Pesantren; Pencetak Generasi Muda Berakhlak Mulia

0
508

KHASKEMPEK.COM – Pada tahun 2018 angka kenakalan remaja meningkat daripada tahun sebelumnya. Tercatat,  kasus tawuran di Indonesia meningkat 1,1 persen sepanjang 2018.

Komisioner Bidang Pendidikan  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),  Retno Listiyarti mengatakan, angka kasus tawuran di tahun 2017 hanya 12,9 persen, tapi tahun ini meningkat sampai 14 persen.

“Padahal 2018 belum selesai, tapi angkanya sudah melampaui tahun sebelumnya,” ujarnya saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 12 September 2018.

Kenaikan angka kenakalan remaja sangat memprihatinkan. Persoalan moralitas masih menjadi barang mewah di negeri ini. Bobroknya moralitas generasi muda dapat berakibat buruk pada kemajuan bangsa.

Tawuran hanyalah salah satu dari potret buruk perilaku remaja bangsa Indonesia. Jika kenakalan remaja terus dibiarkan, maka bisa berdampak kurang baik bagi masa depan bangsa.

Pemuda hari yang digadang menjadi generasi emas di tahun 2024, justru akan menjadi boomerang. Yang seharusnya Indonesia dapat menikmati bonus demografi, berubah menjadi beban demografi. Bukannya untung, malah buntung.

Masih jadi PR besar

Melihat kenaikan angka kenakalan remaja di Indonesia setiap tahunnya berarti menandakan moralitas generasi muda masih rendah. Persoalan dekadensi moral di kalangan remaja dan pelajar telah lama menjadi PR besar bangsa ini.

Pemerintah sebagai lembaga negara harus segera menemukan solusi kongkrit dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Perlu adanya langkah prefentif mengatasi persoalan moralitas,  tidak cukup dengan usaha-usaha biasa.

Jika persoalan moral tidak ditanggulangi sebaik mungkin, masa depan bangsa dipertaruhkan. Kita bisa membayangkan bagaimana kalau generasi muda moralnya rusak, mau seperti apa bangsa ini. Revolusi mental hanya akan menjadi angan belaka.

Maka dari itu, pemerintah harus menggandeng lembaga-lembaga di luar pemerintah untuk menghadapi momok besar negeri ini. Pesantren sebagai pendidikan Islam tertua layak untuk ikut andil dalam pembukaan menyelesaikan persoalan moral tersebut.

Menjaga moralitas

Pesantren oleh banyak ahli dianggap sebagai subkultural dari masyarakat. Sebab, pesantren mempunyai tatanan nilai sendiri yang berbeda dari masyarakat sekitar pesantren.

Pesantren membangun nilai-nilai menitikberatkan pada aspek moralitas dan keilmuan keislaman yang diwariskan turun temurun.  Aspek nilai moral inilah yang menjadi pembeda pesantren dengan pendidikan di luar pesantren.

Pendidikan pesantren sebagaimana dikatakan Zamakhsyari Dhofier, bukan semata untuk memperkaya ilmu pengetahuan. Tetapi juga meningkatkan moralitas, menghargai nilai spiritualitas dan kemanusiaan, mengajarkan sikap jujur dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dengan hati yang bersih (Zamakhsyari Dhofier, 1994)

Pesanten ibarat labolatorium yang dipersiapkan untuk mencetak generasi muda berakhlak mulia. Para santri digembleng dan digodok kemandirian, sopan santun, sikap legowo, mudah beradaptasi dan berjiwa pantang menyerah. Sehingga ketika para santri telah lulus dari pesantren, ia bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan tetap menyesuaikan keadaan setempat.

Di pesantren tidak semua santri penurut dan pendiam. Input santri dari berbagai macam latarbelakang. Ada yang baik dan ada pula yang nakal. Namun, pesantren mampu mencetak lulusan yang berkakhlak dan berbudi pekerti luhur.

Kita bisa melihat tidak ada catatan sejarah tawuran antar pesantren. Sebab, pesantren telah meletakan dasar, bahwa adab di atas ilmu. Mungkin hari ini, pesantren-lah yang mampu menjadi penjaga moralitas bangsa. Wallahu a’lam.

KHASMedia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here