agar tetap kuat. Di samping untuk selalu meminta mau’idzoh ataupun doa dari kiai.

Alhamdulillah kami para alumnus Ponpes KHAS Kempek memiliki tradisi sowan tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Syawal.

Di tengah pandemi seperti ini, tradisi ini tetap harus berjalan. Meski harus dilakukan secara virtual meeting via Zoom. Tapi insya Allah tidak mengurangi suasana khidmat sowan.

Malah dengan model Daring seperti ini, sowan yang biasanya hanya bisa dilakukan bagi alumni yang berada di dalam negeri, kini alumni yang di luar negeri pun bisa mengikuti yang terikat dalam IKHWAN KHAS SEDUNIA. Sungguh sebuah berkah tersendiri. (KHASMedia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here