Tiga Tingkatan Taubat, Menurut Kiai Said Aqil Siroj

0
524

KHASKEMPEK.COM – Pintu Ramadhan akan segera tutup kembali. Hanya menyisakan sedikit hari saja. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengingatkan bahwa bulan kesembilan ini setidaknya mengandung tiga hal penting.

Pertama, Ramadhan merupakan bulan jihad. Sebab, pada tahun kedua Hijriyah di bulan ini, Nabi Muhammad pertama kali berjuang melawan kemusyrikan.

Kedua, Ramadhan juga disebut sebagai bulan ijtihad. Sebab, di bulan ini pula, Nabi Muhammad menerima wahyu perintah untuk membaca, iqra bismi rabbika lladzi khalaq.

Ketiga, atau puncaknya, Ramadhan adalah bulan mujahadah. Hal ini mengingat bulan ini menjadi kesempatan umat Islam untuk meningkatkan spiritualitasnya.

“Terutama kita warga NU, memperkuat, mempertajam, menyiapkan dirinya agar bisa menjadi manusia yang mempunyai ketajaman spiritual, mempunyai kekuatan spiritual, pangkat derajat rohaniah qolbiyah dengan melakukan ibadah, taqarrub, taabbud, sedekah, dan lain-lain di kesempatan bulan Ramadan ini,” katanya, saat menjadi narasumber pada Silaturahim Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sedunia, Selasa (19/5/2020).

Menyitir Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 16, Kiai Said menegaskan bahwa Allah tidak menanyakan berapa ratus rakaat yang telah dilakoni, berapa juta atau miliiar yang telah disedekahkan, atau berapa masjid yang telah dibangun, bukan juga berapa kali haji atau umrah. Akan tetapi, Allah menanyakan perihal kekhusyukan hati dalam beribadah.

“Yang ditanyakan, ‘Wahai orang beriman, kapan kamu memiliki hati yang khusyuk, hati yang bisa menjadi tempat bersemayamnya kebenaran?'” kata Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu.

Kiai Said menjelaskan bahwa puncaknya kebenaran adalah Allah itu sendiri, hakikat kebenaran. Hal itu, dapat dicapai dengan mengenyahkan hawa nafsu, baik syahwat, marah, egoistis, ambisius, ataupun hedonis. “Hawa nafsu harus kita kendalikan. Jangan berbalik kita dikendalikan oleh hawa nafsu,” ujarnya.

Jika sudah mampu menjauhkan ajakan atau rayuan godaan setan dan godaan hawa nafsu, kita akan mendapatkan minimal langkah pertama menuju pada maqam rohani. Maqam yang paling pendek atau paling dekat, menurutnya, adalah maqam taubat.

Namun, Kiai Said menegaskan bahwa taubat di sini bukan sekadar ucapan istighfar, memohon ampunan kepada Allah swt atas segala dosa yang diperbuat.

“Itu sih redaksinya. Itu redaksinya seperti itu. Tapi hakikatnya taubat itu al-ruju’ ilal haq, kita kembali ke jalan yang benar menjadi sikap. Maka akan menjadi maqam spiritual, pangkat spiritual,” katanya. 

Jika manusia secara fisik ingin mendapatkan pangkat atau status yang meningkat, maka begitu pula rohaninya harus terus meningkat ke jenjang yang lebih tinggi lagi. “Harus terus mencapai yang lebih tinggi lagi, lebih bermartabat lagi,” ujarnya.

Pasalnya, Kiai Said menjelaskan bahwa sufi adalah orang yang menyesuaikan dengan waktu, yang menguasai waktunya. Sufi juga tidak mempunyai warna tertentu. Warna seorang sufi seperti air, tergantung tempatnya. “Dengan demikian, kita harapkan semuanya sebagai warga Nahdliyin, mari kita kembali ke jalannya Allah. Itulah yang namanya taubat,” katanya.

Kiai yang menamatkan studinya di Arab Saudi ini juga menerangkan bahwa taubat memiliki tiga tingkatan, yakni (1) taubatnya orang awam dengan menyesali dari maksiat dan dosa, (2) taubatnya ulama dengan menyesali lupa dan teledor, dan (3) taubatnya orang khowas (khusus) itu puncaknya orang tobat tobat, yakni menyesali merasa ada. 

Sebab, merasa ada bagi orang yang arif merupakan dosa besar yang harus segera ditaubati. Hal itu mengingat hakekatnya manusia ini diadakan oleh Yang Ada, yaitu Allah itu sendiri. Kegiatan silturahim virtual ini diikuti oleh perwakilan dari 31 PCINU, KBRI, dan KJRI yang tersebar di seluruh dunia. (KHASMedia)

Sumber: Miftah H. Yusufpati, Sindo News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here